Sebagai seorang psikolog, kemamampuan wawancara adalah suatu keahlian
yang wajib dikuasai. Bayangkan bila seorang psikolog tidak dapat mewawancarai
kliennya dengan baik, apa yang akan terjadi? Mungkin akan muncul keraguan pada
diri klien terhadap sang psikolog. Akan muncul pertanyaan di benak klien “nih
psikolog bisa nanganin masalah saya ga ya? Kok cara nanyanya aneh sih?”. Atau
mungkin sampai pada hal yang lebih parah lagi, salah diagnosa. Wah bisa gawat
kalau sampai terjadi hal tersebut. Bisa-bisa izin praktek psikolog dicabut.
Nah, kebetulan semester ini saya mendapat kesempatan untuk mengambil
mata kuliah teknik wawancara. Awal-awalnya sih ada rasa takut juga berhubung
ini salah satu mata kuliah sakral di fakultas psikologi. Tugasnya banyak,
ujiannya susah, salah-salah bisa ga lulus(aduh jangan sampe deh!!). Tapi sampai
saat ini, pembelajaran di kelas sangat menyenangkan. Mudah-mudahan saya dan
teman-teman yang lain tidak hanya sekedar lulus mata kuliah ini, tetapi juga
dapat memiliki kompetensi dalam melakukan wawancara.
Minggu lalu, kami para mahasiswa mendapat tugas untuk mewawancari
seorang psikolog. Kebetulan kelompok saya ditugaskan untuk mewawancarai seorang
psikolog klinis dewasa. Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya kami
mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai seorang psikolog klinis dewasa yang
bisa dibilang sudah mempunyai nama
besar. Tak jarang beliau diundang ke berbagai stasiun televesi untuk dimintai
pendapatnya. Suatu kesempatan yang luar biasa bagi kami untuk dapat menyerap
ilmu dari pengalaman-pengalaman beliau.
Setelah berbincang-bincang dengan beliau, pandangan saya mengenai teknik
wawancara makin terbuka. Teknik wawancara adalah suatu teknik utama yang
digunakan oleh seorang psikolog (disamping observasi dan tes psikologi). Salah
satu kelebihan teknik wawancara adalah informasi yang dapat digali sangat luas.
Waktu yang diperlukan hingga informasi diperoleh juga cukup singkat, tentunya
tanpa harus melakukan skoring dan interpretasi seperti alat tes. Wawancara juga
dapat dijadikan pengganti tes psikologi, khususnya terhadap klien yang kurang
nyaman untuk menjalani tes.
Selain kelebihan, tentunya ada kekurangan yang dimiliki teknik
wawancara. Kekurangannya adalah adanya kemungkinan informasi yang didapat tidak
akurat. Selain itu, klien atau subjek wawancara bisa saja menutupi
karakteristik dirinya yang biasa disebut dengan faking good. Untuk dapat
meminimalisir hal ini dibutuhkan pengalaman yang cukup banyak. Semakin sering kita
belajar dan melakukan wawancara, tentunya kepekaan kita akan terlatih dalam
menyaring informasi-informasi yang kurang akurat.
Pada pertemuan mata kuliah teknik wawancara kamis kemarin, kelompok yang
mewawancari psikolog klinis dewasa dan anak diminta untuk mempresentasikan
hasil wawancara. Setelah semua kelompok presentasi, saya menemukan suatu benang
merah antara wawancara yang dilakukan psikolog klinis dewasa dan klinis anak.
Agar dapat memperoleh informasi yang akurat, klien harus merasa nyaman terlebih
dahulu dengan psikolog atau bahasa kerennya psikolog harus membina rapport terlebih
dahulu. Dengan begitu, klien dapat menghilangkan rasa takut atau malu sehingga
informasi yang di dapat lebih akurat.
Perbedaan yang mencolok dalam menghadapi klien antara klinis dewasa dan
anak adalah cara yang dilakukan untuk membina rapport itu sendiri. Kalau
kliennya sudah dewasa, membangun hubungan baik bisa dilakukan dengan memluai
pembicaraan dari hal-hal yang ringan dulu. Sedangkan kalau kliennya anak-anak,
wah panjang urusannya. Kalau anaknya kooperatif sih ga masalah, tapi beberapa
anak cenderung tertutup saat menghadapi orang yang tidak dikenalnya. Psikolog
harus menggunakan pendekatan lain dalam menghadapi anak-anak. Biasanya anak
diajak bermain terlebih dahulu, karena dengan begitu si anak akan akan merasa
nyaman. Hal lain yang bisa dilakukan untuk menggali informasi mengenai anak
adalah dari orangtuanya. Ya, mewawancarai orangtua si anak juga merupakan
agenda penting dalam menangani kasus anak. Malah bisa saja ditemukan bahwa
ternyata yang bermasalah orangtuanya bukan anaknya.
Kalau dipikir-pikir jadi psikolog klinis anak lebih ribet dibandingkan
psikolog klinis dewasa ya. Harus nyiapin mainan, ngikutin gerak-gerik anak
(apaligi kalau anaknya aktif), belum lagi harus menggali informasi dari
orangtua dengan wawancara. Tapi sebenernya hal itu harus dikembalikan kepada
pribadi seseorang. Apabila memang seseorang senang dengan anak kecil, tentunya
melihat aksi mereka dan memahami pemikiran mereka tidak menjadi suatu momok
yang mengerikan, justru menyenangkan.
2 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar