Minggu, 10 Maret 2013

Wawancara, klinis dewasa & anak (Andri Setia)

Sebagai seorang psikolog, kemamampuan wawancara adalah suatu keahlian yang wajib dikuasai. Bayangkan bila seorang psikolog tidak dapat mewawancarai kliennya dengan baik, apa yang akan terjadi? Mungkin akan muncul keraguan pada diri klien terhadap sang psikolog. Akan muncul pertanyaan di benak klien “nih psikolog bisa nanganin masalah saya ga ya? Kok cara nanyanya aneh sih?”. Atau mungkin sampai pada hal yang lebih parah lagi, salah diagnosa. Wah bisa gawat kalau sampai terjadi hal tersebut. Bisa-bisa izin praktek psikolog dicabut.
Nah, kebetulan semester ini saya mendapat kesempatan untuk mengambil mata kuliah teknik wawancara. Awal-awalnya sih ada rasa takut juga berhubung ini salah satu mata kuliah sakral di fakultas psikologi. Tugasnya banyak, ujiannya susah, salah-salah bisa ga lulus(aduh jangan sampe deh!!). Tapi sampai saat ini, pembelajaran di kelas sangat menyenangkan. Mudah-mudahan saya dan teman-teman yang lain tidak hanya sekedar lulus mata kuliah ini, tetapi juga dapat memiliki kompetensi dalam melakukan wawancara.
Minggu lalu, kami para mahasiswa mendapat tugas untuk mewawancari seorang psikolog. Kebetulan kelompok saya ditugaskan untuk mewawancarai seorang psikolog klinis dewasa. Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya kami mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai seorang psikolog klinis dewasa yang bisa dibilang sudah  mempunyai nama besar. Tak jarang beliau diundang ke berbagai stasiun televesi untuk dimintai pendapatnya. Suatu kesempatan yang luar biasa bagi kami untuk dapat menyerap ilmu dari pengalaman-pengalaman beliau.
Setelah berbincang-bincang dengan beliau, pandangan saya mengenai teknik wawancara makin terbuka. Teknik wawancara adalah suatu teknik utama yang digunakan oleh seorang psikolog (disamping observasi dan tes psikologi). Salah satu kelebihan teknik wawancara adalah informasi yang dapat digali sangat luas. Waktu yang diperlukan hingga informasi diperoleh juga cukup singkat, tentunya tanpa harus melakukan skoring dan interpretasi seperti alat tes. Wawancara juga dapat dijadikan pengganti tes psikologi, khususnya terhadap klien yang kurang nyaman untuk menjalani tes.
Selain kelebihan, tentunya ada kekurangan yang dimiliki teknik wawancara. Kekurangannya adalah adanya kemungkinan informasi yang didapat tidak akurat. Selain itu, klien atau subjek wawancara bisa saja menutupi karakteristik dirinya yang biasa disebut dengan faking good. Untuk dapat meminimalisir hal ini dibutuhkan pengalaman yang cukup banyak. Semakin sering kita belajar dan melakukan wawancara, tentunya kepekaan kita akan terlatih dalam menyaring informasi-informasi yang kurang akurat.
Pada pertemuan mata kuliah teknik wawancara kamis kemarin, kelompok yang mewawancari psikolog klinis dewasa dan anak diminta untuk mempresentasikan hasil wawancara. Setelah semua kelompok presentasi, saya menemukan suatu benang merah antara wawancara yang dilakukan psikolog klinis dewasa dan klinis anak. Agar dapat memperoleh informasi yang akurat, klien harus merasa nyaman terlebih dahulu dengan psikolog atau bahasa kerennya psikolog harus membina rapport terlebih dahulu. Dengan begitu, klien dapat menghilangkan rasa takut atau malu sehingga informasi yang di dapat lebih akurat.
Perbedaan yang mencolok dalam menghadapi klien antara klinis dewasa dan anak adalah cara yang dilakukan untuk membina rapport itu sendiri. Kalau kliennya sudah dewasa, membangun hubungan baik bisa dilakukan dengan memluai pembicaraan dari hal-hal yang ringan dulu. Sedangkan kalau kliennya anak-anak, wah panjang urusannya. Kalau anaknya kooperatif sih ga masalah, tapi beberapa anak cenderung tertutup saat menghadapi orang yang tidak dikenalnya. Psikolog harus menggunakan pendekatan lain dalam menghadapi anak-anak. Biasanya anak diajak bermain terlebih dahulu, karena dengan begitu si anak akan akan merasa nyaman. Hal lain yang bisa dilakukan untuk menggali informasi mengenai anak adalah dari orangtuanya. Ya, mewawancarai orangtua si anak juga merupakan agenda penting dalam menangani kasus anak. Malah bisa saja ditemukan bahwa ternyata yang bermasalah orangtuanya bukan anaknya.
Kalau dipikir-pikir jadi psikolog klinis anak lebih ribet dibandingkan psikolog klinis dewasa ya. Harus nyiapin mainan, ngikutin gerak-gerik anak (apaligi kalau anaknya aktif), belum lagi harus menggali informasi dari orangtua dengan wawancara. Tapi sebenernya hal itu harus dikembalikan kepada pribadi seseorang. Apabila memang seseorang senang dengan anak kecil, tentunya melihat aksi mereka dan memahami pemikiran mereka tidak menjadi suatu momok yang mengerikan, justru menyenangkan.
Intinya, mau mendalami jurusan psikologi apapun anda, baik klinis anak ataupun dewasa, jangan meremehkan teknik yang satu ini. Ya, teknik wawancara!! Jurus pamungkas para psikolog.

2 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar