Minggu, 10 Maret 2013

Perbedaan Teknik Wawancara Pada Profesi Psikolog Klinis Dewasa dan Psikolog Klinis Anak (Tiara Venesa Anggraeni)

  Ketika pertama kali masuk Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, saya masih “gelap” mengenai bidang-bidang psikologi. Dari semester satu sampai sekarang semester enam, saya baru sedikit-sedikit mengetahui bidang-bidang psikologi seperti klinis anak, klinis dewasa, psikologi industri dan organisasi, psikologi pendidikan, dan masih banyak lagi. Mungkin yang masih dalam satu bidang adalah klinis dewasa dan klinis anak. 
   Untuk menjadi psikolog yang baik, semua dosen saya dari berbagai bidang psikologi memberikan wejangan mengenai skill apa saja yang harus dikuasai oleh seorang (well, at least) sarjana S1 psikologi, yaitu skill observasi dan wawancara. Kedua skill ini susah untuk dipisahkan, karena saat wawancara memang harus mengobservasi, dan saat observasi alangkah lebih baik jika informasi yang didapat dapat dikonfirmasi melalui wawancara. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: Apa sih perbedaan teknik wawancara dari psikologi klinis dewasa dan anak? Atau sama saja? 
  Dari penjelasan kelompok-kelompok kelas Teknik Wawancara Semester genap Universitas Tarumanagara, yang mewawancarai psikolog klinis dewasa, saya mendapatkan informasi bahwa psikolog dewasa lebih memakai wawancara yang langsung tanpa terlalu banyak basa-basi jika rapport sudah terbina dengan baik. Hal ini dikarenakan orang dewasa sudah dapat merasakan bahwa dirinya membutuhkan bantuan dan dapat mendeteksi apa yang menjadi inti permasalahan mereka (dengan arahan psikolog dari pertanyaan dalam wawancara). Psikolog klinis dewasa dapat menggali informasi lebih dalam dari sudut pandang klien dan dapat memberi diagnosa dan intervensi yang lebih sesuai. 
  Kelompok-kelompok yang mewawancarai psikolog klinis anak mendapatkan temuan yang sedikit berbeda. Dari penjelasan yang saya tangkap, anak-anak tidak akan terbuka dengan orang yang membuatnya merasa tidak nyaman, karena mereka tidak akan berbincang jika merasa demikian, maka psikolog klinis anak memakai cara lain untuk membina rapport. Hal-hal yang dilakukan untuk ,membangun rapport dengan seorang anak antara lain adalah dengan mengajaknya bermain (mainan harus tersedia di tempat praktek tentunya), menggambar, atau melakukan hal yang menurutnya menarik. Wawancara dalam klinis anak sendiri agak berbeda, karena anak belum dapat memberi informasi yang detil mengenai perasaannya. Biasanya wawancara pada anak akan didampingi dengan wawancara kepada orangtua, pengasuh, atau significant others lainnya. Hal yang ditanyakan pada anak biasanya mengenai kesehariannya dan informasi ini dapat dipakai untuk dicocokkan dengan hasil wawancara orangtua.
  Informasi ini menginspirasi saya untuk belajar lebih lanjut mengenai teknik-teknik wawancara di segala bidang psikologi. Bersamaan dengan itu, keinginan saya untuk menjadi seorang psikolog klinis semakin besar. Dengan informasi yang diberikan teman-teman saya dapat mendapat gambaran mengenai hal apa yang perlu diperhatikan saat akan mewawancara klien, baik dewasa maupun anak.
 
1 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar