Rabu, 27 Maret 2013
A story life (Melisa Lie)
Belakangan ini saya tiba-tiba berpikir mengenai suatu hal. Saya berpikir terkadang orang di dunia ini agak unik ya. Di satu sisi, ada orang yang menginginkan kehamilan sebegitu rupa, tetapi di satu sisi justru ada orang-orang yang tidak menginginkan kehamilan itu terjadi. Orang yang ingin sekali hamil melakukan segala cara untuk mendapatkan momongan. Pasangan suami istri dikatakan mengalami infertilitas ketika selama 1 tahun melakukan hubungan seksual tetapi tidak terjadi kehamilan. Baru-baru ini, ada seseorang yang bercerita dengan saya. Ia adalah seorang perempuan berusia di atas 30 tahun dan ia telah menjalani kehidupan pernikahan selama 6 tahun. Awalnya mereka menjaga agar istri tidak hamil selama satu tahun awal tetapi justru tidak hamil-hamil sampai sekarang. Mereka telah mencoba berbagai macam cara untuk mendapatkan momongan, mulai dari cara medis sampai cara tradisional. Akhir-akhir ini, mereka dibelikkan dua galon kecil berisi daging kelinci yang dicampur dengan ramuan-ramuan tradisional yang dianggap ampuh dan mereka harus menghabiskan ramuan tersebut selama 5 hari. Ramuan tersebut diberikan oleh ibu dari sang suami dan harga dari masing-masing galon adalah 1 juta rupiah. Saya cukup kaget mendengar nominal tersebut untuk segalon kecil ramuan tradisional. Ia menceritakan pada saya bahwa untuk meminum ramuan tersebut butuh perjuangan karena rasanya sangat tidak enak. Tidak hanya cara tradisional tetapi cara medis juga ditempuh, pasangan ini pergi ke dokter untuk mendapatkan treatment tertentu.
Di satu sisi lain, saya melihat kehidupan salah seorang wanita. Ia adalah ibu berumur 29 tahun dan memiliki dua anak. Jarak antara anak pertama dan kedua hanya selisih setahun lebih beberapa bulan. Kehamilan anak pertama dan anak kedua terjadi secara tidak disengaja, maksudnya adalah pasangan ini sesungguhnya tidak merencakannya. Saat menyambut kelahiran anak pertama, awalnya mereka merasa kaget tetapi juga senang dan ada perasaan “excited”. Tetapi saat ia mengetahui kehamilannya yang kedua, ia justru merasa sedih, marah, dan bertanya-tanya. Untungnya lambat laun ibu ini dapat menerima kehamilan anak keduanya. Sekarang anaknya yang besar sudah 2 tahun lebih beberapa bulan dan anak keduanya berusia kurang lebih 5 bulan, tetapi saya memperhatikan kehidupan ibu ini begitu luar biasa stress. Anak pertamanya cukup aktif dan sebenarnya butuh perhatian khusus sehingga anak pertamanya suka melakukan sesuatu tindakan yang membuat ibunya naik darah. Alhasil ibu ini sering sekali marah-marah di rumah karena kelakuan anaknya. Di satu sisi, pekerjaan suaminya menuntutnya untuk sering pergi ke luar kota. Jadilah ibu ini merasa semakin terbebani dengan segala situasi yang ada, ditambah lagi ibu ini mengurus sendiri kedua anaknya.
Melihat dua kasus tersebut, saya melihat bahwa setiap keluarga memiliki masalah masing-masing. Kembali lagi tergantung daripada kacamata pandangan kita sendiri menyingkapi sesuatu. Suatu pelajaran yang saya bisa ambil adalah merencanakan kehamilan dan menjaga kehamilan itu sama-sama penting. Komunikasi antara suami dan istri mengenai rencana kehamilan atau penjagaan kehamilan itu sangat dibutuhkan. Harus ada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Untuk kasus pertama ada satu hal yang saya salut dari wanita ini. Keinginan untuk memiliki anak memang ada tetapi ia berkata bahwa ia tidak pernah memaksa Tuhan untuk memberikannya anak. Suatu kalimat yang saya ingat dari ucapannya, “ Saya bahagia dengan kehidupan saya sekarang. Walaupun Tuhan belum memberikan anak pada saya, tetapi saya masih banyak hal yang saya cintai. Saya dapat pelayanan dengan bebas, saya memilki suami yang mencintai saya, saya dapat melakukan banyak kegerakan-kegerakan misionaris”. Jarang ada respon seperti demikian, kebanyakan orang jika belum diberikan anak akan mengalami berbagai macam emosi negatif lainnya yang justru memperburuk keadaan. Biarlah kita yang bertindak dan Tuhan yang menentukan.
Satu hal lagi yang saya dapat pelajari dari kasus kedua adalah merencanakan kehamilan itu sangat penting. Jangan sampai hamil dengan keadaan jiwa yang tidak siap karena pasti akan berpengaruh terhadap bayi tersebut. Jika memang ingin tetap merasakan kenikmatan seksual saat anak masih kecil, gunakanlah alat kontrasepsi yang aman. Untuk wanita terutama, jangan sampai menggunakkan alat-alat kontrasepsi yang berpotensi menimbulkan infeksi. Untuk saya pribadi, alat kontrasepsi yang menurut saya paling aman adalah yang pertama tidak melakukan hubungan seksual, kedua adalah menggunakkan kondom, dan yang ketiga adalah melakukan vasektomi. Itu hanya apa yang menurut saya memang paling aman tetapi kembali setiap pasangan memiliki hak pilih masing-masing. Yang penting adalah kesepakatan di antara kedua individu di dalamnya.
26 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar