Pertemuan kelas Teknik Wawancara pada
hari Kamis, 28 Februari 2013 membahas bagaimana wawancara pada psikolog
klinis dewasa dan klinis anak. Terdapat empat kelompok yang
mempresentasikan hasil wawancaranya dimana dua kelompok membahas
mengenai psikolog klinis dewasa dan dua kelompok lain membahas mengenai
psikolog klinis anak.
Dua kelompok pertama membahas mengenai
wawancara psikolog klinis dewasa dimana salah satunya kelompok saya yang
mempresentasikan. Saya menyadari bahwa kelompok saya kurang melakukan
wawancara mendalam kepada psikolog klinis dewasa yang kami wawancarai.
Psikolog yang kami wawancarai lebih melakukan teknik wawancara yang
tidak terstruktur dan ternyata wawancara secara tidak terstruktur
tersebut tidak dapat dilakukan pada setiap kali wawancara ketika
berhadapan dengan klien. Namun, kelompok saya kurang mendalami wawancara
yang tidak terstruktur itu seperti apa. Hal ini menyebabkan saya ingin
lebih mengetahui lagi bagaimana caranya mewawancarai seseorang secara
lebih mendalam, sehingga ketika saya menjadi psikolog nanti saya mampu
melakukan wawancara dengan baik terhadap klien.
Menurut psikolog yang kami wawancarai,
beliau menyatakan bahwa wawancara merupakan dasar utama yang harus
dimiliki setiap lulusan sarjana psikologi, dimana wawancara ini harus
disertai dengan observasi, sedangkan alat tes hanya sebagai alat
pelengkap saja. Beliau juga mengajarkan kepada kami bahwa kebanyakan
masyarakat Indonesia mengalami stres bukan karena dari dalam dirinya
sendiri, melainkan disebabkan karena faktor lingkungannya. Oleh sebab
itu, sebagai seorang psikolog seharusnya mengerti bagaimana men-treat
klien yang harus dilihat juga dari bagaimana faktor lingkungannya.
Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa seorang psikolog jangan pernah
berpikiran bahwa wawancara terhadap klien hanya akan dilakukan di tempat
yang kondusif dimana klien harus datang ke tempat praktiknya psikolog.
Ketika seorang psikolog memiliki anggapan seperti itu dan merasa layanan
psikologis berada di atas “menara gading”, maka ilmu psikologi yang
dimiliki tidak akan terpakai karena sebagian besar masyarakat Indonesia
masih berada pada status ekonomi menengah ke bawah sehingga masih banyak
yang belum mampu membayar layanan psikologis.
Selain membahas wawancara dengan psikolog
klinis dewasa, presentasi dua kelompok berikutnya membahas mengenai
wawancara bersama dengan psikolog klinis anak. Sebenarnya, saya tertarik
menjadi psikolog klinis anak dan berencana untuk melanjutkan studi S2
dengan mayor klinis anak. Ketika seorang psikolog klinis anak melakukan
wawancara bersama dengan anak, biasanya anak sambil diberikan mainan
terlebih dahulu. Mengapa demikian? Karena biasanya anak belum mampu
mengekspresikan perasaannya sehingga seorang psikolog harus
“memancingnya” dengan mainan agar melalui mainan yang diberikan, anak
menjadi lebih mudah untuk mengekspresikan perasaannya.
Namun, tidak semua anak semudah itu mampu
mengekspresikan perasaannya ketika sudah diberikan mainan. Banyak juga
anak yang merasa takut dan cemas ketika bertemu dengan psikolog (merasa
psikolog sebagai orang asing) kemudian harus dipisahkan dengan
orangtuanya pada saat psikolog ingin memberikan intervensi. Hal ini
tentu saja membutuhkan peran orangtua dimana biasanya orangtua pada
awalnya masih terlibat, namun sedikit demi sedikit orangtua keluar dan
membiarkan anak hanya bersama dengan psikolog.
Lalu, saya mengetahui dari dosen kelas
saya, Ibu Henny, bahwa salah satu psikolog klinis anak yang
dipresentasikan ternyata memiliki gelar sebagai psikolog klinis dewasa
namun saat ini psikolog tersebut menangani masalah anak, terutama anak
berkebutuhan khusus. Saya bertanya-tanya apakah bisa seperti itu? Ibu
Henny pun menanyakan kepada kelompok yang mempresentasikan apakah
psikolog tersebut melakukan training di bawah supervisi atau
tidak, namun kelompok tidak mengetahuinya. Hmm apakah itu merupakan
suatu pelanggaran kode etik psikologi? Yang jelas, Ibu Henny
memperingatkan mahasiswa di kelasnya bahwa ketika kita menjadi seorang
psikolog seharusnya hanya menangani bidang yang memang menjadi keahlian
kita yang telah dikuasai. Memang seorang psikolog harus mengetahui
segala sesuatu, tapi bukan berarti kita menjadi sok tahu.3 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar