Senin, 25 Maret 2013

Keterampilan Dasar Wawancara (Linda Stephanie)


     Tulisan saya kali ini akan membahas mengenai enam keterampilan dasar wawancara yang harus dimiliki interviewer kepada interviewee agar wawancara dapat berjalan dengan baik.
     Yang pertama adalah kemampuan membina rapport. Apa sih rapport itu? Rapport adalah keterampilan untuk menciptakan lingkungan yang aman, hangat dan membuat klien dapat berbicara jujur dan bebas bercerita apa saja mengenai topik yang relevan dengan wawancara. Lalu gimana sih supaya rapport dapat terbina dengan baik? Nah ada beberapa tips atau cara supaya interviewer dapat membina rapport dengan interviewee / klien ; yaitu sebagai interviewer kita harus senyum tetapi yang tulus, menyambut interviewee dengan sambutan yang bersahabat seperti: ”hai, apa kabar?” Selanjutnya menjabat tangan klien, lalu memulai percakapan kecil seperti mengenai cuaca, dan jangan lupa untuk mempersilahkan klien duduk. Nah posisi duduk antara interviewer dengan klien juga harus setara (kursi tidak ada yang lebih tinggi maupun yang lebih pendek).
     Yang kedua adalah empati. Pada tahap ini adalah bagaimana interviewer dapat berkaca pada masalah, perilaku, dan pengalaman klien. Yang penting adalah kita tidak melakukan proses judgemental / penghakiman kepada klien, selain itu, kita juga harus tetap fokus pada klien.
     Ketiga adalah attending behavior. Interviewer harus tahu kapan harus berbicara, dan lebih memberikan waktu untuk klien berbicara dan interviewer  mendengarkan cerita klien. Ada 4 critical dimensions dari attending behavior, yaitu visual à tetap fokus pada klien, kecepatan bicara dan nada à dapat mengindikasikan seberapa besar ketertarikan kita sebagai interviewer terhadap cerita klien, mengikuti perbicaraan klien / jangan mengubah topik à penting mencatat hal-hal yang penting saja atau yang menjadi kata kunci, dan body language à seberapa memperhatikan cerita klien dan tulus kepada klien.
     Keempat adalah teknik bertanya. Teknik bertanya dibagi menjadi open question dan closed question. Pada open question, klien bebas untuk mengekspresikan perasaannya dan sebagai interviewer kita bisa memulai untuk bertanya: “Apa yang bisa saya bantu?” Lalu sebagai interviewer kita dapat menggali lebih jauh apa yang menjadi permasalahan klien dan kita bisa mendapatkan informasi yang lebih banyak dari klien. Sedangkan closed question adalah pertanyaan yang merujuk pada jawaban tertentu, dan jawabannya akan pendek, seperti ‘ya’ dan ‘tidak’. Closed question akan membuat klien menjadi terpengaruh dengan pemikiran konselor dan menjadi  terdistorsi, seperti: “Apakah Anda takut?”
     Selain open dan closed question, ada the abuse of question yang harus dihindari, yang terdiri dari lima, yaitu being intrusive à jangan memaksa klien untuk berbicara, karena dapat membuat klien terganggu dan tidak percaya pada interviewer; interrogating the client à menanyakan hal yang bersifar personal dengan daftar pertanyaan yang sangat panjang dan membuat klien merasa ditekan, dan justru dapat membuat klien takut berbicara; controlling client explores à jangan terlalu cepat memotong pembicaraan klien karena jika interviewer terus bertanya, klien tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya; using “why” questions à jangan gunakan kata “mengapa” karena belum tentu klien tahu akan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan, dan justru mengungkapkan hal-hal di ‘luar diri’ klien bukan yang di ‘dalam diri’ klien; dan satisfying interviewer’s needs à jangan sampai interviewer bertanya kepada klien hanya karena ingin memuaskan keinginan interviewer saja.
     Keterampilan yang kelima adalah keterampilan observasi. Keterampilan observasi berfokus pada 3 area, yaitu perilaku non verbal à ekspresi wajah, bahasa tubuh (postur tubuh, posisi duduk, gerakan tangan, tarikan napas, dsb.), hindari stereotype; lalu perilaku verbal à mengacu pada kata-kata yang diucapkan: sellective attention (berfokus pada klien) dan key words (contoh: jika klien yang datang depresi, kata-kata ditekankan oleh klien seperti: capek); dan konflik, diskrepansi, dan inkongruensi à interviewer harus mewaspadai diskrepansi antara tindakan verbal dan nonverbal klien (berkesinambungan atau tidak) dan juga inkongruensi dapat memngindikasikan bahwa klien tidak nyaman atau tidak sepenuhnya jujur.
     Keterampilan yang terkahir adalah active listening, yang dibagi menjadi 3, yaitu encouraging: nonverbal encouragement dan verbal encouragement. Nonverbal encouragement à dalam waktu 10-15 detik interviewer dapat diam sejenak, lakukan kontak mata kepada interviewee yang tidak berlebihan dan verbal encouragement à mengulangi kata terakhir yang baru saja diucapkan interviewee dengan nada yang berbeda; yang kedua adalah refleksi konten cerita (parafrase) & refleksi perasaan klien. Pada parafrase, interviewer menceritakan kembali isi cerita klien dengan bahasa kita sendiri dengan lebih pendek. Sedangkan pada refleksi perasaan klien, interviewer merefleksikan perasaan klien, dan terdapat berbagai macam emosi, seperti marah, senang, takut, dll. Satu hal lagi yang perlu diingat dalam proses wawancara, interviewer jangan melakukan parroting (seperti: “oh gitu yah”, dst.). Parroting adalah mengulangi perkataan klien. Yang ketiga adalah interviewer menyimpulkan topik-topik utama dari cerita klien tetapi tidak lebih lama dari apa yang diceritakan klien.
     Sekian refleksi saya mengenai keterampilan dasar wawancara. Selamat membaca. Terima kasih.

20 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar