Jumat, 28 Maret 2014

Mengerti untuk Dimengerti, Mendengar untuk Didengar, dan Memahami untuk Dipahami (Rismauli Pratiwi Hutahaean)


Mari kita hayati dan rasakan kata per-kata yang ada dijudul.. Apakah kita selalu ingin dimengerti orang lain? Apakah kita pernah mendengarkan apa yang mereka inginkan? Lalu, apakah kita pernah mencoba untuk memahami apa yang sedang mereka rasakan, yang mereka alami, dan yang mereka inginkan??

........
...........
................

Apa pendapat kalian? Apa yang kalian rasakan?? Jawablah dengan hati nurani dan kejujuran..
Mari kita mulai untuk introspeksi diri dan mencoba untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi..


    
                                   
                       


Sama halnya dengan sebuah wawancara, menjadi seseorang pewawancara itu tidaklah mudah, bukan hanya bertanya dengan sembarangan dan sesuka hati. Begitupula psikolog yang hendak melakukan wawancara, itu HARUS PUNYA HATI. Hati yang benar-benar tulus untuk membantu dan menolong tanpa mengharapkan imbalan atau dibayar. Bertanya itu untuk mencari fakta, kebenaran, dan mengklarifikasikan sebuah kejadian. Dari pertemuan kelas Teknik Wawancara saya yang kelima pada tanggal 13 Maret 2014, Ibu H.E.W. dan didampingi Ci T mengatakan bahwa ada 6 keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pewawancara yang baik. Apa saja itu? Mari kita kupas tuntas setajam silet... Hahaha
1. Kemampuan membina rapport 

Rapport adalah usaha untuk menciptakan suasana atau atmosfer yang hangat, yang nyaman, yang dapat mendorong klien untuk berbicara secara bebas, jujur, dan fokus terhadap topik yang sudah ditentukan dari awal. Rapport adalah hubungan antara klien dengan psikolog. Jika rapport terbangun dengan baik, maka klien akan lebih terbuka, nyaman dan jujur dengan psikolog selama proses berlangsung. Dalam hal ini juga banyak hal yang harus diketahui dan dipelajari.


a. Dalam hal berjabat tangan (bersalaman)

Dari beberapa hal yang saya dapat dan saya baca, dikatakan bahwa memberi salam dalam satu pertemuan akan menciptakan kesan pertama yang positif sekaligus membuka pembicaraan ke tahap selanjutnya. Secara teknis, bersalaman adalah menggenggam tangan orang lain dan saling menempelkan bagian tangan di antara jari jempol dan telunjuk, kemudian memberikan tekanan. Yang menjadi masalah dalam berjabat tangan adalah tekanan yang baru saja disebutkan. Sebagian orang menekan tangan orang lain terlampau keras sehingga terkesan ingin meremukkan tulang. Sebagian yang lain melakukan jabat tangan tanpa tekanan sama sekali sehingga terkesan tidak bersemangat. Tekanan itu perlu, tapi penekanannya harus benar dan tepat.

Perlu diketahui, karena kita tinggal di Asia, di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam berjabat tangan. Bagi beberapa kaum muslim, berjabat tangan itu menempelkan kedua tangan dan ada jaraknya. Sedangkan bagi kaum yang lainnya, berjabat tangan itu menempelkan satu tangan ke tangan oranglain. Intinya harus disesuaikan dengan orangnya dan budayanya seperti apa.

b. Ekspresi Wajah
Ekspresi wajah juga sangat menentukan rapport. Jangan memasang wajah yang datar (tanpa ekspresi seperti squidward). Tapi, jika pada dasarnya sudah demikian, usahakan ada sedikit senyuman, agar terlihat setitik cahaya yang terpancar dari wajah.. hehehe
Kemudian, ketika kalian sedang bercerita tentang permasalahannya, jangan memasang wajah judgment, apalagi tampang kaget, dan menangis ketika topik pembicaraannya adalah ditinggal pacar (pasangan). Bisa-bisa kita (psikolog) juga ikutan curhat ke klien, bahaya itu. Intinya stay cool, walaupun dalam hati kaget dan tidak menyangka itu terjadi.

                     


C. Posisi Duduk dan Berpakaian
Sebagai pewawancara dan psikolog yang baik, berpakaian yang baik dan sopan sangat diwajibkan. Untuk wanita, kenakan baju yang tertutup, baju ada kerahnya, atau pakai kemeja dan rok (roknya juga jangan yang terlalu ketat) atau celana bahan berwarna hitam. Sedangkan untuk pria, gunakan kemeja dan celana bahan yang hitam juga. Kemudian, Posisi duduk juga usahakan membentuk sudut 90°. Jangan terlalu dekat juga, bisa bahaya kalau yang masuk adalah pasien yang skizo.

 
      


d. Kondisi Ruangan
Kondisi ruangan yang kondisif dapat membuat klien jadi nyaman. Perhatikan juga barang-barang yang ada disekitar meja. Tidak perlu banyak yang diletakkan diatas meja, seperti komputer, buku, kertas kosong, buku laporan, aneka bolpoin, tisu, kaca, dsb. Jadinya seperti mau dagang, bukan? Sebaiknya, disingkirkan barang-barang yang tidak terlalu penting karena dapat menganggu berlangsungnya wawancara. Terlebih jika ada handphone, dan tiba-tiba berbunyi ditengah pembicaraan. Bisa menganggu dan membuat sulit berkonsentrasi, kan?

2Kemampuan Berempati
Empati itu kita melihat dengan kacamata orang lain, bukan langsung menjudgment. Kita ikut merasakan dan memahami apa yang sedang dirasakan klien (tukar posisi). Disini, kita juga bisa turut sedih ketika klien kita menceritakan masalahnya. Tapi, jangan berlebihan dan jangan sampai kita yang lebih sedih sambil menangis, sedangkan klien kita tidak sampai menangis. Itu bahaya. Kunci utama dari empati adalah selalu fokus dengan klien sepanjang waktu. Empati juga bisa dengan sikapnonverbal seperti kontak mata, senyum, mengangguk kepala sebagaitanda mendengarMENDENGAR dulu baru bisa MENGERTI, MENGERTIdulu baru bisa MEMAHAMI, dan MEMAHAMI dahulu baru kemudianMEMBERIKAN JALAN KELUAR (SOLUSI).
      
            


3. Attending Behavior
Kunci utamanya adalah untuk mengurangi kuantitas berbicara dan memberikan waktu pada klien untuk menceritakan tentang diri mereka. Attending akan lebih gampang jika kita lebih fokus ke klien daripada ke diri kita sendiriAda empat dimensi  dalam attending behavior, rumusnya 3V+1B, yaitu visual (menatap klien dan jangan mengalihkan pandangan), kualitas vokal (berbicara dengan nada yang tidak terlalu tinggi atau rendah, dan tidak berbicara terlalu cepat atau terlalu lamban), verbal tracking (tidak mengubah topik pembicaraan), dan body language (bersikap atentif dan autentikapa adanya dan tidak berlebihan).

                    

4. Teknik Bertanya
Dalam bertanya, hindari kata “kenapa, mengapa” karena akan membuat klien merasa dalam posisi yang salah. Kata kenapa dapat diganti misal dengan “apa yang terjadi”. Disamping itu, ketika bertanya dengan klienyang sulit bicara, jangan memaksa klien untuk bicara karena bisa membuat klien merasa terganggu. Dalam teknik bertanya terdapat dua jenis pertanyaan, yaitu open question dan closed questionOpen question adalah jenis pertanyaan yang yang membebaskan klien untuk mengekspresikan perasaannya. Closed question adalah pertanyaan yang mengarahkan pada jawaban klien, biasanya pendek dan terbatas seperti ya atau tidak serta pertanyaan tertutup ini biasanya digunakan oleh psikolog ketika menjelang diagnosa. 


 5. Keterampilan Observasi
Wawancara tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya observasi karena saat wawancara kita juga perlu fokus dan memperhatikan ekspresi wajah serta bahasa tubuh klien. Tapi, tidak membuat stereotype saatmengobservasi. Selain itu, saat melakukan observasi, kita juga harus jeli dan peka pada setiap kata dan kalimat yang diucapkan klien, karena setiap hal yang keluar dari mulut klien adalah sebuah kata kunci. Mungkin saja itu adalah jawaban dari yang kita cari.


6. Active listening
Seorang psikolog harus mampu mendengarkan secara aktifsuka atau tidak mengenai hal yang akan dibicarakan, serta harus mampu membuat kesimpulan dan solusi dari masalah yang disampaikan klien. Kemampuan ini juga dibagi dalam 4 hal yang perlu diketahuiyaitu:

a.    Encouraging
Digunakan untuk memancing orang yang diwawancara untuk berbicara. Ada 3 cara yaitu probing (gali informasi yang telah klien kemukakan), non verbal encourages ( beri orang yang diwawancara kesempatan untuk menghayati perasaannya, namun jangan terlalu lama); yang terakhir adalah verbal encourages (ulangi kata terakhir yang orang tersebut ucapkan dengan nada yang berbeda, namun jangan terlalu sering digunakan karena bisa mengganggu).

b.    Paraphrasing reflection of feelings
Paraphrasing fokusnya pada isi dan klarifikasi apa yang dibicarakan sehingga klien tahu bahwa kita mendengarkan ceritanya dengan jelas. Refleksi perasaan klien dapat dilakukan dengan mengidentifikasi emosi klien dan menanggapinya untuk mengklarifikasi emosi tersebut. Refleksi perasaan sering dikombinasikan dengan parafrase dan rangkuman (summarizing), yaitu kesimpulan dari satu sesi wawancara. Biasanya, ringkasan ini digunakan untuk mengakhiri wawancara, memulai topik baru, dan mengklarifikasi isu.

c.    Parroting
Mengulang kembali apa yang dikatakan oleh klien cukup baik untuk lebih memperjelas maksud dan arti dari yang telah disampaikan. Namun, terlalu banyak dan sering mengulang kata klien bukannya mendapatkan data, melainkan mendapatkan pandangan negatif dari klien. Klien merasa terganggu dan tidak nyaman untuk menceritakan kembali masalahnya.
        


Seorang pendengar yang baik mencoba memahami sepenuhnya apa yang dikatakan orang lain. Pada akhirnya mungkin saja ia sangat tidak setuju, tetapi sebelum ia tidak setuju, ia ingin tahu dulu dengan tepat apa yang tidak disetujuinya."

(Kenneth A. Wells)

18 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar