Pada
perkuliahan Teknik Wawancara hari ini (14/03/2013), terjadi banyak hal yang berbeda
dari biasanya dimana saya dan mahasiswa/I kelas TekWan lainnya hanya
mendengarkan materi dan memandangi slide (dan dosen beserta asisten dosennya),
hari ini ada sedikit praktik kecil-kecilan secara berpasangan yang cukup
menghibur juga di kala cuaca siang itu sangat mendung dan sepertinya ampuh
membuat mata siapapun tertutup perlahan-lahan. Pada siang itu dibahas mengenai
wawancara secara lebih spesifik, termasuk apa bedanya Wawancara dengan
‘ngobrol’ biasa. Dan dijelaskan pula hal-hal apa saja yang boleh dan tidak
boleh dilakukan pewawancara/Interviewer terhadap Interviewee. Saya tidak akan
menjelaskan secara teoritis di blog ini. Namun dari semua penjelasan, intinya
sebagai interviewer, kita harus dapat membuat interviewee merasa nyaman dan
aman, sehingga kepercayaan interviewee pada interviewer dapat tumbuh dan
mempermudah interviewer untuk menggali informasi lebih banyak dan lebih
mendalam dari interviewee. Bukan hanya masalah ekspresi wajah dan nada bicara,
namun masalah interior dan lokasi wawancara juga dapat mempengaruhi sukses
tidaknya suatu sesi interview.
Untuk
ekspresi misalnya, seperti yang pernah ibu Henny tegaskan di awal-awal
perkuliahan… ‘jangan lebay’ tapi menurut asisten dosen, Ci Tasya jangan sampai
juga interviewer memasang ekspresi datar ditambah nada bicara monoton sehingga
interviewee akan merasa tidak dihargai dan tidak dimengerti. Intinya harus
netral, boleh saja bereaksi, tapi jangan menunjukkan ekspresi yang bisa membuat
interviewee merasa di’judge begini atau begitu oleh interviewer, bisa-bisa
nanti malah interviewee yang mengobservasi perilaku interviewer.
Soal
lokasi dan suasananya juga penting untuk diperhatikan. Misalnya saja,
interviewer lebih baik tidak menaruh barang-barang yang menunjukkan prestasi
atau penghargaan tertentu di ruang praktiknya, karena hal tersebut dapat
membuat interviewee merasa ‘minder’, merasa bahwa interviewer ini adalah orang
hebat sehingga ia bukan apa-apa dan bisa saja menurunkan self-esteem’nya. Lalu
soal kesamarataan juga perlu diperhatikan, kesamarataan dalam hal apa? Tempat
duduk. Interviewer harus berada pada ketinggian yang sama dengan interviewee,
dalam artian kursi interviewer lebih baik sama pendek/tingginya dengan
interviewee, sehingga interviewee merasa lebih dihargai dan tidak merasa
dibedakan.
Selanjutnya
ada nada bicara dan ucapan-ucapan apa saja yang sekiranya jangan sampai meluncur
secara tidak disengaja ketika sedang berlangsungnya sesi interview. Misalnya
(contoh yang diberikan di kelas) ketika kita menghadapi klien yang hamil di
luar nikah, jangan bertanya ‘mengapa itu bisa terjadi?’ lebih baik sedikit
berputar-putar hingga mendapatkan info yang diinginkan, misalnya tanyakan ‘apa
yang biasanya kamu lakukan kalau orang tua sedang tidak ada di rumah?’. Lalu
jangan tanyakan mengenai tingkat pendidikan (jika anda sudah tahu klien anda
memiliki tingkat pendidikan yang kurang tinggi), hal tersebut dapat menimbulkan
rasa minder pada dirinya. Yang terpenting, kenali darimana klien berasal dan
latar belakangnya. Hal ini sangat penting bagi interviewer dalam kaitannya
dengan penggunaan tata bahasa yang akan ia gunakan ketika mewawancarai klien.
Jika klien berasal dari tingkat pendidikan yang kurang, tentu tidak pas jika
interviewer menggunakan istilah-istilah yang agak ‘njelimet’, selain karena
klien tentu tidak memahaminya, klien juga dapat berpikir bahwa interviewer ini
adalah orang berpendidikan tinggi yang pandai, dan lagi-lagi… menimbulkan rasa
minder pada diri klien, hal yang jangan sampai kita timbulkan pada diri klien
tentu saja (tujuan kita adalah membantunya, bukan membuatnya semakin merasa
tidak baik). Sama hal nya jika klien adalah anak-anak atau remaja awal yang
perbendaharaan katanya masih belum terlalu luas.
Hal-hal
di atas itulah yang paling saya ingat dari perkuliahan siang ini. Berikutnya
ada praktek berpasangan, dimana kami mempraktekkan situasi ‘curhat’ yang biasa
kita lakukan sehari-hari. Satu orang menjadi orang yang curhat, dan satu orang
lainnya menjadi pendengar pasif (sebenarnya bukan pasif, tapi memang harus
berpura-pura tidak mengacuhkan orang yang curhat). Dari situasi ini, saya
mengerti bahwa tidak ada orang yang suka ‘dicuekin’. Namun lebih tidak enak
lagi mendiamkan orang lain dan berpura-pura tidak mendengar. Sesi berikutnya
masih sama, namun kali ini ketika curhat, seorang lainnya mendengarkan dengan
sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Pada sesi kedua ini saya menyadari bahwa
saya dapat curhat dengan lebih lancar dan terbuka dibandingkan ketika sesi
pertama. Dapat dilihat bahwa klien akan jadi lebih terbuka pada
interviewer/psikoloh yang mendengarkan mereka dengan sungguh-sungguh, genuine,
adalah satu hal penting yang harus dimiliki siapapun tidak hanya mereka yang
berprofesi sebagai ‘penyembuh’ jiwa.
Kesimpulan
yang saya dapat dari kuliah hari ini adalah, ketika kita berhadapan dengan
klien atau interviewee, fokuslah pada mereka dan benar-benar mencurahkan perhatian
secara penuh pada mereka, “makanya ibu Henny melarang kalian buat bolak-balik
ke toilet ketika sedang berlangsungnya kuliah, itu supaya kalian bisa focus dan
menahan diri untuk melakukan hal lain, karena ketika nanti mewawancara nggak
mungkin kalian izin sebentar sama klien buat ke toilet”, ujar Ci Tasya. Ah,
begitu rupanya.
18 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar