Minggu, 10 Maret 2013

Sharing Pengalaman Tentang Wawancara Dari Sudut Pandang Psikolog Klinis Dewasa dan Klinis Anak (Teguh Lesmana)

Dalam Kelas Teknik Wawancara Bu Henny kali ini saya akan membahas tentang apa saja pengalaman yang sudah diceritakan dalam kelas. Pengalaman yang akan dibahas disini tentunya adalah pengalaman tentang metode wawancara yang digunakan oleh para praktisi psikolog dalam melakukan tugas prakteknya...tanpa perlu basa-basi lagi yuk mari kita mulai saja hahaha : D

Pada sharing pertama dan kedua dengan narasumber psikolog klinis dewasa, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya teknik wawancara merupakan modal...perlu dicatat Modal!! yang penting dan harus dikuasai oleh para sarjana psikologi selain teknik observasi. Kenapa wawancara merupakan modal yang penting? alasannya adalah dengan wawancara kita dapat survive dimana saja....maksudnya survive adalah kita dapat menggunakan wawancara dalam berbagai bidang pekerjaan yang akan kita jalani nanti dan juga wawancara merupakan metode yang sangat mudah tanpa perlu adanya tes yang rumit, cukup hanya dengan tanya jawab saja. Jadi sebenarnya alat tes seperti berbagai tes grafis dan tes kepribadian lainnya hanya sebagai pelengkap dari teknik wawancara, karena alat tes saat ini sudah banyak orang yang tahu cara menghindari alat tes, maksudnya menghindari disini adalah sudah banyak orang yang bisa faking good saat dites dan wawancara maupun observasi menjadi dua teknik yang penting untuk mengetahui apakah orang tersebut faking good atau tidak saat dites. Meski begitu wawancara bukanlah suatu teknik yang tidak memiliki kekurangan, kekurangan dari teknik wawancara adalah pewawancara harus memiliki jam terbang yang cukup lama apabila ingin menggunakan teknik ini bila tidak akan dianggap sebelah mata dan tidak serius oleh orang yang diwawancara. Sebagai contoh, pada sharing dengan narasumber psikolog klinis dewasa yang pertama, ia mengatakan pada saat awal wawancara dengan kliennya karena ia masih baru sebagai psikolog dan kliennya adalah orang yang usianya lebih tua dari dia maka kliennya cenderung meremehkan dia karena adanya perbedaan umur tersebut. Nah kalau begitu solusinya apa untuk kasus seperti ini? Ya kalau dari pengalaman narasumber, ia mengatakan untuk hanya dapat pasrah menerima keadaan tersebut, karena kita tidak dapat memaksakan klien untuk percaya sepenuhnya pada kita apabila klien memang tidak mau, dan kita hanya dapat berusaha untuk pelan-pelan membangun kepercayaan klien terhadap diri kita.....Well at least itu yang diceritakan oleh narasumber pertama, nah kalau menurut narasumber kedua yang lebih penting adalah kita harus fokus pada setiap jawaban klien, dengan fokus pada setiap jawaban klien kita dapat mengembangkan pertanyaan wawancara kita sendiri tanpa harus terpaku pada panduan pertanyaan dalam wawancara yang kita siapkan.

Sedikit intermezzo saja hehehe saya sempat bertanya pada Bu Henny, apakah sebaiknya alat perekam digunakan atau tidak pada saat wawancara? Bu Henny menjawab kalau selama ini ia praktek ia tidak pernah menggunakan alat perekam dan ia selalu mencatat apa yang diucapkan oleh kliennya. Loh kalau begitu alat perekam sebenarnya tidak begitu penting ya? Sebenarnya tidak begitu juga hahaha kalau Bu Henny bilang alat perekam itu digunakan untuk kita belajar kembali karena pada saat wawancara kita tidak tahu apakah dalam proses wawancara tersebut kita sudah benar sepenuhnya dalam penyampaian cara bertanya ataupun cara berkata. Jadi sebenarnya merekam hasil wawancara itu tujuannya lebih kearah untuk belajar kembali.

Hmm kita sudah sampai pada bagian terakhir dalam tulisan saya....jadi langsung saja hehehe :D kali ini kita akan membahas dua sharing sekaligus dari narasumber ketiga dan keempat tentang pengalaman wawancara yang mereka lakukan dengan anak-anak. Keduanya mengatakan kalau wawancara merupakan teknik dengan kelebihan proses yang cepat dan fleksibel dalam mendapatkan informasi selain itu kekurangan dari wawancara menurut mereka adalah pada saat wawancara dilakukan dengan anak, anak tidak langsung kooperatif mau membuka diri mereka dan juga informasi yang didapat belum tentu akurat dan jujur. Nah solusinya untuk klien anak yang belum mau kooperatif adalah menggunakan media mainan untuk lebih dekat dengan klien. Untuk anak yang tidak kooperatif meski mainan sudah dilibatkan ada baiknya orang yang dekat dengan anak seperti orang tua dilibatkan terlebih dahulu dalam proses bermain yang dilakukan. Tetapi orang tua tidak dilibatkan terus-menerus, sedikit demi sedikit kita harus dapat memisahkan peran orang tua dalam proses bermain tersebut hingga akhirnya anak mau kooperatif pada saat ditanya.

Yup, that wraps all the things I want to share with you...so I hope you enjoy reading all of it just like how I enjoy it when I write it....thank you and see you next time :D

1 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar