Minggu, 24 Maret 2013
psikologi klinis vs pio (Annisa Ayu Primadani)
Masuk ke minggu kedua perkuliahan tekwan, kami mendapatkan materi mengenai PIO (Psikologi Industri & Organisasi) dan Psikologi Pendidikan. Saya tidak akan bicara banyak mengenai Pendidikan karena dari seluruh sesi perkuliahan tersebut, satu hal yang menarik perhatian saya adalah pembahasan mengenai PIO.
Saat ini area PIO sedang marak-maraknya digemari. Beberapa tahun yang lalu, psikologi selalu identik dengan pasien rumah sakit jiwa. Konotasi yang negatif ini membuat psikologi tidak terlalu banyak diminati. Namun setelah PIO dan HRD naik daun, antrian calon mahasiswa yang mendaftar di fakultas psikologi makin membludak. Keluarga saya pun mendukung saya melanjutkan ke S2 sedikit banyak karena adanya kesempatan kerja di bidang tersebut yang dianggap lebih prestisius, walaupun sebenarnya passion saya lebih kepada bidang klinis. (maaf sedikit curcol hahaha)
Dalam urusan pekerjaan, tentu PIO sangat berbeda dengan klinis yang lebih banyak terlibat dalam konseling dan terapi. Namun ternyata etika dalam PIO dan klinis juga sangat berbeda. Saya ingat pada awal perkuliahan Kode Etik Psikologi semester lalu, sang dosen mengingatkan bahwa materi-materi yang akan beliau berikan pada satu semester ke depan sebagian besar hanya berlaku pada area klinis saja, karenanya jangan heran jika suatu saat anda melihat psikolog PIO melakukan sesuatu yang dianggap melanggar etika dalam psikologi klinis. Salah satu contohnya, sebagai psikolog klinis, tidaklah etis untuk melakukan konseling di luar ruangan psikolog tersebut karena alasan keamanan data klien. Namun dalam dunia PIO, sesi konseling atau wawancara dapat dilakukan di luar kantor.
Satu perkataan dosen yang benar-benar shocking bagi saya adalah beberapa perusahaan yang akan merekrut psikolog PIO mensyaratkan IPK maksimal 3,3, yang berarti bahwa pelamar dengan IPK 3,4 ke atas memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk diterima!
Mengapa bisa begitu? Bukankah pada umumnya perusahaan-perusahaan mengutamakan pelamar dengan IPK paling tinggi?? Menurut perkataan dosen saya, perusahaan-perusahaan tersebut menganggap bahwa pelamar dengan IPK yang tergolong tinggi (di atas 3,3) cenderung terlalu mengikuti pearturan yang ada atau bahasa prokemnya terlalu ‘lempeng’. Seperti yang kita ketahui, kebanyakan anak-anak pintar di sekolah kita dulu adalah anak-anak yang tidak pernah melanggar peraturan seperti menyontek atau bolos sekolah, karena pekerjaan mereka hanya belajar belajar dan belajar. Mungkin perusahaan-perusahaan tersebut menganggap bahwa pelamar dengan IPK tinggi tersebut kurang cocok dengan pekerjaan yang akan mereka berikan, karena bidang PIO membutuhkan fleksibiltas yang cukup tinggi.
Well, that makes sense to me. Namun tetap saja menurut saya hal ini kurang adil bagi pelamar yang telah berusaha mati-matian belajar saat kuliah hanya untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih sempit. Perkataan dosen tersebut juga sedikit membuat saya ‘menggalau’, walaupun saya bukan termasuk dalam orang-orang pintar tersebut yang setiap semester koleksi barisan nilai A. Namun pada akhirnya yang dituntut dalam setap pekerjaan bukanlah IPK ataupun tingkat intelegensi, tetapi kemampuan orang tersebut. Jadi, nilai moral yang dapat diambil hari ini adalah, percayalah pada potensi anda sendiri. Tidak perlu kecil hati jika anda sudah terlanjur memiliki IPK setinggi banjir Jakarta langit. Selama anda memiliki potensi yang bagus, serta bersedia bekerja keras, kesuksesan sudah berada tepat di depan mata anda. Sisanya tinggal berdoa agar anda termasuk ke dalam orang-orang yang beruntung, mengingat jaman sekarang faktor luck memegang peranan yang penting dalam segala hal.
Semoga tulisan saya ini dapat menginspirasi pembaca dalam hal yang positif, bukan malah memotivasi pembaca untuk menurunkan IPK-nya. :P
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar