Selasa, 25 Maret 2014

Interviewing Experience (Lily Lee)

Sejak saat saya masih di semester 2 (atau 3 saya lupa. Hehehe....) saya mendapatkan tugas wawancara untuk pertama kalinya dan saya cukup mengalami kesulitan dalam mengerjakannya. Terutama dalam menyusun pedoman wawamcara, melakukan wawancara, dan yang pasti verbatimnya (capek lho pas verbatim sudah jauh dan data rekaman terhapus jadinya wawancara ulang *curhatpengalamanpribadi).
Pas pertama kali buat verbatim itu (kalau tidak salah untuk wawncara sekitar 35 menit), saya mengerjakannya hampir selama 1,5 lebih untuk mengulang-ulang rekamannya. Tapi berhubung sudah beberapa kali mengerjakannya jadi saat dikelas Teknik Wawancara sudah tidak asing dengan tugas tersebut. Hehehe....

Nah, 2 minggu lalu, dalam kelas Teknik Wawancara yang saya ambil bersama teman-teman saya, kami mendapatkan tugas untuk mewawancarai praktisi atau seorang yang ahli dalam psikologi berbagai bidang untuk memahami lebih lanjut mengenai teknik wawancara yang mereka gunakan. Saya dan 4 orang teman dalam kelompok saya kebagian untuk mewawancarai seorang psikolog klinis dewasa (dan sisanya ada yang kebagian dalam bidang klinis anak, pendidikan, dan industri organisasi). Dalam tugas kali ini, saya dan teman-teman diminta untuk mewawancarai praktisi tersebut utnuk mengetahui teknik wawancara yang mereka gunakan, kelebihan dan kekurangan dalam wawancara, hingga skill yang harus dikuasai oleh seorang pewawancara atau interviewer.

Awalnya, cukup sulit untuk mendapatkan narasumber untuk melakukan wawancara ini. Tetapj akhirnya  seorang psikolog klinis dewasa yang kami kenal, sebut saja X, bersedia untuk menjadi narasumber dalam wawancara saya dan teman-teman. Langsung saja ke hasil wawancaranya, menurut X wawancara merupakan alat yang biasa digunakan oleh beliauuntuk mengumpulkan informasi seperti latar belakang klien, yang bertujuan untuk membuat diagnosa dan menyelesaikan masalah klien. X dalam wawancaranya juga mengatakan bahwa beliau menggunakan wawancara juga untuk mencari hal yang tersirat dari yang tersurat. Selain itu, X juga dapat melakukan observasi terhadap klien saat wawancara sehingga X dapat memberikan penilaian langsung saat wawancara berlangsung. Mislnya, saat ada klien yang datang dengan disuruh oleh orang lain, seperti keluarga, dan menemui X dengan mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa tetapi pada saat mengatakan hal tersebut si klien dalamosisi yang tidak tenang dan terlihat cemas. Kan tidak sesuai antara yang diucaplan dengan apa yang ditunjukkan alias gak sinkron.



Oh iya, hal tersebut juga menjadi kelebihan wawancara, yaitu sebagai alat untuk mengumpulkan informasi dan mencari hal yang tersirat dari yang tersurat. Tetapi menurut X, wawancara juga memiliki kelemahan, seperti ketika interviewer atau pewawancara yang kurang ahli dalam mengendalikan arah pembicaraan dapat dengan mudah terbawa atau terpengaruh oleh klien. Misalnya, seperti saya pada saat mengerjakan salah satu tugas mata kuliah lain untuk mewawancarai mengenai industri organisasi. Yang menjadi narasumber saya pada waktu itu merupakan seorang staf HRD yang humoris, sehingga pada saat melakukan wawancara seringkali tertawa sehingga melenceng dari tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi. Hasilnya adalah wawancara yang cukup memakan waktu serta melelahkan saat verbatim dikerjakan. :(

Kemudian, ada juga permasalahan X dalam melakukan wawancara, misalnya ketika X mendapati klien yang sulit dalam berkomunikasi, tertutup, sangat defensive, atau memiliki rasa percaya diri yamg timggi sekali. Saat X mendapati klien seperti itu, maka hal yang X lakukan adalah dengan melakukan psikotes yang sesuai dengan permasalah klien tersebut baru diikuti dengan wawancara setelah mengetahui karakteristik dan permasalahan dari klien tersebut. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu kelompok yang presentasi di hari yang sama dengan saya. Menurut kelompok tersebut, hasil wawancara mereka dengan praktisi yang mereka pilih tidak memuaskan karena narasumber mereka menjawab dengan terlalu singkat dan tanpa memberikan pernyataan lebih lanjut, seperti jawaban ya, nggak, ya gitu dehhh.... Padahal mereka, menurut saya tidak melakukan kesalahan dalam proses wawancaranya tetapi yaaa... Mungkin narasumber terlalu sibuk atau pelit dalam berbagi pengalamannya. Hehehhee.... Bersyukur saya dan kelompok masih mendapatkan X sebagai narasumber yang bersedia untuk berbagi ilmu dengan saya dan kelompok.
Karena itu, menurut saya salah satu poin penting dalam wawancara adalah membina rapport. Dalam membina rapport yang baik, kita dapat menjalin hubungan yang baik dan dapat menyampaikan maksud dan tujuan kita dalam melakukan wawancara. Bayangkan apabila tidak membina rapport terlebih dahulu sebelum wawancara dan langsung melakukan wawancara, maka narasumber atau klien (interviewee) mungkin dapat merasa tidak siap dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan sehingga hasil jawabanya pun kurang baik.

10 Mar 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar