Minggu, 31 Maret 2013

Developing 2 most Important Aspect as an Interviewer: Genuine and Empathy (Lusiana Rio Santoso)


Pada perkuliahan Teknik Wawancara hari ini (14/03/2013), terjadi banyak hal yang berbeda dari biasanya dimana saya dan mahasiswa/I kelas TekWan lainnya hanya mendengarkan materi dan memandangi slide (dan dosen beserta asisten dosennya), hari ini ada sedikit praktik kecil-kecilan secara berpasangan yang cukup menghibur juga di kala cuaca siang itu sangat mendung dan sepertinya ampuh membuat mata siapapun tertutup perlahan-lahan. Pada siang itu dibahas mengenai wawancara secara lebih spesifik, termasuk apa bedanya Wawancara dengan ‘ngobrol’ biasa. Dan dijelaskan pula hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan pewawancara/Interviewer terhadap Interviewee. Saya tidak akan menjelaskan secara teoritis di blog ini. Namun dari semua penjelasan, intinya sebagai interviewer, kita harus dapat membuat interviewee merasa nyaman dan aman, sehingga kepercayaan interviewee pada interviewer dapat tumbuh dan mempermudah interviewer untuk menggali informasi lebih banyak dan lebih mendalam dari interviewee. Bukan hanya masalah ekspresi wajah dan nada bicara, namun masalah interior dan lokasi wawancara juga dapat mempengaruhi sukses tidaknya suatu sesi interview.
 
Untuk ekspresi misalnya, seperti yang pernah ibu Henny tegaskan di awal-awal perkuliahan… ‘jangan lebay’ tapi menurut asisten dosen, Ci Tasya jangan sampai juga interviewer memasang ekspresi datar ditambah nada bicara monoton sehingga interviewee akan merasa tidak dihargai dan tidak dimengerti. Intinya harus netral, boleh saja bereaksi, tapi jangan menunjukkan ekspresi yang bisa membuat interviewee merasa di’judge begini atau begitu oleh interviewer, bisa-bisa nanti malah interviewee yang mengobservasi perilaku interviewer.
Soal lokasi dan suasananya juga penting untuk diperhatikan. Misalnya saja, interviewer lebih baik tidak menaruh barang-barang yang menunjukkan prestasi atau penghargaan tertentu di ruang praktiknya, karena hal tersebut dapat membuat interviewee merasa ‘minder’, merasa bahwa interviewer ini adalah orang hebat sehingga ia bukan apa-apa dan bisa saja menurunkan self-esteem’nya. Lalu soal kesamarataan juga perlu diperhatikan, kesamarataan dalam hal apa? Tempat duduk. Interviewer harus berada pada ketinggian yang sama dengan interviewee, dalam artian kursi interviewer lebih baik sama pendek/tingginya dengan interviewee, sehingga interviewee merasa lebih dihargai dan tidak merasa dibedakan.
 
Selanjutnya ada nada bicara dan ucapan-ucapan apa saja yang sekiranya jangan sampai meluncur secara tidak disengaja ketika sedang berlangsungnya sesi interview. Misalnya (contoh yang diberikan di kelas) ketika kita menghadapi klien yang hamil di luar nikah, jangan bertanya ‘mengapa itu bisa terjadi?’ lebih baik sedikit berputar-putar hingga mendapatkan info yang diinginkan, misalnya tanyakan ‘apa yang biasanya kamu lakukan kalau orang tua sedang tidak ada di rumah?’. Lalu jangan tanyakan mengenai tingkat pendidikan (jika anda sudah tahu klien anda memiliki tingkat pendidikan yang kurang tinggi), hal tersebut dapat menimbulkan rasa minder pada dirinya. Yang terpenting, kenali darimana klien berasal dan latar belakangnya. Hal ini sangat penting bagi interviewer dalam kaitannya dengan penggunaan tata bahasa yang akan ia gunakan ketika mewawancarai klien. Jika klien berasal dari tingkat pendidikan yang kurang, tentu tidak pas jika interviewer menggunakan istilah-istilah yang agak ‘njelimet’, selain karena klien tentu tidak memahaminya, klien juga dapat berpikir bahwa interviewer ini adalah orang berpendidikan tinggi yang pandai, dan lagi-lagi… menimbulkan rasa minder pada diri klien, hal yang jangan sampai kita timbulkan pada diri klien tentu saja (tujuan kita adalah membantunya, bukan membuatnya semakin merasa tidak baik). Sama hal nya jika klien adalah anak-anak atau remaja awal yang perbendaharaan katanya masih belum terlalu luas.
 
Hal-hal di atas itulah yang paling saya ingat dari perkuliahan siang ini. Berikutnya ada praktek berpasangan, dimana kami mempraktekkan situasi ‘curhat’ yang biasa kita lakukan sehari-hari. Satu orang menjadi orang yang curhat, dan satu orang lainnya menjadi pendengar pasif (sebenarnya bukan pasif, tapi memang harus berpura-pura tidak mengacuhkan orang yang curhat). Dari situasi ini, saya mengerti bahwa tidak ada orang yang suka ‘dicuekin’. Namun lebih tidak enak lagi mendiamkan orang lain dan berpura-pura tidak mendengar. Sesi berikutnya masih sama, namun kali ini ketika curhat, seorang lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Pada sesi kedua ini saya menyadari bahwa saya dapat curhat dengan lebih lancar dan terbuka dibandingkan ketika sesi pertama. Dapat dilihat bahwa klien akan jadi lebih terbuka pada interviewer/psikoloh yang mendengarkan mereka dengan sungguh-sungguh, genuine, adalah satu hal penting yang harus dimiliki siapapun tidak hanya mereka yang berprofesi sebagai ‘penyembuh’ jiwa.
 
Kesimpulan yang saya dapat dari kuliah hari ini adalah, ketika kita berhadapan dengan klien atau interviewee, fokuslah pada mereka dan benar-benar mencurahkan perhatian secara penuh pada mereka, “makanya ibu Henny melarang kalian buat bolak-balik ke toilet ketika sedang berlangsungnya kuliah, itu supaya kalian bisa focus dan menahan diri untuk melakukan hal lain, karena ketika nanti mewawancara nggak mungkin kalian izin sebentar sama klien buat ke toilet”, ujar Ci Tasya. Ah, begitu rupanya.
 
Mendapatkan ilmu baru mengenai wawancara hari ini, saya jadi teringat tugas-tugas wawancara saya dari kelas-kelas terdahulu… betapa kacaunya sesi wawancara yang saya lakukan hahaha… semoga dengan bertambahnya pengetahuan saya mengenai wawancara, untuk tugas-tugas wawancara selanjutnya saya sudah mampu mempraktikan semua ilmu itu dengan baik dan efisien.

18 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar