Hampir setiap orang di dunia ini pasti
pernah mendengar dongeng-dongeng tentang putri, seperti Putri Cinderella, Putri
Tidur, dan Rapunzel. Setiap dongeng tersebut selalu diakhiri dengan sang putri
dinikahi oleh seorang pangeran yang juga penyelamat hidup mereka. THE END. Very happy ending, isn’t it?
Siapa yang tidak ingin perjalanan cinta mereka berakhir dengan begitu
indah? Sejak
dulu, hidup dan hubungan romantisme nyata memang tidak seperti dalam
dongeng
para putri. Namun, banyak pasangan yang menikah sebelum jaman milenium
dapat
mempertahankan romantisme dalam pernikahan mereka hingga saat ini.,
seperti contohnya adalah Bapak Habibie dengan alm. Ibu Ainun. Perceraian
masih jarang terjadi.
Sebaliknya, perceraian saat ini adalah
fenomena yang kian mendunia. Perceraian dalam usia pernikahan yang muda semakin
marak terjadi, seperti yang sering dilakukan oleh selebriti-selebriti dunia,
termasuk Indonesia. Mereka bercerai layaknya pacar meminta “putus” hubungan. Pernikahan
yang telah dijalani selama puluhan tahun pun kini lebih rentan mengalami
perceraian daripada saat dulu. Dari fenomena tersebut, banyak diantara kita
yang belum menikah pasti bertanya-tanya, mengapa saat ini keputusan untuk
bercerai sangat mudah diambil?
Ada banyak teori yang menjelaskan
kemungkinan alasan sebuah pasangan memutuskan untuk bercerai, diantaranya
adalah faktor sosial dan faktor kecenderungan (predisposing factors). Faktor sosial dapat berupa adanya perubahan
dalam hukum yang mengesahkan no-fault
divorce (pasangan boleh bercerai tanpa satu pun yang dinyatakan bersalah). Faktor
kecenderungan dapat berupa pasangan yang pernah bercerai atau memiliki orang
tua yang bercerai. Mereka ini lebih cenderung untuk mengalami masalah dalam
pernikahannya. Menikah usia muda dan Married
by Accident (MBA) jelas juga dapat berkontribusi dalam perceraian. Selain
itu, yang menarik adalah memiliki anak segera setelah menikah juga
berkontribusi dalam perceraian.
Selain kedua faktor tersebut, masih ada
faktor hubungan. Faktor ini dapat berupa masalah komunikasi yang ditandai
dengan pasangan tidak lagi berbicara tentang masalah hubungan mereka atau satu
partner sudah ingin membicarakan masalah mereka namun satunya lagi tidak mau
bicara. Terkadang ada juga orang yang percaya bahwa sifat atau perilaku kecil
yang mengganggu dari pasangannya akan menghilang atau berubah setelah menikah. Well, yang ini benar-benar alasan
menikah yang salah.
Seberapa banyak pun teori yang
menjelaskan tentang perceraian, kita sebagai pihak luar tidak dapat memutuskan sebuah
pasangan boleh atau tidak untuk bercerai. Mereka masing-masing memiliki masalah
yang berbeda. Seorang psikolog pun hanya dapat membantu pasangan untuk
memikirkan atau mempertimbangkan secara menyeluruh sebab dan akibat bercerai, serta
adakah cara yang lebih baik selain bercerai.
Pada dasarnya, pasangan manapun, baik
dulu maupun sekarang, pasti setidaknya sudah mempertimbangkan masalah-masalah
apa yang mungkin muncul dalam pernikahan mereka. Mereka tidak pernah
mengharapkan perceraian saat mereka memutuskan untuk menikah (jika mereka
benar-benar memutuskan menikah untuk hidup bersama). They wish for a happy-long lasting marriage. Begitu juga dengan
kita yang saat ini berada dalam status single
atau married.
Nah, dari penjelasan tentang perceraian
di atas, setidaknya kita yang belum menikah dan telah berpasangan dapat semakin
menyadari penyebab dari perceraian dan melakukan pencegahan mulai saat ini. Lakukan
refleksi atau koreksi diri dan bebaskan diri dari trauma-trauma. Belajar untuk
waspada terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku kita sendiri dan juga
pasangan. Sadari bahwa pernikahan itu sakral dan sumpah pernikahan adalah sumpah kepada Tuhan dan pasangan hidup kita.
"… to
have and to hold, from this day forward, for better, for worse,
for richer, for
poorer, in sickness and in health, until death do us part..."20 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar