Memasuki minggu ke-3 pada mata kuliah Teknik Wawancara tanggal 25 Februari 2013. Sebelumnya
2 minggu yang lalu kami mendapatkan tugas untuk mewawancarai praktisi
dalam bidang Psikologi. Kelompok terbagi menjadi 8, diantaranya 2
kelompok Psikologi Klinis Dewasa, 2 Kelompok Psikologi Klinis Anak, 2
kelompok PIO, dan 2 kelompok Psikologi pendidikan. Pada tanggal 25
Februari itu saatnya kelompok mempresentasikan hasil wawancara,
kebetulan saat itu 4 kelompok yang terlebih dahulu berkesempatan
memaparkan hasil wawancara.
Kelompok 1 dan 2 mempresentasikan hasil wawancara dengan praktisi Klinis Dewasa, kelompok 3 dan 4 mempresentasikan hasil wawancara
dengan praktisi Klinis Anak. Dari ke empat kelompok saya dapat
menyimpukan bahwa pengertian wawancara adalah proses mendapatkan
informasi atau mengumpulkan data. Saat melakukan interview diperlukan
jam terbang yang tinggi agar tidak mudah tertipu dengan ekspresi klien.
Wawancara berkaitan dengan observasi, saat wawancara observasi juga
dapat berlangsung, dengan atensi dan kepekaan mengambil sesuatu yang
terlihat dari perilaku klien. Saat pertama kali klien berkonsultasi
dengan seorang psikolog tentunya tidak mudah bagi klien untuk terbuka
dan langsung menceritakan masalahya, terkadang klien bersikap tertutup
apalagi jika datang bukan karena keinginan sendiri, misalnya refer dari orangtua, atau anggota keluarga yang lain. Cara yang paling tepat agar klien dapat terbuka adalah dengan membangun rapport, lalu mengobservasi, dan jika diperlukan data fisiknya dapat menggunakan psikotes.
Membangun rapport dengan anak-anak
dilakukan dengan mengajaknya bermain, terlihat dari ruangan konseling
anak yang terdapat banyak mainan, biarkan anak itu bermain, dan lihat
pola permainnanya. Lebih sulit melakukan wawancara dengan anak-anak
daripada orang dewasa. Salah satu cara mendapatkan informasi adalah
dengan wawancara dengan orangtua atau orang terdekat anak, jika anak
memiliki masalah selective mutism dapat menggunakan grafis.
Seperti yang Ibu Henny bilang, Ketika anak-anak dalam situasi asing
pasti anak melakukan pengamatan pada hal-hal di sekelilingnya, dan yang
terpenting adalah selalu ada orangtua di dekatnya, tetapi ketika dia
besar dia akan menyuruh orangtuanya keluar untuk dapat mengeluarkan
keluh kesahnya. Seperti, cerita beliau tentang yang katanya “anak-anak”
padahal berusia 20-an yang di refer orangtuanya. Anak itu
terlihat tidak bersikap kooperatif, terlihat memberontak ibunya dengan
sikapnya menunyah permen karet, lalu tidak disangka dia meminta
berbicara hanya berdua dengan beliau, dan ternyata dapat pastikan bahwa
anak itu tidak memiliki masalah, dia mengetahui bagaimana dirinya, tutur
Ibu Henny, “saya hanya bermain peran dengan ibu saya, tutur anak itu”.
Sepertinya yang memiliki masalah adalah ibunya, lalu beliau melakukan
sesi selanjutnya dengan berbicara dengan ibu tersebut.
Psikolog tetap seorang manusia biasa yang terkadang ada waktu-waktu tertentu mengalami sakit, merasa lelah atau mood
sedang tidak bersahabat. Nah, disini Psikolog harus tetap profesional
untuk menyampingkan egonya, tetapi lebih baik mengatur jadwal telebih
dahulu agar sesi konseling dapat berjalan dengan baik. Ketika sudah
memiliki jadwal konseling dengan klien lebih baik tetap melakukan
konseling, kecuali ketika klien baru mau mengatur jadwal bertemu dan
pada saat itu psikolog sedang tidak siap untuk konseling, bisa saja
psikolog itu memberikan jadwal hari lain untuk bertemu. Jangan sampai
menyetujui waktu konseling dengan keadaan psikolog yang kurang fit, bisa-bisa
nanti sesi konseling tidak akan berjalan dengan baik, tetapi alangkah
baiknya jika semua perasaan itu tidak mengganggu tugas seorang psikolog,
jadi dalam keadaan apapun psikolog tetap siap dengan pekerjaannya.
Semua itu tidak terlepas dari ketulusan, kesiapan, pengalaman, dan
dedikasi terhadap pekerjaannya.
2 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar