Selasa, 26 Maret 2013

Is Divorce A Good Advice or Not? (Melisa Mel)

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan bisa lepas dari hubungan dan interaksi dengan sesamanya termasuk hubungan dengan lawan jenis. Dalam Papalia, Old & Feldman (2008) disebutkan pada masa remaja, seseorang mulai mencari identitas seksual dan menjalin hubungan intim dengan lawan jenis yang disebut dengan pacaran. Pria dan wanita yang menjalani hubungan pacaran cenderung mendapatkan kebutuhan emosional, persahabatan dan mungkin saja mendapatkan keuntungan ekonomi. Puas atau tidaknya hubungan pacaran ini tergantung pada pribadi masing-masing dalam memaknai hubungan tersebut. Sebagai manusia, kita akan cenderung puas dengan hubungan apabila mendapatkan keuntungan lebih banyak daripada kerugiannya. Hal ini sesuai dengan teori interdependensi yakni menganalisis pola interaksi antar partner dengan mempertimbangkan hasil dimana manfaat yang didapat lebih tinggi daripada biayanya. Singkatnya, kita dalam pacaran lebih menginginkan semua kebutuhan yang kita harapkan tercapai.
Pacaran pasti dimulai dari adanya ketertarikan pada lawan jenis entah sifat atau fisiknya. Dalam teori proximity liking those nearby dimana seseorang yang tertarik dengan orang lain disebabkan oleh adanya kedekatan. Teori ini menurut saya paling berperan dalam hubungan pacaran. Orang dekat memiliki potensi lebih tinggi berdaya tarik interpersonal daripada orang yang jauh karena orang yang dekat dirasakan lebih mempunyai manfaat daripada orang yang jauh. Pada jaman sekarang ini konteks kata “pacaran” itu sendiri diartikan berbeda-beda oleh masing-masing orang. Pada masa tradisional, seorang lelaki yang hendak mengajak wanita pergi kencan harus melalui beberapa tahapan terlebih dahulu seperti menjemput wanita kerumah, memperkenalkan diri pada kedua orangtua pihak wanita, bersilahturami dan setelah mendapatkan ijin barulah pihak lelaki diperbolehkan mengajak wanitanya. Mereka pun harus pergi kencan ketempat yang tidak membuat wanita terlibat pergaulan negatif. Dan wanita harus dipulangkan sesuai dengan jam yang ditentukan oleh orangtuanya. Tetapi masa tradisional ini tampaknya sudah terlekang oleh waktu. Masa modern sekarang lebih membebaskan hubungan pacaran sehingga mulailah bermunculan “friend with benefit”, one nigh stand” (berkenalan dengan lawan jenis dan melakukan hubungan seksual serta keesokan harinya mengganggap tidak terjadi apapun). Pria dan wanita yang berpacaran lebih memilih meninggalkan aturan ketat yang dibuat oleh orangtuanya sehingga mungkin saja kebebasan ini dapat disalahartikan oleh beberapa pasangan. Dan yang paling menarik adalah pasangan yang memutuskan menjalin hubungan dengan beda ras, agama atau budaya (interracial dating). Hal ini sangat bertolak belakang dengan pacaran masa tradisional yang sangat kental menekankan pentingnya ras, agama dan budaya. Masa tradisional berpendapat bahwa sesama ras, agama dan budaya akan lebih cocok untuk menjalani kehidupan masa depan dan mampu melestarikan budaya, agama dan ras yang telah dititipkan oleh leluhurnya. Pandangan masa tradisional ini mungkin masuk dalam selective attraction dimana pandangan agama yang kuat dan menjadi potensi dalam berkencan.
Setelah tahapan pacaran dianggap cukup matang, pasangan akan melanjutkannya hubungannya ketahapan pengikatan komitmen yakni pernikahan. Berbagai budaya memunculkan tradisi unik menjelang pernikahan. Di Iran, pria yang melamar wanita harus membawa 3 anggota keluarganya kerumah dan wanita yang dilamar tidak diperbolehkan untuk berbicara sama sekali bahkan untuk memilih mau atau tidak menikah dengan pria tersebut. Pernikahan akan dilangsungkan 1 tahun kemudian. Selain itu, di Iran diperbolehkan para tentara untuk mempunyai istri dari wanita lokal tempat ia bekerja sebagai pengganti istrinya disana. Berbeda halnya dengan Yaruros Venezula, pria harus menikah dengan anak kedua dari adik ayahnya yakni sepupunya sendiri. Lain lagi dengan Afrika, orangtua dari pria akan mengutuskan seseorang untuk melamar kerumah wanita dan orangtua wanita harus menolaknya terlebih dahulu. Setelah itu, pria harus datang kerumah wanita larut malam dan tidur disamping wanita bila keesokan harinya wanita itu tetap ada disampingnya itu menandakan wanita mau dinikahi dan sebaliknya. Masing-masing budaya mempunyai keunikan tradisinya sendiri tapi harus ingat adalah makna dari pernikahan. Masa pernikahan masalah-masalah yang dihadapi pun akan semakin lebih kompleks. Penelitian menghasilkan kesimpulan dimana orangtua yang mempunya anak cenderung mempunyai kepuasan hubungan yag rendah karena fokus orangtua mulai terbagi dengan anak mereka. Hubungan seksual pada masa pernikahan merupakan hal yang penting. Tetapi ternyata ada pasangan suami-istri yang memutuskan untuk tidak melakukan hubungan seksual biasanya terjadi dimasa menopause wanita, hal ini disebut asexual relationship. Wanita yang sudah memasuki masa menopause akan merasakan rendahnya libido untuk berhubungan seksual, lama merasakan rangsangan dan sakit ketika melakukan hubungan seksual. Ketika wanita mulai merasakan rendahnya hasrat untuk berhubungan seksual akan tetapi hubungan seksual itu penting terutama untuk pria, mulailah timbul masa perselingkuhan. Salah satu pasangan yang berselingkuh pasti mengungkapkan adanya ketidakpuasan dalam hubungan. Untuk wanita biasanya alasan berselingkuh adalah kurang terpenuhinya kebutuhan emosional sedangkan untuk pria memakai alasan kurangnya kebutuhan seks yang diberikan. Seseorang yang berselingkuh, jauh hari sebelumnya sudah memasukin tahapan perselingkuhan yakni kenalan dan ketertarikan dengan lawan jenis lainnya, merahasiakan hubungan mereka, melakukan segala sesuatunya bersama-sama dan diakhir dengan mendapatkannya kebutuhan emosional dan seks dari hubungan tersebut. Uniknya ada satu pernikahan yakni open marriages yang memperbolehkan masing-masing pasangannya untuk mencari orang lain untuk hubungan seksual dengan dalil untuk variasi seksual. Mereka tetap mengganggap bahwa pernikahan adalah hubungan primer dan seks dengan orang lain hanya untuk memperkuat pernikahan. Dan hal ini ternyata dapat memperkuat kepuasan dalam pernikahan. Mungkin ini bisa dikatakan dijelaskan dengan teori evolusi dimana setiap manusia akan lebih memilih manusia lainnya yang jauh lebih berpotensi dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti pada blog sebelumnya tentang daya pikat pria dan wanita, disana saya menjelaskan bahwa manusia akan sangat mungkin melirik pasangan lainnya yang dirasakan cukup mampu menghidupi kebutuhannya. Selain masalah perselingkuhan, adapula extramarital sex dimana untuk pria (poligami) dan wanita (poliandri) yang menikah dengan 2 atau 3 pasangan. Selain itu, kohabitasi juga mulai marak dimasa sekarang. Kohabitasi dirasakan mempunyai dampak positif yakni dapat mengenal kebiasaan, berbagi dan menjadi dewasa dalam berhubungan. Tetapi menurut saya secara pribadi apalagi sebagai wanita, dampak negatif yang muncul akan lebih banyak terutama ketika pasangan kita sudah tidak merasakan kepuasan dalam hubungan dan beralih dengan pasangan lainnya. Kita tidak mampu untuk melakukan protes karena tidak adanya komitmen yang dijalankan sejak awal. Kohabitasi sendiri masuk dalam passionate love dimana keadaan emosional yang liar, perasaan lembut dan hasrat seksual, adanya kecemburuan dan kebahagiaan yang bercampur menjadi 1. Tetapi kita sebenarnya sangat membutuhkan companionate love, cinta yang memberikan kasih sayang dan adanya hubungan jangka panjang didalamnya ini mengandung semua unsur yang disebutkan oleh Sternberg yakni passion, intimacy and commitment. Pada dasarnya, pernikahan sebenarnya meningkatkan well being manusia tetapi prosesnya yang dapat mengubah konteks well being tersebut untuk tetap ada atau tidak.
Ketika kepuasan pernikahan dirasakan menurun, semua yang dilakukan oleh pasangan kita akan terlihat salah dimata kita dan muncullah pikiran untuk bercerai. Konsep pernikahan yang awalnya suci dan untuk selamanya mulai beralih salah satunya dikarenakan pernikahan dianggap sebagai partnership dimana pasangan dianggap sebagai partner yang jika cocok kita lanjutkan hubungannya dan tidak cocok diputus begitu saja. Konsep inilah yang sebenarnya membuat pasangan dengan mudahnya mengatakan “kita bercerai” tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya. Mudahnya bercerai juga disebabkan oleh biaya yang tidak mahal, hukum dan pengacara yang mudah diakses, predisposisi (pernah bercerai atau melihat orangtua bercerai sehingga mengganggap bercerai hal yang sah), nikah muda, cepat mempunyai anak. Pasangan yang baru saja menikah memerlukan adaptasi lebih lanjut terhadap kebiasaan pasangannya, kestabilan ekonomi, tetapi bila terburu-buru dengan menginginkan anak, orangtua akan kaget dan belum stabil dalam pernikahan serta meningkatkan kemungkinan perceraian tinggi. Biasanya dalam bercerai tidak mempunyai kesepakatan dimana salah satu pihak yang merasakan kerugian yang lebih besar dari hubungan akan mengajukan perceraian. Sebelum bercerai pun sebenarnya, pasangan suami-istri ini sudah melewati tanda-tandanya seperti penghindaran komunikasi, salah satu pihak menuntut membicarakan masalah dan pihak lainnya menghindari dan sedikit adanya komunikasi yang membangun. Pasangan yang bercerai biasanya akan menjelek-jelekkan pasangannya atau mereka menikah dengan pikiran dapat mengubah perilaku pasangannya (recipe of disaster). Dampak perceraian yang terjadi adalah pada wanita akan mengalami depresi akan tetapi apabila depresi tersebut dikartasiskan depresi akan berkurang. Sedangkan untuk pria, kesehatan mental dan fisiknya akan menurun karena biasanya para istri yang sangat peka dan memperhatikan kesehatan suaminya. Di islam ternyata pria dapat dikatakan sah bercerai dengan hanya menyangkal istrinya 3x didepan publik dan di Israel wanita harus setuju dengan perceraian yang diajukan dengan pria. Berbagai alasan yang dikemukakan oleh beberapa negara terhadap perceraian adalah untuk negara Mesir dan China, mereka bercerai karena adanya ketidaksetiaan dari pasangan sedangkan untuk India dan Arab, mereka bercerai karena adanya kekerasan. Menurut saya pribadi, kita tidak perlu mempertahankan suatu hubungan yang memang menurut kita tidak mampu memenuhi kebutuhan terutama kebutuhan emosional dan apalagi didalam hubungan tersebut adanya kekerasan yang terjadi. Tetapi semua ini balik pada diri masing-masing pribadi dalam memaknai KONSEP PERNIKAHAN dan bagaimana kita menjaga commitment, passion and intimacy yang merupakan dasar dari cinta yang sempurna.

15 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar