Kamis, 28 Maret 2013

Until Death Do Us Part? (Melly Preston)




Hampir setiap orang di dunia ini pasti pernah mendengar dongeng-dongeng tentang putri, seperti Putri Cinderella, Putri Tidur, dan Rapunzel. Setiap dongeng tersebut selalu diakhiri dengan sang putri dinikahi oleh seorang pangeran yang juga penyelamat hidup mereka. THE END. Very happy ending, isn’t it? Siapa yang tidak ingin perjalanan cinta mereka berakhir dengan begitu indah? Sejak dulu, hidup dan hubungan romantisme nyata memang tidak seperti dalam dongeng para putri. Namun, banyak pasangan yang menikah sebelum jaman milenium dapat mempertahankan romantisme dalam pernikahan mereka hingga saat ini., seperti contohnya adalah Bapak Habibie dengan alm. Ibu Ainun. Perceraian masih jarang terjadi.

Sebaliknya, perceraian saat ini adalah fenomena yang kian mendunia. Perceraian dalam usia pernikahan yang muda semakin marak terjadi, seperti yang sering dilakukan oleh selebriti-selebriti dunia, termasuk Indonesia. Mereka bercerai layaknya pacar meminta “putus” hubungan. Pernikahan yang telah dijalani selama puluhan tahun pun kini lebih rentan mengalami perceraian daripada saat dulu. Dari fenomena tersebut, banyak diantara kita yang belum menikah pasti bertanya-tanya, mengapa saat ini keputusan untuk bercerai sangat mudah diambil?

Ada banyak teori yang menjelaskan kemungkinan alasan sebuah pasangan memutuskan untuk bercerai, diantaranya adalah faktor sosial dan faktor kecenderungan (predisposing factors). Faktor sosial dapat berupa adanya perubahan dalam hukum yang mengesahkan no-fault divorce (pasangan boleh bercerai tanpa satu pun yang dinyatakan bersalah). Faktor kecenderungan dapat berupa pasangan yang pernah bercerai atau memiliki orang tua yang bercerai. Mereka ini lebih cenderung untuk mengalami masalah dalam pernikahannya. Menikah usia muda dan Married by Accident (MBA) jelas juga dapat berkontribusi dalam perceraian. Selain itu, yang menarik adalah memiliki anak segera setelah menikah juga berkontribusi dalam perceraian.

Selain kedua faktor tersebut, masih ada faktor hubungan. Faktor ini dapat berupa masalah komunikasi yang ditandai dengan pasangan tidak lagi berbicara tentang masalah hubungan mereka atau satu partner sudah ingin membicarakan masalah mereka namun satunya lagi tidak mau bicara. Terkadang ada juga orang yang percaya bahwa sifat atau perilaku kecil yang mengganggu dari pasangannya akan menghilang atau berubah setelah menikah. Well, yang ini benar-benar alasan menikah yang salah.

Seberapa banyak pun teori yang menjelaskan tentang perceraian, kita sebagai pihak luar tidak dapat memutuskan sebuah pasangan boleh atau tidak untuk bercerai. Mereka masing-masing memiliki masalah yang berbeda. Seorang psikolog pun hanya dapat membantu pasangan untuk memikirkan atau mempertimbangkan secara menyeluruh sebab dan akibat bercerai, serta adakah cara yang lebih baik selain bercerai.

Pada dasarnya, pasangan manapun, baik dulu maupun sekarang, pasti setidaknya sudah mempertimbangkan masalah-masalah apa yang mungkin muncul dalam pernikahan mereka. Mereka tidak pernah mengharapkan perceraian saat mereka memutuskan untuk menikah (jika mereka benar-benar memutuskan menikah untuk hidup bersama). They wish for a happy-long lasting marriage. Begitu juga dengan kita yang saat ini berada dalam status single atau married.

Nah, dari penjelasan tentang perceraian di atas, setidaknya kita yang belum menikah dan telah berpasangan dapat semakin menyadari penyebab dari perceraian dan melakukan pencegahan mulai saat ini. Lakukan refleksi atau koreksi diri dan bebaskan diri dari trauma-trauma. Belajar untuk waspada terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku kita sendiri dan juga pasangan. Sadari bahwa pernikahan itu sakral dan sumpah pernikahan adalah sumpah kepada Tuhan dan pasangan hidup kita.

                  "… to have and to hold, from this day forward, for better, for worse,
               for richer, for poorer, in sickness and in health, until death do us part..."

20 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar