Jumat, 28 Maret 2014

Social History (Maria Theresia)

Dalam melakukan wawancara, terdapat suatu bidang informasi yang penting untuk kita dapatkan dari klien. Area informasi tersebut merupakan social history yang dimiliki klien. Social history merupakan bagian dari wawancara yang cenderung memakan banyak waktu, karena mencangkup berbagai jenis informasi. Social history termasuk informasi tentang sejarah keluarga, hubungan dengan keluarga, sejarah pendidikan, sejarah perkejaan, sejarah pernikahan, sejarah seksual, hubungan interpersonal, jaringan sosial, kegiatan rekreasi yang digemari, sejarah medis, sejarah perawatan psikiatris atau psikoterapi, sejarah legal, penyalahgunaan alkohol atau substansi lain, kebiasan pengkonsumsian nikotin dan kafein, situasi rumah sekarang, sumber dukungan, dan agama klien.


Mengapa social history klien penting untuk didapatkan? Social history memberikan konteks di mana klien berkembang sebagai individu dan mengembangkan strategi-strategi untuk hidup dan beradaptasi, baik strategi-strategi yang efektif atau tidak efektif. Social history juga memberikan konteks di mana masalah-masalah klien berkembang; dari social history, kita bisa mendapatkan informasi tentang seseorang atau sesuatu yang terjadi kepada klien yang mempengaruhi perkembangan masalahnya. Penting bagi pewawancara untuk mengingat bahwa masalah-masalah klien tidak hanya memiliki penyebab internal (dari dalam klien diri), namun juga eksternal (dari luar klien; lingkungan). Melalui social history, pewawancara juga dapat memahami persepsi klien terhadap berbagai hal, perasaan mereka, dan arti apa yang mereka tempatkan pada hal-hal tersebut. Memahami social history klien yang unik akan membantu menekankan kepada terapis bahwa ia bukanlah sedang mengobati sebuah masalah, melainkan membantu seorang individu yang mengalami masalah. Maka, bagian dari tugas pewawancara adalah untuk membantu klien menceritakan kisah hidup mereka.

Social history dapat mulai digali dengan mencari tahu tentang sejarah keluarga klien. Pewawancara dapat memulai dengan bertanya di mana klien lahir dan besar, lalu mengikuti dengan bertanya tentang asal usul keluarga klien. Dalam mencari tahu family history klien, pewawancara memiliki tiga tugas; mendapatkan biografi yang singkat tentang anggota-anggota keluarga klien, mencari tahu hubungan klien dengan keluarganya baik di masa lalu dan sekarang, dan mencari tahu apakah klien memiliki anggota keluarga yang memiliki gangguan mental. Untuk membantu klien dengan masalahnya, pewawancara perlu mengetahui apakah masalah yang dialami klien juga dialami oleh anggota-anggota keluarganya. Dari aspek keluarga, masalah klien dapat dipengaruhi oleh pola komunikasi dalam keluarga klien, sifat-sifat dari anggota keluarga klien, dan konflik-konflik dalam keluarga klien baik di masa lalu atau yang dialami sekarang. Salah satu cara yang praktis untuk memahami informasi keluarga klien adalah dengan menggambar diagram family genogram, yang dikembangkan oleh Murray Bowen.



(beberapa contoh family genogram)

Setelah pengalaman dengan keluarga, pengalaman di sekolah merupakan pengaruh terbesar pada pembentukan karakter individu. Hal ini bisa kita dapatkan melalui educational history klien, yang mencangkup prestasi akademik klien dan pengalaman-pengalamannya dalam dunia pendidikan. Memori dan persepsi klien mengenai masa-masa sekolahnya dapat memberi tahu pewawancara tentang kesuksesan klien dalam dunia pendidikan dan proses sosialisasi. Mengenai prestasi sekolah, perlu diingat bahwa prestasi sekolah tidak selalu mencerminkan tingkat intelektual klien. Kadang, kita akan bertemu orang yang memiliki prestasi sekolah baik, namun tidak dapat beradaptasi di luar dunia pendidikan, sedangkan ada juga orang yang tidak memiliki prestasi sekolah yang baik, namun sangat sukses di dunia kerja dan di luar dunia pendidikan. Kemampuan klien untuk mengembangkan hubungan-hubungan interpersonal di sekolah, seperti pertemanan, cenderung mencerminkan kemampuannya untuk mengembangkan hubungan di masa depan. Kurangnya memiliki hubungan interpersonal selama masa sekolah dapat menjadi indikasi bahwa klien belum memahiri keterampilan dasar untuk bersosialisasi.

Untuk klien yang berusia dewasa, pewawancara dapat mencari tahu occupational training atau job history mereka. Ingatlah bahwa beberapa klien yang datang mungkin tidak memiliki pekerjaan. Maka, jangan memulai topik pembicaraan dengan bertanya “apa pekerjaan Anda?”, karena hal ini dapat membuat klien yang tidak bekerja merasa tidak nyaman. Melainkan, tanyakanlah “apa kesibukan Anda setiap hari?”; klien yang memiliki pekerjaan akan bisa menceritakan tentang pekerjaan mereka, dan klien yang tidak bekerja dapat menceritakan aktivitas sehari-hari mereka. Job history dapat memberi gambaran tentang kemampuan klien untuk bekerja, dan seberapa sukses mereka dalam dunia pekerjaan. Terdapat beberapa klien yang sudah lama bekerja untuk perusahaan yang sama, atau bahkan juga dalam posisi yang sama, dan terdapat beberapa klien yang sering berganti-ganti pekerjaan; mengetahui alasan dibalik keputusan mereka mungkin dapat membantu pewawancara untuk menyelesaikan masalah klien. Cari tahu juga apakah pendidikan atau pelatihan yang klien lakukan berhubungan dengan pekerjaan mereka sekarang. Pertimbangkan apakah pekerjaan klien pada masa ini didorong oleh keinginan klien sendiri, atau untuk memuaskan keinginan orang lain, seperti orang tuanya.

Social history juga mencangkup sejarah hubungan-hubungan klien, termasuk marital history daninterpersonal relationships. Dalam marital history, tanyakan klien tentang hubungan romantisnya, status pernikahannya, berapa kali ia pernah menikah, dan hubungan-hubungan romantis lain yang signifikan untuk klien. Dalam interpersonal relationship, cari tahu tentang hubungan-hubungan interpersonal yang klien miliki, seperti dengan teman-teman atau rekan kerja.

Sexual history juga merupakan bagian dari social history klien. Hal-hal yang mencakup sexual historymerupakan sexual functioning, sexual preference, orientasi seksual, sexual practice, sexual abusedan sexual problems yang mungkin pernah dialami klien, dan sexually transmitted disease yang mungkin pernah atau sedang klien miliki. Sexual history merupakan topik yang sensitif; karenanya berhati-hatilah dalam memilih kata-kata untuk bertanya. Salah satu cara untuk memulai topik sexual history adalah dengan menanyakan klien apakah dalam waktu dekat mereka telah mengalami perubahan dalam kepuasan atau ketertarikan seksual. Bila klien menjawab iya, lanjutkan dengan bertanya apa menurut mereka yang menyebabkan perubahan tersebut.

Bagian lain dari social history adalah recreational preferences, yaitu aktivitas-aktivitas yang klien gemari, atau hobi-hobi klien. Beberapa orang dapat merasa sulit untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Beberapa dari mereka memandang hal-hal yang menyenangkan atau kegiatan-kegiatan rekreasi sebagai hal-hal yang konyol atau tidak bermanfaat. Hal ini cenderung terjadi pada orang-orang yang ketergantungan pada zat kimiawi (chemically-dependent) atau pada orang dengan kepribadian obsesif-kompulsif. Kurangnya aktivitas-aktivitas yang menyenangkan bagi mereka dapat menyebabkan penyalahgunaan alkohol atau zat-zat lainnya.

Kebiasaan klien dalam mengkonsumsi alkohol, nikotin, kafein, dan zat-zat lain juga merupakan bagian dari social history-nya. Penggunaan atau penyalahgunaan alkohol dan zat lain (alcohol and substance use or abuse) merupakan topik yang sensitif. Salah satu cara untuk memulai topik ini adalah dengan membuat pernyataan “kadang saya suka minum minuman beralkohol. Bagaimana dengan Anda?” Klien kadang tidak sadar bahwa nikotin dan kafein termasuk dalam zat-zat adiktif. Kebiasaan penggunaan nikotin atau kafein dapat memberi indikasi tentang gaya hidup atau masalah-masalah yang sedang klien alami.

Riwayat kesehatan atau segala macam pengobatan yang pernah klien alami juga penting untuk diketahui. Medical history klien perlu digali oleh pewawancara, dan termasuk riwayat rawat inap, riwayat rawat jalan, riwayat operasi, check-up medis yang terakhir, ahli kesehatan atau dokter yang sering dikunjungi klien, masalah serius dengan kesehatan gigi dan mulut yang pernah atau sedang dialami klien, riwayat medis keluarga klien, dan nama dan dosis dari obat-obat yang sedang digunakan klien. Untuk informasi terakhir ini, mintalah klien untuk membawa obat-obat mereka, daripada mengandalkan ingatan klien tentang semua nama dan dosis yang bisa terlupakan oleh klien. Selain medical history klien, psychiatric or psychotherapy history klien juga harus digali. Cari tahu apakah klien pernah diberi diagnosa gangguan mental, namun jangan berasumsi bahwa diagnosis tersebut pasti tepat. Tanyakan juga pandangan dan pendapat klien tentang pengalaman yang ia miliki dengan pengobatan psikiatri; hal ini dapat membantu pewawancara memahami apa yang membantu dan tidak membantu klien selama pengobatannya.

Legal history juga salah satu bagian dari social history klien. Dalam memulai topik ini, jangan menanyakan “apa saja masalah dengan hukum yang pernah Anda alami?” “Masalah dengan hukum” memiliki arti yang sangat luas, dari ditilang polisi saat mengendarai sampai dipenjara untuk tindakan kriminal. Sebaiknya, topik ini dimulai dengan menanyakan “pengalaman apa saja yang Anda miliki dengan pihak hukum?” Pertanyaan ini lebih mungkin memancing jawaban yang akurat dari klien.

Dengan banyaknya informasi yang termasuk dalam social history klien, kita dapat melihat bahwasocial history merupakan bagian yang sangat penting untuk didapatkan pewawancara agar ia dapat memahami klien sebaik mungkin. Bagaimana caranya agar pewawancara bisa mendapatkan social history klien, dan menjadi pewawancara social history yang baik? Pewawancara harus memperhatikan apa yang dikatakan oleh klien; apa yang diceritakan oleh klien dapat memberi petunjuk tentang hal-hal yang penting untuk ditanyakan lebih lanjut. Pewawancara sebaiknya memberi klien kesempatan untuk bercerita sebanyak mungkin, dan bila pewawancara harus berkata sesuatu, katakan atau tanyakanlah hal-hal yang penting. Doronglah klien untuk terus bercerita dengan memberikan probing yang baik, namun ingat untuk tidak ‘menginterogasi’ klien. Terapkanlah sikap ingin tahu; hal ini akan membuat pewawancara lebih alami dan spontan dalam bertanya-tanya dan melakukan wawancara. Ingatlah bawa pewawancara tidak akan mengingat semua hal yang diceritakan oleh, namun hanya bagian-bagian yang penting atau menarik. Pewawancara harus sadar akan adanya perbedaan budaya yang mungkin terjadi antara klien dan pewawancara. Dengan mengingat dan menerapkan hal-hal tersebut, dan dengan banyak latihan, pewawancara akan menjadi pewawancara social history yang handal.

26 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar