Senin, 27 Mei 2013

Praktikum wawancara setting PIO, Pendidikan dan Klinis (Patricia Gloria)




      Pada praktikum yang diselengarakan selama tiga minggu mengenai setting PIO, Pendidikan, dan Klinis ada beberapa hal yang dapat dipelajari. Pada wawancara bidang PIO, pewawancara menanyakan beberapa pertanyaan yang menyangkut hal tentang penerimaan karyawan baru. Wawancara yang dilakukan dalam waktu 10 menit sudah cukup dapat menggumpulkan beberapa informasi yang dibutuhkan. Wawancara pada setting PIO hanya menanyakan pengalaman bekerja pada perusahaan sebelumnya, bagaimana deskripsi pekerjaan dan bagaimana kompetensi pada seorang karyawan yang baru melamar pekerjaan.
     Wawancara juga dilakukan dengan membina rapport dengan menanyakan bagaimana perjalanan yang ditempuh, menanyakan kabar calon karyawan. Kemudian pertanyaan dilanjukan dengan menanyakan bagaimana deskripsi pekerjaan sebelumnya, apa saja pengalaman bekerja pada subjek, pendidikan subjek dan beberapa hal lain mengenai kompetensi, skill, dan pengetahuan subjek tentangs sebuah pekerjaan.
     Kelebihan wawancara yaitu pada setting PIO lebih dapat banyak mengumpulkan informasi dan pengunaan  bina rapport juga tidak perlu terlalu bertele-tele sehingga mempersingkat waktu dalan melakukan wawancara. Sedangkan kekurnangan dalam wawancara setting PIO yaitu pewawancara menanyakan beberapa hal yang makna dari pertanyaan sama dan kalimat yang diberikan berebeda. Selain itu pewawancara hanya menanyakan mengenai deskripsi pekerjaan pada subjek yang merupakan calon karyawan baru, dan belum dapat mendeskripsikan kepribadian subjek secara menyeluruh karena hanya menanyakan kompetensi, skill, pengalaman, dan pengetahuan.
     Pada setting pendidikan pewawancara mengunakan kasus penuruan prestasi. Penuruan prestasi yang dilakukan oleh subjek karena subjek tidak menyukai pelajaran tersebut dan keterpaksaan karena diminta oleh orang tua untuk bersekolah. Dalam melakukan wawancara setting pendidikan berebeda dengan setting PIO karena setting pendidikan membutuhkan bina rapport yang lebih mendalam agar informasi yang didapatkan banyak dan mencukupi kebutuhan.
     Ada beberapa kelemahan dan kelebihan dalam wawancara pada bidang pendidikan. Kelemahan yang dimiliki oleh pewawancara yaitu kurang memeperisapkan diri untuk memberikan pertanyaan kepada subjek sehingga subjek menunggu pewawancar melontarkan pertanyaan. Inforamasi yang didapatkan kurang mencukupi sehingga pewawancara yang berperan aktif dalam memberikan pertanyaan.
     kelebihan wawancara pada bidang pendidikan juga memiliki kelebihan. Contohnya ketika bina rapport telah terjadi dengan baik maka subjek akan memeberikan informasi dengan baik dan cukup memebrikan informasi yang banyak dan mendalam.
     Pada setting klinis pewawancara mengunakan kasus seseorang yang kecanduan berbelanja. Subjek berjenis kelamin pria yang menjadi klien pewawancara. Bina rapport juga lebih sulit dilakukan oleh pewawancara. Dan pertanyaan yang dilontarkan terlalu sedikit sehingga membuat pewawancara memikirkan pertanyaan yang baru.
     Dalam setting klinis pewawancara juga harus mengemas perkataan dengan baik agar dapat dimegerti oleh subjek Kelebihan yang dilakukan pada pewawancara yaitu sudah memiliki attending behavior yang baik, penyimpulan dari sebuah kasus serta saran-saran yang diberikan dari pewawancara kepada subjek.
Sedangkan kelemahan pada pewawancara yaitu pewawancara kehabisan pertanyaan untuk ditanyakan kepada subjek yang berakibat subjek menunggu untuk menjawab pertanyaan pewawancara.


26 Mei 2013

Wawancara Dalam Prakteknya (Andi Yansen)

Selama satu bulan terakhir ini, kelas tekwan full dengan praktek. Prakteknya adalah melakukan wawancara. Selama 3 minggu wawancara dilakukan di ruang konseling di lt. 2 gedung K fak. Psikologi, dan pada hari sabtu, 11 Mei 2013, saya dan kelompok mendapatkan jatah wawancara di PSTW(Panti Sosial Tuna Werdha) Budi Mulia 2 di Cengkareng-Jakarta Barat, bersama dengan teman-teman yang lainnya juga.
Kita mulai dengan wawancara di ruang konseling ini. Satu kelompok terdiri dari lima orang. Saat wawancara dilakukan, ada tiga kelompok yang terlibat. Ada kelompok yang menjadi pewawancara, ada kelompok yang menjadi subyek wawancara, dan ada yang menjadi observer. Wawancara dilakukan di ruangan kecil yang di dalamnya berisi meja, 2 atau tiga bangku dan jendela yang merupakan cermin observasi. Wawancara dilakukan selama 10 menit.
Kelompok pewawancara telah membuat pertanyaan-pertanyaan wawancara sebelumnya. Topik yang terkait adalah; di minggu pertama topiknya adalah di setting IO, di minggu kedua settingnya adalah di bidang pendidikan, dan di minggu ketiga settingnya adalah klinis. Kelompok subyek, harus berperan secara spontan mengikuti tema yang telah dibuat oleh kelompok pewawancara. Kelompok observer tugasnya adalah mengamati pewawancara dari ruangan lain melalui cermin 1 sisi, di mana observer dapat melihat dan mendengar melalui headset, dan pewawancara serta subyeknya tidak dapat melihat observer melalui cermin tersebut.
Pada minggu pertama, tema wawancara kami adalah karyawan perusahaan yang berselingkuh dengan teman sekantornya yang sudah menikah. Klien saya adalah teman sekelas saya. Dia memerankan seorang istri yang berselingkuh dengan bawahannya di kantor. Saat dia menjawab pertanyaan yang saya berikan, saya terpukau. Aktingnya benar-benar natural, seakan-akan itu pengalaman yang pernah dialaminya sendiri. Pada minggu pertama memang, sebagai pewawancara tentu ada rasa gugup dan takut, tetapi juga bersemangat. Kesalahan-kesalahan juga sering terjadi saat proses wawancara berlangsung. Saya pikir yang paling dinantikan saat minggu kedua adalah ketika kita menjadi klien/subyek, karena pada saat menjadi klien, inilah saatnya untuk ‘ngerjain’ si pewawancaranya.
Pada minggu kedua dan ketiga sudah mulai ada peningkatan dari semua peserta. Yang tadinya apda minggu pertama gugup dan takut dan melakukan banyak kesalahan, pada minggu kedua dan ketiga sudah semakin membaik. Tampaknya semua peserta malah menantikan giliran pada minggu kedua dan ketiga ini. Setelah selesai memainkan peran sebagai pewawancara, klien, maupun observer, peserta yang baru keluar dari ruangan konseling, apakah itu pewawancara, klien, ataupun observer, pasti menjadi heboh dan saling menceritakan pengalaman mereka selama 10 menit itu. Pengaalaman selama tiga minggu praktek wawancara ini sangat menyenangkan, selain dapat berlatih dan menambah pengalaman melakukan wawancara, kami juga mendapatkan hiburan, kegembiraan, dan canda tawa atas serunya cerita masing-masing kelompok dalam berperan.
Pada tanggal 11 Mei 2013, kelas kami mengunjungi 3 panti sosial. Saya dan kelompok beserta beberapa teman sekelas, mendapat giliran mewawancarai penghuni panti sosial di daerah Cengkareng. Panti tersebut dikelola oleh pemerintah setempat. Ruangan-ruangan di dalam panti cukup bersih, lega, terang dan tidak bau. Selain itu juga terdapat halaman yang besar dan banyak pohon-pohon rindang di tengah wisama-wisma panti tersebut.
Teman-teman saya banyak yang memulai wawancara dengan mudah dan baik. Sementara saya agak sulit dalam menentukan subyek untuk diwawancarai. Adapun teman sekelompok saya yang takut kepada nenek-nenek, mungkin dia mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dengan nenek-nenek di masa lalunya. Akhirnya saya mencoba mendekati seorang nenek yang sedang dudul di ranjangnya, saat saya mendekat ia pun menceritakan tentang kakinya yang sakit, tidak dapat berjalan dan susah buang air besar. Selama kurang lebih 15 menit ia terus menceritakan hal tersebut berulang-ulang, dan ketika saya bertanya nama dan usianya, ia tidak merespon, dan terus bercerita tentang kakinya. Setelah beberapa kali mencoba bertanya tentang identitas dirinya dan tidak ada respon, saya pun pamit untuk berkeliling.
Saya pun mendatangi seorang kakek yang sedang merajut keset di meja. Lalu saya mencoba menanyakan apa yang sedang ia lakukan, dan melihat-lihat hasil karnyanya tersebut. Kemudian saya pun mengajaknya duduk dan mengobrol. Akhirnya kakek tersebut menjadi subyek saya, tentunya setelah informed consent diberikan. wawancara saya lakukan selama kurang lebih 1 jam.

Menurut saya, wawancara di panti ini menambah pengalaman kami dalam mewawancarai orang lansia. Dibandingkan dengan mewawancarai teman, wawancara kepada lansia ini terbilang sulit. Faktor usia, penurunan fisik dan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi juga membatasi usaha kami dalam melakukan wawancara. Klien saya saja contohnya, pendengarannya sudah menurun, jadi selama wawancara, saya harus berbicara cukup keras di samping telinganya agar ia dapat memahami pertanyaan saya. Belum lagi jika ia salah menangkap arti dari pertanyaan yang diberikan dan menjawab jawaban yang agak melenceng. Tapi itu semua menjadi pengalaman yang amat beharga bagi kami semua.

26 Mei 2013

Belajar dengan 3+1 (Dionysius Dias Ardi Nugroho)

Saat berada di usia lima tahun, saya senang sekali berkhayal. Khyalan itu semakin kuat karena adanya media televisi. Televisi memberikan berbagai sajian mulai dari film kartun hingga lagu anak-anak. Di tahun 90an, lagu anak-anak memang banyak muncul di televisi. Itulah yang membedakan anak-anak zaman sekarang dengan anak-anak zaman 90an. Di zaman ini, anak-anak secara tidak langsung mengonsumsi lagu-lagu pop atau lagu-lagu galau dan teknologi yang semakin canggih.
Membahas mengenai imajinasi dan lagu anak-anak, kedua hal ini berbanding lurus pada tahun 90an. Mungkin Anda tahu mengenai penggalan lagu, “Susan, susan, kalo gede ingin jadi apa? Ingin jadi dokter nyuntik orang sakit.” Lagu tersebut menjadi popular sehingga, anak-anak sekolah jika ditanya cita-cita, sebagian besar menjawab ingin menjadi dokter. Hal itu membuktikan bahwa rangsangan visual dapat memperkuat imajinasi.
Saya pribadi juga mengagumi sosok presenter televisi yang membuat saya ingin terjun di dunia broadcasting, tetapi saat lulus SMA guru BP di sekolah memberi inspirasi untuk masuk jurusan psikologi. Masa-masa SMA adalah masa-masa yang membingungkan untuk menentukan jurusan kuliah. Waktu terus berjalan sampai saat ini yaitu tahun 2013 dan saya sudah berada di semester 6. Memasuki bulan Mei tandanya bulan terkahir untuk kuliah karena bulan Juni sudah memasuki masa ujian.
Di semester 6 juga menjadi waktu saya untuk mempelajari Teknik Wawancara (nama mata kuliah). Bulan Mei adalah waktu untuk belajar teknik wawancara yang sesungguhnya karena ada praktikum dan wawancara di suatu tempat. Pengalaman nyata yang saya dapat yaitu saat wawancara di salah satu panti tuna daksa di daerah Cengkareng. Saat saya mewawancarai seorang dari panti tersebut saya belajar hal baru. Orang tersebut pernah punya pengalaman pahit, tetapi ia mampu menerima kejadian yang dialami. Orang tersebut sederhana dan punya cita-cita ingin berguna bagi orang lain.
Teori wawancara yang saya pelajari sangat dapat diterapkan pada saat tersebut. Menurut saya, teknik wawancara harus selalu diterapkan karena berhubungan dengan soft skill. Saat bertemu orang dan melakukan wawancara, Anda tidak mungkin membuka buku melainkan membuat pembicaraan terus mengalir dan bermanfaat. Pengalaman praktikum dalam tiga bidang (klinis, I/O, dan pendidikan) membuat saya paham mengenai penempatan diri dan penyesuaian diri terhadap klien.
Saat praktikum di bidang industri/organisasi, teman saya memerankan klien yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Teman saya memberi gambaran yang membuat saya melatih empati. Saya juga menanyakan seputar aktivitas kantor, sebelum memulai wawancara. Saat saya berperan menjadi klien, saya belajar untuk merasakan atmosfer wawancara penerimaan kerja. Saat menjadi observer, saya melatih kemampuan saya mengamati teman yang melakukan wawancara di bidang industri/organisasi. Teman saya mampu melakukan wawancara dengan baik.
Minggu berikutnya adalah praktkum bidang pendidikan. Teman saya memerankan anak SMA yang salah memilih jurusan. Dalam hal pendidikan untuk menghangatkan suasana, pertanyaan yang muncul adalah mengenai aktivitas sekolah yang dilakukan. Saya juga menjadi anak yang salah jurusan saat teman saya menjadi psikolog pendidikan. Saat saya menjadi observer, teman saya mampu melakukan wawancara dengan baik.
Minggu terakhir adalah praktikum mengenai psikolog klinis. Pada kesempatan ini, untuk memerankan seorang klien, saya harus memahami teori-teori agar mampu memerankan orang yang memiliki masalah. Praktikum kali ini memang unik, untungnya saya mampu memerankan sehingga pewawancara mendapat data yang cukup.
Dari dua kesempatan belajar tersebut, saya menyimpulkan bahwa teknik wawancara itu sangat berguna. Perlunya membina hubungan baik yaitu dengan menanyakan seputar aktivitas dan hobi lawan bicara agar percakapan terasa lebih hangat. Berikutnya empati semakin meningkat setelah mendengar cerita lawan bicara. Dan yang terakhir, adalah fokus kepada lawan bicara. Fokus memberikan ketenangan pada lawan bicara karena kita memberikan keyakinan bahwa kita masih mendengarkan dia. Akhir kata, kombinasi imajinasi dan visual yang saya alami dalam mempelajari teknik wawancara dapat membantu saya untuk menjalani kehidupan agar berguna dan tidak mengecewakan orang lain.

26 Mei 2013

Pengalaman Wawancara (Elisa CJ)

Akhirnya selesai juga serangkaian praktikum wawancara di lab dan terjun langsung di PSTW. Dari pengalaman ini, saya belajar langsung bagaimana menjadi pewawancara yang baik. Meskipun belum sempurna, tetapi dari praktikum yang sudah dijalani, saya menjadi tahu bagaimana wawancara itu. Saat praktikum minggu pertama, saya sangat gugup karena lama sekali menunggu giliran. Saat dipanggil, ternyata saya menjadi klien. Saya merasa beruntung karena pada putaran pertama tersebut saya menjadi klien. Saya menjadi tahu, bagaimana keadaan ruangan, tempat duduk serta meja, bagaimana posisi tubuh yang baik saat menjadi pewawancara, dimana harus meletakkan kedua tangan, apakah perlu menaruh kertas di atas meja atau tidak. 
Wawancara pada minggu pertama berjalan lancar, tetapi pada akhir wawancara saya agak gugup karena lupa beberapa pertanyaan selanjutnya. Sulit rasanya membuat parafrase secara langsung saat wawancara. Di satu sisi, saya terpaku pada pernyataan klien. Di sisi lain, saya menyiapkan pertanyaan selanjutnya. Sering saya terdiam, mencatat, dan "Eeee..." sambil memutar otak berpikir apa yang akan saya katakan. 
Praktikum minggu kedua dengan setting pendidikan, terasa lebih enteng. Wawancara berjalan lancar dari awal hingga akhir. Hal ini mungkin di sebabkan oleh saya sudah tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya pada setting tersebut. Persoalan yang di ambil adalah Kesulitan Membagi Waktu pada Pelajar Kelas 2 SMA. Saya rasa kelompok sayapun juga sudah tahu bagaimana permasalahan tersebut, karena pasti semua orang pernah mengalaminya saat SMA.
Setting klinis, pada praktikum pada minggu ketiga. Saya gugup, karena bingung apa saja yang harus ditanyakan. Tetapi saat wawancara berlangsung, semua berjalan lancar. Pertanyaan yang telah saya dan kelompok siapkan pas habis saat Kak Tasya mengetuk pintu.
Selama tiga minggu praktikum, saat menjadi observer saya mendapat pelajaran bahwa eye contact itu sangat penting. Mencatat atau menunduk terus-menerus sangat tidak disarankan karena subyek akan merasa bingung. Selain itu, nada dan kecepatan bicara, serta posisi tubuh kita saat menjadi pewawancara juga penting. Sudah banyak teman-teman yang bisa membuat probing dengan baik. Parafrase mungkin masih sulit dilakukan, tetapi tidak ada salahnya mencoba. 
Beda ceritanya saat mewawancarai subyek di PSTW untuk tugas akhir. Subyek saya yang berumur 64 tahun, selalu menjawab "Ya.. Biasa aja.." setiap kali saya bertanya. Dari keseluruhan proses wawancara, saya merasa ada beberapa jawaban subyek yang kurang nyambung. Entah karena faktor usia, atau hal yang lain. Berdasarkan observasi pada subyek, beberapa kali subyek melakukan hal yang tidak biasa, seperti menginjak-injak tanah.
Jika saya simpulkan, kesulitan yang paling terasa hanya ada satu... Bagaimana membuat subyek menyatakan apa yang mau kita gali. Hal lain seperti parafrase, probing, eye contact, dan sebagainya saya rasa dapat dilatih seiring dengan jam terbang. Tetapi, membuat klien menyatakan apa yang ingin kita gali, merupakan hal yang sulit. 

26 Mei 2013

Satu langkah kecil untuk maju ke depan yang lebih baik lagi (Aris Nugraha)

     Kelas teknik wawancara akan segera berakhir. Namun, banyak hal yang dapat dipelajari di kelas ini. Salah satunya adalah how to become a good interviewer. Ternyata, untuk menjadi seorang interviewer yang baik itu tidaklah sulit namun tidak juga mudah. Semua itu, bergantung dari pengalaman yang dimiliki serta seberapa besar efforts yang diberikan dalam melakukan wawancara. Hal ini yang saya rasakan selama melakukan roleplay dan kunjungan ke panti.
     Selama menjadi interviewer, saya cenderung tidak terlalu memiiki hambatan yang sulit. Hal ini karena lingkungan juga telah mendukung saya serta saya mampu juga untuk active listening dan berempati terhadap permasalahan klien. Mungkin yang menjadi hambatan bagi saya adalah saya masih kesulitan untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan selama wawancara. Sempat beberapa kali selama menjadi interviewer, saya melihat kebawah untuk melihat pertanyaan. Meskipun setelah didiskusikan mengenai topik-topik yang telah dibuat namun tetap saja ada yang membuat pernyataan-pernyataan sebaliknya sehingga saya harus lebih memutar otak terhadap hasil jawaban yang diberikan.
     Lalu saya juga sempat merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang interviewee. Untuk menjadi seorang interviewee tidaklah mudah. Saya beberapa kali melakukan kesalahan karena salah konsep yang saya pikirkan sehingga menyebabkan saya memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan konsep yang sebenarnya.  Kemudian, saya juga sempat memberikan jawaban-jawaban pendek yang menyebabkan interviewer harus mengembangkan pertanyaan dari hasil jawaban saya tersebut.
    Mungkin salah satu pekerjaan yang sulit untuk saya lakukan adalah menjadi observer. Untuk menjadi observer diperlukan latihan secara terus-menerus dan teratur agar hasil observasi kita menjadi akurat dan tepat. Mungkin selama latihan roleplay, menjadi obsrever bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit karena kita hanya diam dan duduk melihat perilaku-perilaku yang dimunculkan oleh interviewer. Namun, ketika melakukannya bersamaan dengan interviewer maka hal ini akan menjadi kesulitan tersendiri bagi saya.

     Selama kunjungan ke panti, ada beberapa hal yang dapat saya pelajari. Pengalaman merupakan sesuatu yang mahal yang tidak dapat dibeli dengan uang karena pengalaman bukanlah suatu materi. Hal lain yang saya pelajari adalah suatu saat nanti, saya akan menjadi sama seperti mereka. Saya akan menjadi tua dimana kulit-kulit ini akan menjadi keriput kemudian nanti saya akan mengalami gangguan dalam pendengaran atau penglihatan lalu saya juga akan kesulitan untuk berjalan. Hal yang penting untuk dilakukan selama wawancara adalah empathy, bagaimana kita dapat merasakan perasaan mereka ketika mereka berada dalam posisi tersebut.

26 Mei 2013

pengalaman baru teknik wawancara (Deasy Ayu Wulan)


Semester I sampai semester V hanya melihat ruang praktik wawancara dari luar dan gelap, ga pernah tau persisnya seperti apa dan akhirnya sekitar lima minggu yang lalu saya sempat masuk, duduk, dan praktikum di sana! senang banget..
mahasiswa teknik wawancara dikasi waktu masing-masing sekitar 10 menit untuk jadi interviewer, interviewee, dan observer. 

saat menjadi interviewer (pewawancara), mahasiswa ditugaskan untuk menyiapkan daftar pertanyaan; membawa alat perekam suara; juga membawa alat tulis seperti pulpen dan kertas untuk mencatat jawaban atau kata kunci yang diucapkan oleh interviewee.
saat menjadi interviewee, mahasiswa dapat menjawab pertanyaan sesuai tema yang telah ditentukan oleh interviewer.
saat menjadi observer, mahasiswa diharapkan mencatat aktivitas yang dilakukan oleh interviewer kemudian catatan yang telah dibuat, akan diberi kepada interviewer sebagai feedback.
 
nah.. praktikum ini berlangsung tiga minggu berturut-turut. minggu pertama dengan tema psikologi industri dan organisasi, minggu kedua temanya psikologi pendidikan, dan tema pada minggu ketiga adalah psikologi klinis.
saat tema psikologi industri dan organisasi, yang juga merupakan hari pertama praktik, cara saya duduk sangat kaku dan saat ingin bertanya sering melihat daftar pertanyaan atau melihat kanan dan kiri sambil berpikir pertanyaan selanjutnya. ketika interviewee menjawab pertanyaan, saya kurang mendengar dan memahami jawaban interviewee karena berusaha mencari pertanyaan selanjutnya atau mengingat pertanyaan yang akan saya tanyakan selanjutnya.
saat tema psikologi pendidikan dan psikologi klinis, saya mulai lancar bertanya; jarang melihat daftar pertanyaan. saya juga mendengarkan jawaban interviewee dan membuat pertanyaan dari jawaban tersebut.
ternyata memang kunci lancar berkomunikasi itu mendengarkan dengan sungguh-sungguh ya.. 
saat menunggu giliran untuk jadi interviewer, deg-degan... paling senang saat dipanggil sebagai observer karena denger wawancara yang temanya bagus-bagus juga melihat gerak-gerik teman saat berinteraksi dan ruangannya dingin, adem banget lumayan pas kepanasan nunggu giliran.


11 Mei 2013, saya dan beberapa teman berkunjung ke Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2. Jika Anda ingin mengadakan kegiatan bakti sosial atau hanya ingin berkunjung untuk memberi penghiburan kepada para Oma dan Opa, Anda bisa datang ke Jl. Cendrawasih X/8, Cengkareng - Jakarta Barat. Lingkungan di luar maupun di dalam panti cukup terawat dan bersih juga banyak angin sehingga tidak perlu takut kepanasan atau merasa tidak nyaman dengan lingkungan panti.

Nah... Awalnya kami berkumpul sekitar lima menit di gedung utama yang berseberangan dengan aula serta area kamar Oma dan Opa, kemudian kami jalan bersama mengelilingi panti sambil memilih subyek untuk masing-masing kami wawancarai. Awalnya saya bingung memilih subyek, Oma atau Opa ya? Namun pada akhirnya saya melangkahkan kaki menuju Opa yang sedang duduk sambil merokok, kami berkenalan sambil sedikit berbincang mengenai kegiatan yang beliau lakukan. Beliau mengatakan sangat senang bila ada yang berkunjung ke panti karena merasa ada yang memerhatikan dan membuat panti seolah-olah ramai, lebih ada kehidupan. Beliau tidak berharap diberi uang atau barang oleh pengunjung panti, cukup dengan sapaan dan senyuman dapat membuatnya merasa berharga.

Ya... Pastinya sapaan dan senyuman yang tulus, benar-benar dari hati. Senyum sambil memberi perhatian pada orang yang kita beri senyum, bukan senyuman yang hanya bertahan satu detik kemudian mengalihkan pandangan tanpa memaknai 'bahasa' dari senyum tersebut.

Saat melihat Opa yang ada di panti, saya sedih karena teringat dengan Ayah saya. Ayah yang sedang berjuang sendirian untuk terus memberi pendidikan dan kehidupan yang layak bagi ketiga anaknya. Saya tidak akan menyia-nyiakan kehadiran Ayah saya; seperti yang dilakukan beberapa orang yang sampai tega tidak pernah mengunjungi atau tidak ingin mengetahui kabar orang tuanya.

Apapun status sosial yang ada di masyarakat, hubungan orang tua dan anak maupun hubungan dalam keluarga inti harus tetap saling jaga dan menyayangi. Jagalah orang terdekat selagi kita mampu dan masih mempunyai waktu untuk bersama mereka.

Sekali lagi, ketulusan. Kita dapat menunjukkan rasa kasih dengan hal yang sebenarnya mudah. Senyum dan perbuatan tulus lainnya.
26 Mei 2013 

yeah, I can do it! (Nawal Afif)

     Melakukan wawancara merupakan hal menegangkan bagi saya. Berbicara dengan orang lain yang saya tidak kenal saja saya kaku, apalagi untuk menjadi pewawancara. Saya rasakan ketegangaan yang luar biasa pada saat praktikum pertama di kampus, saya benar-benar tercampur aduk antara rasa takut, tegang, panik dan takut tidak bisa mengingat daftar pertanyaan. Dan ternyata benar pada saat saya menjadi I-wer benar-tegang dan lupa pada daftar pertanyaan yang membuat saya mencontek daftar pertanyaan.

     Ketika wawancara pada lansia di panti merupakan pelajaran yang luar biasa untuk saya. Ketika subyek saya menangis didepan saya, rasa juga sedih ingin menangis bersama, tetapi saya ingat untuk menjadi I-wer yang baik tidak ikutan menangis dan saya dapat menahan rasa itu. dalam proses mencari data subyek, ternyata tidak segampang yang saya kira. Saya belajar di sini terkadang sebuah wawancara tidak harus sesuai dengan apa yang kita tulis didaftar pertanyaan, karena belum tentu subyek kita menjawab apa yang kita mau dan mengerti apa yang kita maksud. Dengan menanyakan hal-hal yang biasanya mereka lakukan mereka menjadi teringat dan akhirnya bercerita panjang lebar.

    Pada praktikum kedua merupakan bagian favorite saya, yaitu praktikum sebagai psikolog dalam sekolah untuk i-wer setting pendidikan. Hal ini membuat saya bertekat untuk melihat daftar pertanyaan lagi dan melakukannya dengan spontan. Dan ternyata berhasil walaupun ternyata sebelum 10 menit saya sempat kehabisan bahan pembicaraan. Pada pratikum kedua saya merasakan kehilangan rasa keteganggan dan rasa panik saya. Ketika praktikum ke terakhir saya juga merasakan ketenganggan, karena untuk setting klinis. Tetapi saya berpikir buat apa saya panik karena takut tidak hafal dengan daftar pertanyaan  dan tegang karena takut berbuat salah. Saya kan sedang belajar dan saya mecoba tidak panik agar tidak buyar semua. Dan ternyata hasilnya membuat saya mengatakan yeaah I can do it! Yang di mana saya tidak melihat daftar pertanyaan dan saya menanyakan dengan spontan. Ternyata saya bisa melakukannya :’) *terharu*.


    Dari semua praktikum di kampus dan di panti, merupakan pelajaran berharga buat saya dalam menjadi i-wer. Hal ini tidak akan saya lupakan, karena ternyata menjadi i-wer bukanlah suatu hal yang menyusahkan. Satuhal yang saya dapatkan menjadi i-wer dan merupakan kuncinya yang menurut saya, yaitu bersikap tenang. Dan saya yakin dari praktikum-praktikum ini membuat saya memiliki bekal untuk kelak nanti.

26 Mei 2013

“Easy to say, Hard to do…?” (Imelda Victoria)

If there’s a word “interview” written, what is the first thing that come to our imagination, our feel, our thought, our understanding?

As for me, before i attend interview technique class, i see interview as a question-answer session only. Ask, then answer. No more. Like in magazine, or a detective movie, or perhaps something like test - just answering a question then it’s finished. A simple little thing that only need a courage of asking and the ability to answer the question, nothing more.
Learn interview through theory surely change my view of interview. It come to my sense and give me more deep understanding. The theory encourage my confidence. I began to think, “Oh, i see. So it was like that. If i master the interviewing skill’s theory, i will come near to be able to do the ‘real’ interview”. But when it comes to the practice, i’m confused by the theory myself. On my very first practice with roleplay setting, i didn’t check on my recorder so i didn’t record anything. Thanks to my note, so i’m still able to make a report. Not only i didn’t record it, i come to forgot that i need to record it while the practice has begun. I’m too excited, my mind full of interviewing skill theory and the question list. But i’m encouraged because i’m able to put both my attention and interest to the story of my client by setting at that time, i imagine it as a real one. I shall give her a big thanks too, since she help me a lot with her acting as we are in a real setting. But this isn’t something to be happy about. We able to follow and understand the client’s story is not the everything. On the next four practice i’ve done, this lead me to more and more error.

The second practice is not a role play, our client or subject is not our friend anymore. The answer isn’t made of, it’s a real one. I’m aware at these, and i become want to know more about the story. But here again the error, i’m sunken by the story. Didn’t control my expression, didn’t note which part is important to be digged out, didn’t check the recorder quality, ignoring the ‘real’ use of informed consent, in other word - i almost forgot every theory that i’ve learned. After two practice, i come to a conclusion that theory may not like it seems but it’s still needed and i should able to practice all of it. The third practice, here where i learn ‘bias’. Come to my luck, that my client-to-be is my bestfriend. I know her and i know there will be bias, so i learn how to control the ‘bias’. How to not mix my feel, emotion, and bring our relationship on the interview practice. Kind of hard, but i’m happy that i didn’t laugh on nor think any funny things while doing it. So i feel that i’ve success to control myself. Fourth practice, same like the second one but a little better than before. I begun to feel i’m better than before, and this kind of thought lead me to another error *again*. I’m trying to correct myself on something that i still lack on, but here i lost what i’ve maintain. It’s been the fifth one, i should be better than before. But i did a fatal error, forgot to ask full personal data, such as birthdate and so on, mixed the question and almost out of topic. Truthfully, i kind of shocked by my friend’s acting whose become my client on that day. It seems that we have a slight misscommunication, i’m trying to control her answer and lost my focus on what i should really do. I’m too rigid and think much on it. 

From above, it seems i’ve got a lots of error and maybe i almost lost my confidence on interviewing. To be honest, i’m not losing any confidence  because i really took a lot of lesson on it. I didn’t see myself as a total failure. Five times practice isn’t and never enough to me but in the same time it was my precious experience. Another good thing which come to my sense is about theory. Some people once told me that, theory is just theory and in real-life context they become nothing. I begin to questioning it and i come to believe that theory actually is our guidance (not a tool) to mastering skills - like a recipe in cooking class - especially on this case. But still theory isn’t the number one thing that must be done while learning. As for me, the number one which is needed was a desire to learn. Accept errors even if it cause resentment. Be proud of with what we’ve done. Don’t be satisfied fastly with what have been done. And more, take our learning experience as fun yet good things to be remembered. 

I really like this class. I have another precious experiences. I hope what i’ve learned here will be a good use in my future *i think it will*

26 Mei 2013

Refleksi Praktikum (Veronica Widiastuti)


Nah ini nih yang seru pas keluarin uneg-uneg yang sudah terpendam selama tiga minggu berturut-turut.. mau tau apa itu? ayo disimak..
Ini adalah blog saya di kelas teknik wawancara yang berisi tentang refleksi selama menjalani praktikum berminggu-minggu. Praktikum ini dilakukan tiga sesi yaitu dalam bidang PIO, Pendidikan, dan Klinis. Seru sih pas praktikum pertama.. ada deg-degannya, seriusnya, apalagi buat kesalahan. Dalam praktikum ini saya mendapatkan pengalaman baru yaitu dengan latihan menjadi pewawancara yang sesungguhnya, rasanya menjadi klien yang bermasalah, dan juga melihat apa saja yang telah dilakukan oleh teman lain yang sedang melakukan wawancara. Menjadi pewawancara yang baik sebenarnya sangat sulit karena dalam praktikum, walaupun sudah menyontek kertas pertanyaan, saya masih salah-salah dalam menanyakan pertanyaan dan juga dengan suara atau intonasi yang kaku. Seperti blog-blog saya yang sebelumnya terdapat beberapa keterampilan dan juga pengalaman yang banyak agar bisa menjadi pewawancara yang baik.
Di minggu pertama dalam setting PIO itu rasanya deg-degan banget sampai siapin contekan pertanyaan di mana-mana. Fokus ke klien? Saya rasa malah lebih fokus ke pertanyaan selanjutnya “mau tanya apa lagi yah”?. Belum lagi waktunya cukup atau tidak dengan daftar pertanyaan tersebut. Minggu kedua sudah ada persiapan dan juga setting Pendidikan lebih gampang sehingga memudahkan untuk wawancara. Nah di minggu ketiga nih, setting klinis.. yang ditakutin bukan jadi pewawancara, tapi jadi kliennya. Topik dari pewawancara ada yang gangguan atau tidak, kalau gangguan harus seperti apa yah acting-nya?

Pengalaman ke panti juga gak kalah serunya nih dengan pengalaman praktikum. Di panti itulah saya menemukan pengalaman baru. Dengan mewawancarai seorang nenek, saya mendapatkan banyak nasehat darinya dan juga cerita pengalamannya. Mewawancarai seseorang yang baru dikenal tidaklah mudah. Cara membina raport akan sangat bergantung dengan hasil yang akan nantinya saya dapatkan. Untungnya saya berhasil membina raport hingga saya disenangi kehadirannya.  
Itu pengalaman praktikum yang sangat bagus bagi saya.. itu pengalamanku, kalau kamu? Silakan mencoba..
 
26 Mei 2013

Pengalaman adalah Teman Terbaik (Eko Hadi Sayekti)

Setelah 3 minggu menjalani praktek wawancara mulai sejak di dalam Kampus dan di Panti, saya sangat bersyukur karena dari sana, saya mendapat banyak pengalaman dan juga bertambahnya jam terbang saya dalam wawancara. Mengingat mewawancarai seseorang merupakan sebuah ketrampilan, maka latihan adalah dasar awalnya, meskipun seseorang mengerti dengan benar tentang teori dasar dari teknik wawancara tetapi tanpa pernah melatih dan mempraktekkan pada orang lain, maka seseorang tidak akan pernah menjadi ahli sebagai pewawancara. Saya melihat dari praktek yang sudah, ada isitlah yang tepat yaitu “Bisa karena Biasa” maka dalam praktek wawancara dengan sering melatihnya berulang-ulang maka kita akan bisa menjadi pewawancara yang baik.

Dalam praktikum di kampus ada pengalaman menarik, pengalaman menariknya adalah dapat bermain peran seolah-olah menjadi seorang Psikolog (Psikolog IO, Psikolog Pendidikan, Psikolog Klinis) yang benaran, karena settingnya seolah-olah nyata, saya merasa ada keyakinan dalam diri saya, apalagi ditambah teman-teman di kampus sangat baik sekali dalam memerankan sebagi seorang klien. Setiap sesi persesi saya berusaha menunjukkan kompentesi saya mulai membuka pintu, menyapa, mempersilahkan duduk, membina rapport sampai mendapatkan informasi. Ketika klien menjawab pertanyaan saya,  membuat diri saya berlatih terbuka dalam merespon jawaban yang dilontarkan sambil latihan mengobservasi perilaku yang ditampilkan.

            Selain itu pengalaman yang tidak terlupakan adalah saat pertanyaan yang saya berikan dan ternyata jawabannya berbeda, maka saya perlu memutar pikiran saya, agar proses wawancara berjalan dengan baik. Memang klien memiliki hak untuk menjawab yang dia mau serta jawaban itu tidak harus sama dengan yang saya mau, dan ini justru memacu saya untuk membuat pertanyaan baru yang memang belum ada dalam daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Untungnya meskipun waktu yang diberikan hanya 10 menit sebagai pewawancara saya berusaha untuk selalu sadar pada informasi apa yang ingin saya dapatkan dari wawancara saat itu.

            Pengalaman saat menjadi observer, ada pengalaman yang mungkin hanya sekedar pengalaman bukan niat merendahkan orang lain. waktu itu ada teman saya yang berperan menjadi pewawancara saat itu dia sudah mulai kehabisan daftar pertanyaan bukannya membuat inisiatif bertanya malahan sibuk bolak-balik lembar daftar pertanyaan. Semacam orang sedang bingung mau melakukan apalagi. Saya belajar dari sini bahwa seyogyanya sebagai pewawancara, meski selalu siap membuat pertanyaan baru ketika kehabisan pertanyaan apalagi ketika informasi yang dimau belum didapatkan.

            Pada waktu di panti lanjut usia di Grogol, ada pengalaman yang membuat sadar inilah kehidupan dan akhirnya seperti merekalah kita nantinya. Dimana tidak ada lagi kecantikan dan ketampanan, tidak ada lagi wangi-wangian, yang tercium hanya aroma minyak kayu putih bercambur aroma bekas air kencing.  Saat Kak Tasya memperbolehkan mulai wawancara saya bingung awalnya, karena berpikir mau wawancara yang mana ini, saya berjalan menyusuri kamar-kamar mereka, sampailah dibagian ujung kamar yang dihuni oleh tiga orang lansia. Mereka umumnya sudah susah untuk berjalan dan berjalannya pun merangkak, ketika melihat itu sedih rasanya. Tapi mau bagiamana? Dengan niat yang sudah ada saya memperkenalkan diri, menjelaskan niat dan tujuan saya pada mereka dan akhirnya salah satu dari mereka bersedia saya wawancarai.

            Selama wawancara di panti dengan subyek pengalaman yang harus dipegang adalah pentingnya sikap sabar. Sebab  dengan sabar kita akan mendapat informasi yang lengkap dan subyek juga merasa senang dengan kehadiran kita. Selain sabar kita perlu berempati agar minimal kita tahu bagaimana kondisi dia sehingga kita tidak menjadi muncul rasa tidak suka, atau bahkan membuat penilaian yang salah tentang mereka.

            Meskipun praktek wawancara sudah berakhir, semoga kiranya pengalaman ini menjadi modal dasar dalam pengembangan kemampuan saya, saat menggali informasi tentang orang lain. Meskipun seandainya saya tidak menjadi seorang psikolog minimal dengan belajar dan praktek wawancara ini, saya sudah mendapatkan pengalaman berharga yang berguna dalam hidup saya. Terima kasih Bu Henny dan Kak Tasya…

26 Mei 2013.

kunjungan panti sosial (Annisa Ayu Primadani)


     Selama sebulan ini saya mendapatkan pengalaman yang sangat berharga. Dalam rangka mengerjakan tugas mata kuliah Teknik Wawancara, saya mengunjungi salah satu Panti Sosial di kawasan Jakarta Barat untuk mewawancarai salah satu WBS setempat. Pada awalnya saya sempat kaget karena ambience-nya yang sangat nyaman dan higienitas yang sangat terjaga. Jujur saja, dalam pikiran saya selama ini, kata panti sosial selalu memiliki konotasi yang negatif. Saya pikir, seperti panti-panti pada umumnya, tempatnya akan sempit, berisik dan agak jorok. Namun ternyata panti tersebut cukup luas dan bersih. Penghuni-penghuninya sangat bersahabat, petugasnya juga cukup helpful. Saya seperti berada di rumah sendiri.
     Awalnya saya datang bersama teman-teman sekelas. Namun karena kondisi saat itu yang sangat hectic, saya tidak berhasil mendapatkan subyek untuk diwawancarai. Karena itu lah saya terpaksa kembali lagi ke panti tersebut untuk kedua kalinya. Pada kunjungan kedua, saya ditemani 2 teman saya yang merupakan teman sekelompok saya pada project tersebut. Saat itu saya berangkat dari kampus tercinta sekitar pukul 13.30 siang. Mungkin memang nasib saya yang sedang sial, lagi-lagi saya belum berhasil mendapatkan data yang dibutuhkan karena di hari itu ada sebuah acara perpisahan yang diselenggarakan oleh suster-suster yang magang di panti tersebut.
     Saat acara perpisahan berlangsung, saya dan teman-teman diizinkan untuk menonton. Suster-suster tersebut mengadakan sebuah kuis yang pesertanya tidak lain adalah oma-oma tersebut. Walaupun mereka sudah cukup berumur dan memiliki kondisi fisik yang sudah tidak prima lagi, mereka masih bisa bersenang-senang. Bahkan ada salah satu oma yang heboh joged-joged dengan diiringi musik dangdut.
     Walaupun hari itu saya tidak berhasil wawancara, saya tidak merasa kecewa sama sekalikarena saya sangat menikmati kunjungan tersebut. Oma-oma di sana sangat friendly dan lucu-lucu dengan keunikannya masing-masing. Mungkin karena kebanyakan dari mereka sudah tidak memiliki keluarga lagi, mereka terlihat sangat senang ketika saya dan teman-teman mengajak mereka untuk ngobrol-ngobrol. Saya jadi ketagihan untuk main ke sana lagi.
     Pada kunjungan ketiga, akhirnya saya berhasil untuk mewawancarai salah satu oma di sana. Orangnya sangat ceria dan lucu. Pada saat wawancara, tidak ada kesulitan yang berarti karena beliau sangat kooperatif dan terbuka. Walaupun ia memiliki keterbatasan fisik dan tidak memiliki keluarga, beliau mampu mensyukuri keadaannya dan menjalani hidup layaknya orang-orang pada umumnya. Hal ini juga berlaku pada beberapa penghuni panti tersebut. Banyak hal-hal positif yang dapat dipelajari dari oma-oma tersebut. Saya juga semakin menyadari passion saya pada bidang klinis dewasa. Kelak jika saya sudah menjadi psikolog yang mumpuni, saya sangat ingin menolong orang-orang seperti mereka sesuai kemampuan saya.

26 Mei 2013

Refleksi Praktikum Wawancara (Monica Unsri)

Saat menjalani praktikum di kelas Teknik Wawancara, saya mendapatkan pelajaran menarik mengenai cara untuk mewawancarai orang-orang yang berbeda setiap minggunya. Misalnya saja saat minggu pertama dengan setting PIO, kelompok saya mendapat giliran pertama sebagai pewawancara, sangat terasa groginya karena saya merasa seperti benar-benar sedang mewawancarai seseorang. Namun, hal-hal yang penting telah dipersiapkan dengan baik bersama dengan kelompok yang baik pula sehingga proses wawancara berjalan baik sampai ke dua minggu setelahnya dengan setting pendidikan dan klinis. Setelah menjalani tiga minggu praktikum dengan ‘klien’ yang berbeda, membuat saya merasa ini merupakan latihan wawancara yang sangat berarti saat harus mewawancarai yang sebenarnya nanti. Saya jadi mengetahui bahwa mewawancarai tidaklah semudah yang saya pikirkan sebelumnya, belum lagi jika klien tidak kooperatif dan sulit digali informasinya.
Akhirnya, tibalah saat dimana saya harus benar-benar melakukan wawancara yang sesungguhnya di sebuah panti tuna daksa di daerah Cengkareng. Klien benar-benar di depan mata, saya harus benar-benar membina rapor dan mengingat kembali ‘latihan’ yang sudah saya lakukan selama tiga minggu terakhir. Memang, pada pertama kunjungan saya mengalami kesulitan yaitu tidak mendapatkan subyek, tetapi tetap mencoba untuk melakukan wawancara dengan seorang subyek perempuan yang telah diwawancarai oleh teman saya yang lain. Kebetulan di panti itu subyek sebaya dengan saya. Namun, subyek tidak kooperatif dengan saya setelah saya ajak bicara dan sebagainya, sehingga saya memutuskan untuk harus kembali pada hari berikutnya.
Baru kemudian hari berikutnya, di siang itu saya bertemu dengan seorang subyek laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari saya dan ternyata memiliki semangat yang luar biasa dibalik kekurangan fisiknya. Proses wawancara berjalan dengan sangat baik. Subyek secara tidak langsung memberikan saya pelajaran yang sangat berharga bahwa dengan kekurangan yang dimilikinya, ia masih memiliki semangat dan tidak berkecil hati jika diremehkan orang lain. Ditambah lagi, subyek juga tidak menggunakan kekurangannya sebagai sarana meminta belas kasihan orang lain, tetapi ia memiliki kemauan untuk berkarya, bekerja, dapat berpikir positif di balik penderitaan yang dialaminya, dan bahkan mampu menghasilkan uang dengan keringatnya sendiri. Sekiranya kita, khususnya saya, dapat menyerap pelajaran berharga dari orang-orang yang berkekurangan seperti Beliau dengan mengucap syukur pada Tuhan atas hidup kita yang tidak berkekurangan dalam hal fisik dan menjalani hidup dengan tersenyum dan terus bersemangat setiap harinya.

Demikian refleksi praktikum saya pada kelas Teknik Wawancara. Tidak lupa juga saya untuk mengucapkan terimakasih pada dosen mata kuliah bersangkutan, Ibu Henny dan asistennya Kak Tasya yang telah dengan sangat baiknya menurut saya, mengajarkan kelas Teknik Wawancara secara atraktif dan tidak membosankan karena saya menyadari materi mata kuliah ini cukup berat jika tidak diperhatikan dengan baik, khususnya bagi saya.. Hehe.. Terimakasih, Bu. J

26 Mei 2013

kesan--kesan selama praktikum di lab maupun di lapangan (Evelin Chandra)

     Penulis mengikuti praktikum laboratorium yang dilakukan selama tiga minggu dengan tema yang berbeda. Praktikum tersebut di mulai pada tanggal 6 Mei 2013 – 20 Mei 2013. Pertama, Penulis menjalani praktikum dengan tema industri dan organisasi. Kedua, Penulis menjalani praktikum dengan tema Pendidikan. Ketiga, Penulis menjalani praktikum dengan tema Klinis.
    Selama menjalani ketiga praktikum laboratorium, Penulis mendapatkan kesan yang berbeda di antara masing-masing praktikum tersebut. Ada suka dan duka yang di miliki di setiap sesi praktikum laboratorium tersebut. Penulis merasa bahwa sangat sulit melakukan wawancara dengan tema klinis jika dibandingkan dengan tema lainnya karena Penulis harus membuat pertanyaan yang lebih spesifik yang dapat menjelaskan mengenai latar masalah dari klien tersebut sementara klien pada saat itu sangat bersikap datar dan hanya menjawab seperlunya (satu-dua kata).
     Selama menjalani praktikum laboratorium dengan tema pendidikan, Penulis sangat merasa mudah melakukannya dan lebih santai di bandingkan dengan teman yang lainnya karena Penulis merasa bahwa kasus yang Penulis ambil sangat berhubungan erat dengan anak-anak pada umumnya. Penulis juga merasa tertarik dengan yang tema pendidikan yang di ambil yaitu kasus bullying.
     Selama menjalani praktikum laboratorium dengan tema industri dan organisasi, Penulis merasa kekurangan pertanyaan serta karena terlalu gugup sehingga pada saat melakukan wawancara, Penulis menjadi lupa dengan pertanyaan yang mau di pertanyakan kepada klien sehingga Penulis merasa harus membuka pertanyaan berulang kali dimana pada saat itu Penulis menaruh daftar pertanyaan di paha Penulis. Penulis merasa gugup karena tema tersebut adalah tema awal dan pertama kalinya juga Penulis di amati dan terjun lapangan langsung walaupun klien masih satu angkatan dengan Penulis.
     Selain praktikum laboratorium, Penulis juga menerapkan teknik wawancara di lapangan yaitu di Panti Sosial Trisna Werdha yang dilakukan pada tanggal 11 Mei 2013. Di panti tersebut, Penulis melakukan wawancara dengan seorang nenek yang sudah lama tinggal di panti tersebut. Awalnya Penulis merasa takut dan merasa nenek tersebut galak karena ketika Penulis bersalaman dan meminta persetujuan kepada nenek tersebut untuk menjadi partisipan dari wawancara yang Penulis lakukan. Ketika meminta izin, nenek tersebut dengan nada tinggi menjawab “boleh..tapi saya lagi tanggung..tunggu” (tanpa memperhatikan Penulis karena pada saat itu nenek tersebut sedang serius melakukan aktivitas menjahit) hingga 15 menit kemudian setelah selesai menjahit, Penulis kembali meminta izin dan bertanya kepada nenek tersebut. Nenek tersebut akhirnya sudah siap untuk di wawancarai dan selama proses wawancara dilakukan ternyata nenek tersebut aktif bercerita dan ramah kepada Penulis dengan logat Jawa-nya.
     Suka yang Penulis alami selama menerapkan keterampilan teknik wawancara tersebut baik di laboratorium maupun di lapangan adalah bahwa Penulis mendapatkan banyak pengetahuan dari klien, Penulis mendapatkan pengalaman yang berharga ketika terjun langsung berdasarkan teori yang sudah Penulis pelajari, Penulis juga dapat mengetahui susahnya dalam menerapkan teknik wawancara, Penulis juga menjadi belajar untuk melakukan proses wawancara yang baik dengan kritik dari teman-teman lainnya, Penulis juga harus memberikan alternatif pertanyaan yang lain dengan cepat jika klien tidak mengerti atau jika pokok masalah dari kasus yang Penulis ambil belum ditemukan intinya.
     Duka yang Penulis alami selama menerapkan keterampilan teknik wawancara tersebut adalah bahwa Penulis mengetahui sulitnya membina raport dengan klien agar klien nyaman dan mau terbuka dengan Psikolog, Penulis memiliki ketakutan pada tema-tema tertentu, Penulis juga merasa gugup bila berhadapan dengan klien pada saat awal wawancara dilakukan, Penulis juga mengalami suatu kejadian dimana pertanyaan yang sudah Penulis siapkan habis serta pertanyaan yang berlebihan.
 
26 Mei 2013

Minggu, 26 Mei 2013

Lets do it! (Nurul Hidayah Prabowo)

      Pada 3 minggu terakhir ini, saya praktikum wawancara dalam 3 setting. Pertama itu pratikum Psikologi Industri dan Organisasi. Pratikum pertama kalo tidak salah (berarti bener..) jatuh pada hari Senin (06/05/13). Nahh,, Pas hari minggunya tuh yaa, sebelum hari Senin, stresnya minta ampun. Kalo otak bisa protes, dia bakal protes kali yaa, "Nggak bosen apa mikirin buat besok! Tugas noh kerjain". hahaha.. mungkin kalo bisa ditebak, kurang lebih begitulah bunyinya protesan otak saya ini. 
      Keesokan harinya,,
     Setelah menunggu beberapa menit untuk mengantri sembako jatah pratikum ke sebuah ruangan di kampus yang pada hari itu juga adalah pertama kalinya saya masuk ke ruangan itu, nama kelompok saya pun dipanggil juga. Kebetulan pertama kali kelompok kami dapat jatah menjadi "OBSERVER". Itu di capslock gitu tulisannya ada alasannya loh, alasannya itu karena saya merasa beruntung. Dengan menjadi observer, perasaan tegang langsung runtuh seketika. huh! Nafas terasa plooonnggg!! 
     Hokinya lagi, orang yang saya obervasi pertama kali adalah teman saya yang sangat bagus sekali saat memerankan interviewer. Begitu mengkhayati..  Jadi pada hari pertama itu saya seharusnya berterima kasih pada teman saya tersebut, begitu menginspirasi.. :D (Urutan perannya : jadi observer, klien, dan interviewer).
     Seminggu kemudian...
     Tibalah pada pratikum wawancara setting Psikologi Pendidikan. It's my favorite! Pada minggu kedua ini, rasanya tidak begitu terlalu tegang. Setidaknya tidak sampai membuat otak saya protes seperti minggu pertama. :D Pratikum pendidikan ini, saya lebih banyak membayangkan guru Bimbingan Konseling (BK) saya sewaktu SMA. Hmmm,, Nggak sia-sia juga dulu suka nongkrong di ruang BK. :p Pada pratikum Pendidikan ini, jatah pertama kelompok saya adalah menjadi klien. (Urutan perannya : jadi klien, interviewer. dan observer).
     Dua Minggu kemudian,,
     Minggu ketiga ini adalah pratikum wawancara yang terakhir. (Huh!! Akhirnyaaa...!!). Begitu lah perasaan saya sewaktu pratikum ketiga dalam setting Psikologi Klinis ini. Hmm,, Sebenarnya pada saat pratikum Klinis ini, kelompok saya belum membuat pedoman pertanyaannya (soalnya kelompok saya ganti tema). Tapi entah mengapa, karena saya terlalu keenakan dengan 2 pratikum sebelumnya. Saya seakan jadi meremehkannya. Tapi untuk jaga-jaga, saya meminta nasehat pada salah satu dosen di kampus saya (sepertinya saya juga harus say to thanks pada beliau.. :). 
     Kena batunya deh!
     Pada pratikum minggu ketiga, kelompok saya pertama kali mendapat jatah menjadi interviewer. Jenggg.. jenggg... Saat prakteknya, nggak selancar pratikum 2 minggu sebelumnya. Psikolog Klinis sepertinya emang harus pintar-pintar yaa memainkan kata-kata dalam menghadapi kliennya.
     Intinya, daripada belajar teorinya melulu, penting juga loh kita praktekkin ilmu yang udah dipelajari. Karena prakteknya nggak segampang teorinya.. Teori mah asal nempel,, Ada soal, bisa jawab? Kita bisa dibilang udah lulus. Tapi kalo disuruh praktekkinnya? Belum tentu semudah menghafal teori :D
So, Just Lets do it!!  :D

Praktikum dan Kunjungan Panti (Elvandari Armen)

Setelah tiga minggu selesai praktikum teknik wawancara sebagai psikolog PIO, pendidikan, dan klinis, saya banyak mendapatkan pengalaman. Saya dapat mempraktekkan teori-teori yang telah dipelajari di mata kuliah teknik wawancara yang berlangsung selama satu semester. Selain itu, saya dapat mengasah inisiatif menjawab pertanyaan secara langsung ketika harus berperan menjadi klien.
Hal yang paling mengasyikan dalam hal ini adalah selain menggunakan pakaian formal layaknya psikolog sungguhan, kami pun diobservasi langsung oleh teman. Selain itu, saya mendapatkan feedback selama saya menjadi seorang pewawancara. Jadi, saya dapat mengetahui gerak-gerik yang mungkin tanpa saya sadari dilakukan.
Pengalaman menjadi pewawancara diteruskan.... Kami, mahasiswa teknik wawancara melakukan kunjungan ke panti. Kelompok saya mengunjungi salah satu panti tuna daksa di daerah Jakarta.
Pertama kali, ketika saya sampai bersama teman kelompok, saya melihat seorang laki-laki berusia sekitar 23 tahun dengan keadaan kaki tidak sempurna, sehingga dia tidak dapat berjalan dengan baik. Laki-laki tersebut membukakan pintu pagar ketika mobil kami sampai di panti dengan tersenyum.  Saya merasa saya orang yang beruntung karena hingga detik ini saya masih bisa berjalan dengan kedua kaki saya..
Setelah keluar dari mobil, saya dan teman-teman sekelompok menunggu rombongan lain. Setelah meminta ijin kepada kepala panti, pencarian subyek dapat dilakukan. Kami dikumpulkan di suatu aula besar di mana penghuni panti sudah duduk dan melihat ke arah kami... Penjaga panti menyambut kami dan mempersilahkan kami untuk mencari subyek sendiri..
Kami tampak bingung ketika dipersilahkan mencari subyek sendiri. Saya dan teman-teman saling menatap satu sama lain.  Kami merasa canggung karena selama melakukan kunjungan ke panti untuk mata kuliah lain, penghuni panti dibiarkan melakukan aktivitas biasa, tidak dikumpulkan seperti ini. Setelah beberapa menit saya melihat sekelinling aula, akhirnya saya tertarik dengan seorang bapak-bapak yang duduk di  atas kursi roda, di pojok aula. Saya mulai memperkenalkan diri dan proses wawancara berlangsung.
Bapak yang saya wawancarai sungguh luar biasa. Bapak tersebut menceritakan sepenggal pengalaman hidupnya. Beliau mampu menerima keadaannya dan masih sangat bersyukur karena masih diberi kehidupan oleh Tuhan. Padahal, menurut saya pribadi, dengan keadaan seperti itu, saya tidak tahu apakah saya masih bisa semangat menghadapi hidup. Dan satu pelajaran yang dapat saya petik dalam kunjungan panti kali ini.... Yaitu bersyukur :)

Seberapa pun sulit hidup yang kita lalui, pada akhirnya tetaplah dapat diselesaikan.. Semua terasa manis ketika kita mau bersyukur tentang apa yang terjadi hari ini... :)
 
25 Mei 2013

What We Face Now is Nothing Compared to What Real Life Will Give to Us (Melly Preston)

Selama tiga minggu terakhir ada banyak hal yang saya pelajari, begitu juga dengan teman-teman. Kami belajar bagaimana mewawancarai klien dalam situasi yang setengah real. Kami belajar bagaimana mengaplikasikan secuil teori mengenai wawancara yang ada dengan baik dan benar dalam berbagai setting. Kami belajar bagaimana cara menghadapi klien yang bermacam-macam karakteristiknya (baru 3 macam, sih). Sebagian dari kami bersorak senang, semangat, dan menganggap praktikum ini menyenangkan. Namun dari satu praktikum ke praktikum selanjutnya, selalu terdengar keluhan, hembusan pasrah, atau kekesalan dari sebagian lainnya, baik sebelum maupun sesudah praktikum.
Selama masa praktikum ini, saya banyak menyadari beberapa hal mengenai diri saya, tidak hanya dari sisi kelemahan saya dalam melakukan wawancara, tetapi juga dari sikap saya terhadap hidup. Harus saya akui bahwa beberapa kali saya juga mengeluarkan desah gelisah dan keluh kesah kepada teman-teman saya. Namun setiap kali sedang melakukan wawancara, ada rasa exited yang muncul karena ini adalah pengalaman baru yang akan sangat berguna bagi saya. Di sisi lain, ada satu masa dimana saya merasa begitu bodoh dan tidak kompeten dalam melakukan wawancara. Ada juga satu masa dimana saya berpikir kenapa hidup ini begitu memusingkaaannn..
Ketika diminta untuk membuat refleksi di blog ini, saya mulai menyadari betapa tidak perlu atau tidak sepantasnya saya untuk berkeluh kesah, khususnya setelah saya mengingat kembali cerita dari opa yang saya wawancarai secara real pada tanggal 11 Mei 2013 di panti lanjut usia. Opa menceritakan kepada saya bagaimana ia harus berjuang hidup dengan merantau dari satu tempat ke tempat lain dan kenyataan pahit yang ia alami dalam hidup. Kenyataan pahit bahwa rumahnya terbakar dan tidak lama kemudian orang tuanya meninggal saat ia masih muda.
Dari ceritanya saya belajar bahwa inilah hidup yang sebenarnya, bahwa hidup memang akan disertai penderitaan, and we have to face it and accept it. Selalu akan ada kesulitan yang harus dihadapi manusia untuk dapat menghargai dan mensyukuri hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya saya atau teman-teman untuk berkeluh kesah atau menyerah hanya karena tersandung oleh batu kecil. Di masa depan masih ada banyak batu-batu besar yang akan menghadang langkah hidup saya, seperti layaknya yang telah opa lalui. Keluhan seperti “aduh, panas; capek; susah, pusing” dan lain-lain harus segera dihilangkan dari kamus kita karena keluhan tidak akan menolong kita berdiri kembali.
Secara keseluruhan, dari pengalaman praktikum dan wawancara di panti, saya juga mendapatkan satu bukti lagi bahwa psikologi itu layak untuk dipelajari. Psikologi tidak semudah atau serendah yang orang pikirkan. Pada akhirnya, psikologi bukanlah teori sosial, teori belajar atau teori kepribadian, melainkan adalah teori atau pelajaran tentang hidup yang sebenarnya dan tentang menolong sesama manusia.

25 Mei 2013

Pengalaman Seru saat Pratikum.. (Dhiya Afifah Purvita)

     Pada 3 minggu terakhir ini, saya tidak lagi belajar teori mengenai teknik wawancara melainkan langsung praktek mengenai teori yang telah diajarkan. Tentu saja hal ini membuat saya menjadi deg-degan dan grogi. Awalnya dalam pikiran saya campur aduk. Saya berfikir bisa ga ya saya praktek dengan baik?kira-kira pertanyaannya cukup ga ya?siapa ya klien saya?kalo klien saya tidak kooperatif saya harus gimana ya?hal itu membuat saya cemas menjelang ngambil nilai praktek.
 
     Pada Senin, 6 Mei 2013 itu pertama kali saya mengambil nilai pratikum. Pada hari itu saya sangat cemas sampai tidak selera makan karena sudah takut duluan hehehe..Pada saat kelompok saya dipanggil untuk menjadi pewawancara, saya sudah mulai tidak tegang, dalam hati saya berdoa untuk dapat melakukannya dengan baik. Dan saya pun mulai wawancara, dan pada setting pio, kasus saya mengenai rekrutmen staff HRD. Pada saat pratikum pertama saya merasa bahwa masih banyak kekurangan yang saya miliki seperti tidak mencatat poin-poin penting dari jawaban klien, selain itu saya juga masih merasa grogi dalam menyampaikan pertanyaan kepada klien sehingga terdengar seperti terbata-bata. Saya juga belum melakukan probing. Diantara keterampilan dasar yang harus di kuasai oleh pewawancara, saya sudah dapat membina rapport dengan klien seperti pada saat klien mengetuk pintu, saya membuka pintu dan berjabat tangan dengan klien, lalu saya menanyakan kabar dari klien pada saat itu serta menanyakan bagaimana perjalanan klien menuju kantor (perusahaan). Dalam sesi wawancara saya juga sudah mencoba mencairkan suasana supaya tidak tegang, hal ini terlihat saat klien juga tertawa kecil menanggapi humor yang saya lontarkan. Dari keempat aspek attending behavior, yang saya telah saya lakukan dengan baik adalah visual (kontak mata). Selama klien menjawab, saya hampir selalu mengarahkan pandangan mata saya ke arah klien. Selain itu, saya juga sudah menggunakan body language, hal ini dapat dilihat pada saat saya bertanya kepada klien saya menggunakan pergerakan tangan dan tidak hanya diam. Salah satu hal yang sudah saya lakukan pada active listening adalah nonverbal encouragement dan verbal encourangement, dimana saat subyek bercerita saya suka menganggukkan kepala dan sesekali saya mengatakan “ya..lalu..”. 
 
     Pada tanggal 11 Mei 2013, saya mendapatkan tugas untuk ke Panti Sosial Tuna Werdha Budi Mulia II. Pada saat itu yang saya takutkan adalah saya takut pertanyaan saya menyinggung oma atau opa yang ada disana. Pada saat sampai di panti tersebut, saya melihat ada seorang oma yang duduk dibawah pohon dan terlihat oma tersebut lagi santai. Saya mencoba untuk mendekati oma tersebut dan terlihat oma tersebut menyambut dengan ramah dan tersenyum. Ia juga mengatakan bahwa saya tidak menganggunya sehingga saya mulai dengan membina rapport terlebih dahulu. Setelah itu, saya meminta izin untuk merekam selama berlangsungnya tanya jawab. Yang saya dapatkan bahwa mewawancarai seseorang yang sudah tua tidak semenakutkan yang saya kira. Oma yang saya wawancara cukup kooperatif saat menjawab pertanyaan yang diberikan hanya saja mungkin ada beberapa pertanyaan yang ia tidak mengerti maksud yang ditanyakan sehingga kita harus menjelaskan dengan jelas maksud kita sehingga menjadi leading question. Pada saat wawancara, saya sudah melakukan kontak mata dengan oma dan seseklai mencatat jawabannya. Saya juga sudah melakukan verbal encouraging seperti “oh gituu omaa..lalu..” dan sesekali saya mengangguk saat mendengarkan jawaban dari oma tersebut. Hal yang menghambat saat wawancara adalah suara oma yang terlalu kecil sehingga terkadang saya tidak mendengar jawaban dengan jelas. Saat oma merasa sedih dan mengeluarkan air matanya saat bercerita, saya merasa tertantang karena saya harus dapat menghibur klien agar dapat ceria kembali.
 
     Pada pratikum kedua dan ketiga, saya berusaha memperbaiki kekurangan yang saya lakukan pada pratikum sebelumnya. Hal yang saya perbaiki adalah saat pratikum pertama saya tidak mencatat poin-poin penting dari  jawaban subyek, lalu saya sudah melakukan probing untuk memperdalam jawaban klien. Hal-hal yang sudah saya lakukan pada pratikum pertama yang sudah sesuai dengan keterampilan dasar saat wawancara saya pertahankan supaya lebih baik lagi. Tetapi, pada pratikum terakhir saya merasa bahwa kurang melakukan kontak mata dengan klien sehingga hal itu membuat performance saya kurang baik. Hal yang paling menyenangkan saat pratikum adalah saat melakukan observasi. Pada saat itu kita dapat menilai sekaligus mengintropeksi diri serta kita dapat melihat akting temen sendiri saat melakoni perannya sebagai klien, hal itu merupakan hal yang menyenangkan.

25 Mei 2013

Belajar Praktek (Ayu Thannia Dewi)

Kami sebagai mahasiswa psikologi, pasti nantinya akan melakukan serangkaian proses dalam bekerja. Apapun bidangnya, di dalamnya pasti akan ada proses di mana kita bertanya untuk tujuan tertentu. Namely, interview. Nah, dalam rangka mempersiapkan diri, selama tiga minggu terakhir ini, kami melakukan praktek wawancara dalam tiga bidang. Yaitu, I/O, Pendidikan, dan Klinis. Prosesnya adalah, satu kelompok (terdiri dari 5) melakukan wawancara, satu kelompok menjadi klien, dan satu kelompok lainnya mengobservasi si pewawancara. Setiap kami diputar untuk mendapatkan masing-masing peran. Rasanya, nervous banget!
Minggu pertama, ketika tema kami adalah I/O, itu luar biasa panas-dinginnya. Saya sendiri sampai mencoba berkali-kali, mengedit daftar pertanyaan berkali-kali, dan hasilnya, SUKSES!!Yea, sesuksesnya pertama kali mencoba lah ;p
Saya sudah mencoba attending behavior dengan eye contact (I think this is the most important), dan mencoba berbicara dengan nada yang tidak terlalu keras, tidak terlalu kecil, tidak terlalu cepat, melambatkan di beberapa tempat. Setelah melakukan prosesnya, ternyata tidak sesulit itu. Seperti mengobrol biasa memang, namun apa yang menjadi topiknya itu yang harus digali terus. Rasanya, teori yang banyak itu justru membuat bingung -.-"
Saya juga sudah mencoba melakukan pembinaan rapport, seperti tersenyum, mempersilakan duduk, dan menanyakan kabar. Namun karena ini kali pertama dan nervous banget, akhirnya saya malah menanyakan kabar dua kali. Oh my GOD! That was so stupid. 
Yang terpenting adalah memperhatikan dan mengelaborasi dari pernyataan klien, terkadang mengangguk dan mengatakan "heem" di saat yang tepat (that's called encouraging). Saya juga sudah mencobanya. Namun apakah itu sudah bisa dikatakan empati, Saya tidak tahu. Hingga saat ini saya masih bertanya-tanya, bagaimana caranya berempati? Mungkin harusnya saya tidak terlalu mempertanyakannya dan let it flow.
Tema minggu kedua adalah Pendidikan. Klien saya adalah siswi kelas 3 SMP (yang diperankan oleh teman saya). Saya rasa saya menyukai anak-anak, atau remaja. 
Wawancara kali ini menjadi lebih baik karena tidak se-nervous kemarinnya. Saya masih melakukan attending behavior yang sama, membina rapport dengan cara yang sama (disesuaikan dengan usia), menggunakan nada yang lebih ceria (disesuaikan dengan usia), encouraging, mengelaborasi, dan.. let it flow

Tema terakhir adalah Klinis, dengan tema wawancara yang kelompok saya pilih adalah Insomnia. Sebelum praktek, saya mengalami sedikit insiden sehingga hampir tidak ada waktu untuk berlatih seperti minggu-minggu sebelumnya. Dan, kelompok saya maju pertama. Wished to be luck. Anehnya, proses wawancara terasa begitu cepat dan kami sudah kehabisan waktu.
Saya masih melakukan hal yang sama dengan minggu-minggu sebelumnya, seperti melakukan attending behavior, membina rapport dengan cara yang sama, encouraging, dan mengelaborasi. Namun karena nervous kembali, saya sempat lupa apa yang ingin saya tanyakan. Akhirnya terjadi "Em.." panjang. Untungnya saya cepat mengalihkan pertanyaan, meskipun ujungnya menjadi sedikit aneh. Haaa....

Ada juga kemarin pengalaman kunjungan panti di sebuah panti penyandang cacat. Suasananya cukup nyaman dan menyenangkan, terutama klien saya sangat responsif dalam menjawab. Pengalamannya bukanlah sesuatu yang biasa, hampir membuat nangis klien loh! Kasus-kasus seperti ini memang sangat sensitif ketika harus menggali masa-masa yang tidak mengenakkan. Saya sudah berusaha untuk menjaga agar klien tidak menangis, dan mengobrol ngalor-ngidul (tetap ada tujuannya) mengenai kehidupannya beliau. Disana saya cukup tertegun mengenai kepercayaannya yang dipegang teguh dan impian yang masih belum tau kapan terwujud. 
Proses wawancara tersebut berlangsung santai. Saya berbicara menghadap klien, namun tidak terus menerus melakukan eye contact karena saya ingin melakukannya seperti ngobrol santai. Paling hanya nada suara dan kecepatannya yang saya atur agar klien masih tetap merasa bahwa ceritanya diperhatikan. Pada awalnya saya mencoba mengajak klien untuk duduk di tempat lain karena ruang aula terlihat sumpek, akhirnya kami duduk dekat jembatan. Saya mencoba membuat rapport dalam waktu yang sangat singkat itu, bersyukur karena kliennya pun responsif meskipun beberapa hal tidak bisa diungkapkan dengan jelas oleh beliau. 
 
Bertanya di sana-sini, gali terus dan terus, benar-benar menjadi orang yang kepo. Angguk-angguk juga saya lakukan, yang lebih karena kebiasaan daripada keharusan. Pengalaman ini bukan hanya pengalaman untuk wawancara menurut saya, tapi juga pengalaman membersihkan jiwa. Haha ^^
 
Begitulah minggu yang panjang ini berakhir. 
Semoga minggu Anda lebih menyenangkan!
25 Mei 2013

Its All About The Process (Ricki Victor)

     "Pelajari teorinya, lakukan prakteknya" mungkin kata-kata tersebut cocok untuk mata kuliah Teknik Wawancara, di mata kuliah ini saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pewawancara, yang diwawancarai, dan observer sekaligus dalam tiga setting (IO, Pendidikan, Klinis).

     Pertama kali melakukan praktek, saya berkesempatan menjadi yang diwawancarai, saat itu saya menjadi seorang karyawan yang melamar pekerjaan di salah satu perusahaan multi-nasional dengan jabatan manager. Hal yang paling menyenangkan saat menjadi orang yang diwawancarai adalah saya tahu rasanya bagaimana saat diwawancarai di suatu perusahaan walaupun hanya dalam bentuk role play (by the way, kami semua diwajibkan untuk mengenakan pakaian formal agar terlihat lebih nyata), pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara saat itu cukup membingungkan karena tidak ada persiapan apapun yang kami lakukan dan topik wawancara baru diketahui 5 menit sebelum role play dimulai. Selanjutnya di minggu ketiga (for your information, saya  tidak mengikuti role play di minggu kedua karena berhalangan) saat menjadi yang diwawancarai dalam setting klinis, saya menjadi seorang klien yang memiliki gangguan makan (anorexia nervosa), jujur saja sangat sulit membuat gangguan makan seperti topik yang kami bahas, mungkin jika gangguan tersebut diganti dengan autis atau schizophrenia akan lebih gampang untuk dilakukan prakteknya, hehe.

     Mari kita lanjutkan ke pengalaman saya sebagai seorang pewawancara. Hal yang pertama kali saya rasakan adalah menegangkan. Pertama kali saat menjadi pewawancara, saya membahas topik mengenai "hubungan gelap yang dilakukan seorang manager di perusahaan x dengan bawahannya yang telah berumah-tangga", awalnya kami berdua sempat ingin tertawa saat melakukan wawancara karena harus mewawancarai teman sendiri dengan kasus yang seperti itu pula ditambah dengan jawaban dari teman saya yang ngelantur saja tetapi akhirnya kami berdua bisa menahan diri sampai di akhir. Di minggu ketiga, saya juga mewawancarai seorang klien yang memiliki gangguan makan (anorexia nervosa) juga. Saat itu wawancara berjalan baik tetapi dari kedua kali kesempatan saya menjadi pewawancara, masih banyak hal yang harus saya kembangkan, seperti membangun rapport yang lebih baik juga agar klien dapat lebih nyaman sehingga ingin berbagi masalahnya, meningkatkan cara bertanya yang lenih baik lagi agar tidak bingung, dan cara untuk menutup sesi dengan halus agar tidak terkesan selesai begitu saja tanpa ada jalan keluarnya.

     Saat menjadi observer, tugas saya adalah "menikmati" role play yang dilakukan oleh kedua teman saya dan tugas saya adalah melakukan observasi terhadap pewawancaranya, apakah sudah bisa menjadi pewawancara yang baik atau masih harus ditingkatkan lagi. Dari observasi yang saya lakukan selama dua minggu, kedua teman saya sudah dapat melakukan wawancara dengan baik, namun ada beberapa hal yang harus dikembangankan lagi agar mereka menjadi pewawancara yang lebih baik lagi.

     Well, itu sedikit pengalaman saya yang dapat saya sampaikan saat malakukan role play teknik wawancara, masih banyak lucu, aneh, dsb yang tidak mungkin untuk saya sampaikan semuanya. Satu hal yang perlu diketahui adalah teknik wawancara merupakan satu-satunya mata kuliah yang memberikan kami teori, praktek dalam bentuk roleplay, dan juga praktek di luar lapangan. Sungguh suatu pengalaman yang menyenangkan dan mungkin tidak akan ada di mata kuliah lain.

Dalam kesempatan ini, saya juga akan membahas tentang pengalaman saya saat mengunjungi panti Bina Daksa di daerah Cengkareng pada tanggal 11 Mei lalu. Well, kunjungan tersebut merupakan pertama kali yang saya lakukan karena sebelumnya tidak ada mata kuliah yang menfasilitasi kunjungan langsung seperti ini.

Hal yang saya dapatkan cukup banyak selain pengalaman dalam melakukan wawancara pastinya. Diluar sana ternyata masih banyak orang yang memiliki keterbatasan fisik yang sangat terbatas namun mereka masih berusaha untuk dapat menjalani hidup ini dengan baik. Mereka mungkin merasakan tekanan yang tinggi dari masyarakat atas keterbatasan yang dimilikinya, namun hal tersebut tidak mengurungkan niat mereka untuk belajar. Seperti salahsatu penghuni panti yang kebetulan menjadi subyek wawancara saya, Beliau mengalami keterbatasan dalam berjalan karena terkena virus polio sejak usia 2 tahun. Beliau sangat ingin untuk dapat beraktifitas seperti manusia normal dan membantu kedua orangtuanya namun karena adanya keterbatasan tersebut membuat dirinya sering menjadi korban bullying temannya di sekolah sehingga ia tidak menyelesaikan sekolahnya. Sangat disayangkan, ketika seorang memiliki keterbatasan fisik, bukan berarti ia pantas untuk menjadi korban bullying dari orang-orang sekitarnya, ia juga memiliki hak dalam mendapatkan pelajaran dan beraktifitas seperti manusia normal. Setelah saya melakukan wawancara dengan beliau, ada beberapa hal yang saya tanggap, keputus-asaan dalam menjalani hidup ini di masa kecil, namun hal tersebut berangsur-angsur menurun karena Beliau masih mensyukuri apa yang ia miliki sekarang dibandingkan dengan teman-temannya yang berada di panti yang sama. Hal kedua yang saya dapatkan adalah Beliau ingin untuk bisa mandiri dan tidak menyusahkan orang lain, hal yang sangat simple untuk kebanyakan orang tetapi sangat berarti untuk Beliau.
Mungkin saya dapat menutup blog ini dengan satu kalimat sederhana, syukurilah apa yang ada pada diri kita saat ini karena apa yang kita miliki sekarang dan kita anggap biasa saja, bisa sangat berarti untuk orang lain diluar sana.
25 Mei 2013