Saya memiliki teman yang sejak duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), dirinya selalu menjadi bahan candaan bahwa dirinya adalah 'homo'. Kami sekelas sering mengatai ia sebagai 'homo' dan tertawa bersama-sama. Lama kemudian, teman saya pun mulai menghayati perannya sebagai gay akibat seringnya dikatakan sebagai homo. Ia mulai berperilaku sebagai pria yang kewanita-wanitaan, sedikit kemayu, dan bercanda seolah-olah ia menyukai pria dan candaan ini berlangsung sampai sekarang saat kami sekelas sudah kuliah.
Saya menjadi berpikir awal mula seseorang bisa dikatakan sebagai 'the real' homosexual itu apa?
Apakah dengan seringnya seseorang di 'label' sebagai homoseksual sebagai bahan candaan pada masa remaja dapat mempengaruhi orientasi seksualnya di masa dewasanya?
Well, setelah saya masuk di pertemuan ketiga dalam kelas psikologi seksual saya menjadi lebih mengerti, bahwa banyak faktor yang mempengaruhi orientasi seksual seseorang dan salah satunya LINGKUNGAN.
Mungkin pada awalnya hanya sebagai sebuah candaan atau lelucon, namun ajang lucu-lucuan ini dapat mempengaruhi seseorang dalam pola pikirnya. Saat yang berbahaya adalah saat dimana label itu menjadi kenyataan.
Siapa yang harus bertanggung jawab dalam permasalahan ini? Apakah ada pihak yang harus disalahkan terkait dengan orang yang memiliki orientasi homoseksual?
Orang tua? Teman? atau individu yang homoseks tersebut?
Im not quite sure who to blame, but it's their choice. So, we have to respect them as a fellow human being. It's not our job to be judging them. It's their life and their rights.
Dalam kehidupan nyata mereka masih dapat produktif dalam pekerjaan dan aktivitas mereka, satu hal yang membuat saya cukup tercengang adalah saya baru mengetahui bahwa yang turut berkontribusi dalam pembuatan 'kitab' DSM sebagian besar memiliki orientasi homoseksual.
WOW! we can't judge the book by its cover, surely!
2 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar