Selasa, 25 Maret 2014

Don't be Fooled (Nadia Agustiputri Astari)

    image
  Pada pertemuan kemarin saya mendengarkan beberapa presentasi kelompok  mengenai hasil wawancara dengan psikolog klinis. Presentasi tersebut menjelaskan hasil wawancara dengan psikolog klinis dewasa dan psikolog klinis anak. Sebagian besar kelompok memiliki kesimpulan yang tidak jauh berbeda dimana mereka menyatakan bahwa kelebihan wawancara adalah mendapatkan informasi yang lebih jelas karena kita mendapatkannya melalui sumber primer atau sumber utama. Selain itu melalui wawancara kita dapat juga melakukan observasi terhadap perilaku-perilaku non verbal klien. Sebagian besar kelompok juga mengatakan kekurangan wawancara adalah membutuhkan waktu serta energy yang banyak, selain itu terkadang subjek juga cenderung mengatakan hal-hal yang tidak benar atau berbohong.
     Melihat presentasi kelompok ini mengingatkan saya terhadap pengalaman saya ketika melakukan wawancara dan observasi di rumah sakit jiwa di daerah Jakarta Barat. Pada waktu itu sebenarnya saya sedang melakukan tugas metode observasi dan tidak perlu melakukan wawanacara. Namun setelah saya selesai mengobservasi saya ingin mencoba bagaimana rasanya mewawancarai pasien schizophrenia, ketika saya berbicara dengan pasien tersebut , awalnya saya merasa ketakutan karena takut diserang (lebay ya, namanya juga baru pertama kali haha). Namun lama-kelamaan suasana pun menjadi cair, pasien tersebut dapat menceritakan cukup jelas mengenai kehidupannya, secara keseluruhan pasien ini mampu dimengerti ucapannya bahkan cara bicaranya tidak seperti pasien schizophrenia lainnya. Pasien ini mampu memberikan respon yang sesuai dengan pertanyaan yang diberikan, saat itu saya  berasumsi bahwa pasien ini yaa tidak parah-parah banget lah Terdapat suatu hal yang  lucu ketika saya melakukan wawancara. Pada awal wawancara pasien ini mengatakan bahwa ia memiliki nama Ani , saat itu saya berbincang-bincang selama kurang lebih 30 menit. Setelah saya selesai berbincang-bincang, saya memutuskan untuk mengkonfirmasi ceritanya dengan salah satu perawat. Setelah saya tanya mengenai riwayat pasien yang bernama Ani, suster pun kebingungan karena tidak ada pasien yang bernama Ani yang dirawat di bangsal tersebut. Saya sampai bolak-balik menanyakan kepada teman saya dan teman saya pun mendengar bahwa nama pasien tersebut Ani. Namun setelah saya lihat daftar pasien memang tidak ada bernama Ani, dan baru saya sadari bahwa saya dibohongi oleh pasien tersebut.  Namun awalnya saya sangat percaya, saya merasa konyol sekali karena terlalu mempercayai pasien tersebut. Saya terlalu fokus dengan perbincangan hingga saya lupa saya sedang mewawancarai seorang pasien schizophrenia. Keseluruhan cerita yang diceritakan oleh pasien juga tidak benar dan tidak sesuai berdasarkan catatan perawat. Karena saya penasaran saya akhirnya menhampiri pasien ini kembali, lalu dengan nada bercanda saya bertanya “Bu, ibu sebenernya namanya siapa? Tadi bohong ya bu?”. Lalu pasien tersebut pun menjawab dengan senangnya “haha iya dokter saya itu kalo malem namanya Anto, kalo siang namanya Anti” , yah beda lagi namanya. Yah sudah deh akhirnya saya berpamitan pulang dan mendapat pelajaran dari peristiwa tersebut.
     Maka dari itu kita sebagai pewawancara haruslah mengasah kepekaan kita dalam mendengarkan serta jangan lupa mengkonfirmasi cerita dari satu pertemuan dengan pertemuan lain sehingga kita dapat melihat konsistensi kebenarannya. Tidak hanya pasienschizophrenia yang dapat berbohong namun individu-individu normal lainnya pun dapat menyatakan kebohongan. Maka dari itu asahlah terus kepekaan serta keterampilan kita dalam wawancara!

2 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar