Jumat, 28 Maret 2014

Keterampilan Dasar Wawancara (Maria Theresia)

Pada perkuliahan Teknik Wawancara minggu kelima, kami mempelajari beberapa keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dengan efektif. Secara garis besar, terdapat enam macam keterampilan dasar wawancara:



1. Kemampuan membina rapport
Rapport merupakan suasana dan hubungan yang nyaman dan hangat antara interviewee daninterviewer. Bila rapport yang baik telah dibangun, klien akan merasa nyaman dan terbuka untuk berbicara tentang topik apapun.
     Kunci dari pembangunan dan kualitas rapport adalah perilaku interviewer. Untuk membangunrapport yang baik, interviewer harus mengekspresikan rasa kepedulian dan ketertarikan tentang apa yang ingin disampaikan interviewee. Hal-hal kecil yang dapat dilakukan interviewer untuk membuatinterviewee merasa nyaman adalah memberi salam dengan hangat, berjabat tangan, berbincang-bincang, dan mempersiahkan interviewee duduk. Interviewer harus menghindari bersikap judgementalterhadap interviewee, dan mengendalikan reaksi mereka terhadap cerita-cerita interviewee.Interviewer harus mencoba mengerti situasi dan perasaan klien, tetapi juga jangan sampai menjadi sok tahu; bila interviewer belum pernah berada dalam posisi klien, cukup berkata “saya tidak pernah berada dalam posisi Anda, maka saya hanya bisa membayangkan apa yang Anda rasakan”.
     Interviewer juga harus berfokus pada klien, dan mencoba mengurangi hal-hal yang dapat menginterupsi perkataan klien (seperti telefon, dan gangguan dari orang luar). Interviewer juga layaknya memperhatikan perbedaan budaya yang mungkin terdapat antara interviewer daninterviewee.  Contohnya, bila interviewer yang datang dari budaya di mana mempertahankan kontak mata merupakan hal yang sopan bertemu dengan seorang interviewee yang menghindari kontak mata, interviewer harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa interviewee datang dari budaya di mana mempertahankan kontak mata merupakan hal yang tidak sopan. Selain itu, interviewer juga harus memperhatikan tingkat pendidikan dan kemampuan bahasa interviewee; gunakanlah bahasa dan kata-kata yang dapat dimengerti oleh interviewee, dan hindari penggunaan istilah-istilah psikologi yang tidak diketahui oleh orang awam (jargons).
     Perhatikan juga lingkungan di mana wawancara dilakukan, dan buatlah senyaman mungkin untukinterviewee. Hal-hal kecil seperti kesetaraan tinggi kursi-kursi atau posisi kursi di mana intervieweedan interviewer duduk dapat menambah atau mengurangi kenyamanan interviewee, dan mempengaruhi rapport.   
     Waktu yang dibutuhkan untuk membangun rapport yang baik bervariasi. Umumnya, lebih cepatinterviewee merasa nyaman dengan interviewer, lebih cepat rapport yang baik akan dicapai. Maka, berusahalah sebisa mungkin untuk membaut interviewee merasa nyaman, agar wawancara dapat berjalan dengan efektif dan berbagai informasi dapat digali.


2. Empati
     Empati merupakan kemampuan untuk mengerti emosi, sudut pandang, dan situasi orang lain, dan kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang tersebut. Respons empati yang efektif akan membuat interviewee tahu bahwa interviewer menerima, memahami, dan mengakui keadaan atau ‘dunia’ mereka, dan bahwa interviewer tidak melakukan judgement terhadap interviewee.
     Keefektifan dari respons empatis yang diberikan interviewer tergantung pada kualitas rapport yang dimiliki dengan interviewee. Respons empati yang efektif akan terjadi bila interviewer dapat mempersepsikan dengan akurat afeksi interviewee, dapat memahami apa yang telah terjadi padainterviewee, dan dapat memahami peran apa yang dimiliki interviewee dalam pengalaman mereka. Hal yang penting dilakukan untuk mencapai respons empatik yang efektif adalah terus berfokus pada klien.


3. Attending behavior
     Attending behavior adalah perilaku yang memperhatikan interviewee, baik percakapan atau perilaku mereka. Kunci dari attending behavior  yang baik adalah untuk membiarkan intervieweeberbicara, dan berfokus pada perkataan mereka. Attending behavior akan mudah dilakukan bilainterviewer tidak berfokus pada diri mereka, tetapi berfokus sepenuhnya pada interviewee, dan memperhatikan perkataan interviewee dan memberi komentar yang berhubungan dengan ceritaintervieweeInterviewer sebaiknya mengurangi kuantitas perkataan mereka, dan memberi intervieweekesempatan untuk bercerita. Selama berdiam, interviewer dapat menunjukkan rasa empati melalui perilaku-perilaku nonverbal, seperti melalui kontak mata, atau anggukan kepala.
     Terdapat empat dimensi dari attending behavior. Pertama adalah visual, dalam bentuk kontak mata dengan intervieweeInterviewer dapat mempertahankan kontak mata dengan interviewee untuk menunjukkan bahwa interviewer memperhatikan cerita interviewee. Kedua adalah vocal qualities; melalui nada dan kecepatan berbicaranya, interviewer dapat mengekspresikan kepedulian dan ketertarikannya terhadap perkataan interviewee. Ketiga adalah verbal tracking, di mana interviewerdapat mengikuti topik cerita interviewee atau mengubah topik perbincangan mereka. Interviewer harus menjaga agar topik pembicaraan tidak beralih dari topik utama wawancara; interviewer harus memilih perkataan interviewee yang perlu dieksplorasi lebih lanjut atau dihiraukan, agar wawancara tetap pada fokus utamanya. Keempat adalah body language; hal-hal seperti postur tubuh dan gerakan kepala atau tangan dapat mengindikasikan bahwa interviewer memperhatikan interviewee.


4. Teknik bertanya
     Terdapat dua jenis pertanyaan yang dapat digunakan interviewer. Jenis pertama adalah open question, yang tidak bersifat mengarahkan, dan memberi interviewee kebebasan untuk berekspresi dan bercerita tentang topik yang mereka inginkan. Open question menghasilkan jawaban yang panjang dan karenanya informasi yang lebih banyak akan didapatkan. Open question dapat digunakan sebagai pembuka wawancara (“apa yang bisa bantu?”, “masalah apa yang Anda alami?”), untuk meminta interviewee mengelaborasi pernyataan mereka (“ bisakah Anda bercerita lebih lanjut?” “apa yang Anda lakukan selanjutnya?”), atau untuk meminta interviewee memperjelas perkataan mereka (“apa yang Anda maksud dengan…?”).
     Jenis pertanyaan kedua adalah closed question, yang bersifat mengarahkan dan merujuk pada jawaban tertentu. Jawaban dari closed question umumnya hanya berupa “ya” atau “tidak”. Kadangclosed question dapat terdengar seperti leading question (pertanyaan yang perkataannya mendorong respons atau jawaban tertentu), dan hal ini dapat membuar interviewee curiga bahwa interviewermemiliki maksud atau agenda tersembunyi. Closed question memiliki resiko dapat mempengaruhiinterviewee untuk merespon dalam cara tertentu, dan membuat pemikirannya terdistorsi oleh pemikiran interviewer. Contoh dari closed question adalah “apakah Anda sedih?”, “apakah Anda menyukainya?”, dan “apakah Anda merasa terganggu oleh hal tersebut?”
     Beberapa hal juga harus diperhatikan dalam penggunaan pertanyaan. Hal pertama merupakan menghindari bersikap intrusif; saat interviewee mengalami kesulitan dalam bercerita, jangan memaksanya untuk berbicara. Hal ini dapat membuat interviewee merasa terganggu dan tidak percaya kepada interviewer. Hal kedua merupakan menghindari melakukan ‘interogasi’; hindari menanyakan sederet hal-hal pribadi tentang klien melalui daftar pertanyaan yang panjang. Hal ini dapat membuat interviewee merasa seakan-akan ia sedang diinterogasi, dan membuatnya merasa tidak nyaman. Hal ketiga adalah menghindari mengontrol eksplorasi intervieweeInterviewer layaknya menghindari melontarkan pertanyaan dengan terus menerus; hal ini tidak akan memberi intervieweekesempatan untuk memperdalam cerita mereka, dan akan membuat interviewee mengalami kesulitan untuk mengungkapkan perasaan mereka yang sesungguhnya. Hal keeempat adalah menghindari menanyakan “mengapa”. Saat menjawab pertanyaan “mengapa”, interviewee akan berusaha untuk memberi rasionalisasi atas jawaban mereka, dan membuat mereka merasa bertanggung jawab atas sesuatu. Daripada menggunakan “mengapa”, gunakanlah “apa”, “kapan”, atau “bagaimana”. Hal kelima adalah menghindari perilaku satisfying counsellor’s needs, yaitu perilaku di mana interviewermenanyakan hal-hal hanya karena mereka penasaran, dan bukan karena pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membantu interviewee. Hal ini akan membuat interviewee merasa terganggu. Melainkan, interviewer sebaiknya merefleksikan apa yang telah dibicarakan oleh interviewee, dan mendeteksi inti masalah interviewee tanpa harus bertanya terlalu banyak.


5. Kemampuan observasi
     Dalam melakukan observasi, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah perilaku nonverbal. Perilaku nonverbal termasuk ekspresi wajah; kerutan alis, alis yang dinaikkan, mata yang terbuka lebar, bibir yang dirapatkan, mulut yang terbuka, dan senyuman dapat merefleksikan apa yang dirasakan atau dipikirkan interviewee. Bahasa tubuh, termasuk postur tubuh, posisi duduk, gerakan kepala, arah tatapan mata, gerakan tangan, dan tarikan nafas, juga termasuk dalam perilaku nonverbal yang harus diobservasi. Hal kedua yang harus diobservasi adalah perilaku verbal, yaitu perkataan interviewee. Perhatikan kata-kata yang digunakan, diulang, dan diberi penekanan olehinterviewee. Hal terakhir yang harus diobservasi oleh interviewer adalah adanya ketidakcocokan atau konflik antara perilaku nonverbal dan perilaku verbal interviewee. Adaknya diskrepansi antara perilaku verbal dan nonverbal interviewee dapat mengindikasikan bahwa interviewee tidak merasa nyaman mendiskusikan sesuatu, atau bahwa interviewee tidak berkata jujur.


6. Active listening
Active listening merupakan perilaku-perilaku yang menunjukkan bahwa interviewer benar-benar mendengarkan dan memperhatikan perkataan klien. Active listening terdiri dari encouraging, refleksi, dan menyimpulkan (summarizing).
     Encouragers merupakan tindakan-tindakan yang digunakan untuk memancing interviewee untuk terus bercerita. Encouragers dapat berupa nonverbal, seperti anggukan kepala, ekspresi wajah, kontak mata, dan keheningan. Memberikan keheningan 10—15 detik setelah interviewee berbicara dapat menjadi tanda bahwa interviewer ingin interviewee untuk terus bercerita, tetapi perhatikan agar keheningan tidak berlangsung terlalu lama, karena ini dapat membuat interviewee merasa tidak nyaman. Encouragers juga dapat berupa perilaku verbal, seperti mengatakan “ya”, “oke”, atau “lalu”, mengulangi kata terkahir yang diucapkan interviewee dengan nada yang berbeda, atau menguraikan perkataan intervieweeEncouragers juga termasuk probing, yaitu tindakan mengeksplorasi perkataaninterviewee untuk mencari tahu lebih banyak tentang cerita interviewee, dan membuat intervieweemenjelaskan perkataan mereka.
     Terdapat dua macam refleksi yang dapat dilakuan. Pertama adalah reflection of content, yang juga disebut paraphrasing. Dalam melakukan reflection of contentinterviewer akan mengutarakan kembali inti dasar dari perkataan interviewee dalam bentuk yang lebih singkat, dan ditujukan untuk melakukan klarifikasi dengan interviewee bahwa hal tersebut merupakan apa yang ia maksud. Dengan melakukan paraphrasinginterviewer menunjukkan kepada interviewee bahwa ia memperhatikaninterviewee, dan juga mengindikasikan bahwa ia ingin diskusi dengan interviewee untuk terus berlangsung. Pada dasarnya, tujuan dari reflection of content adalah untuk membantu intervieweemelakukan eksplorasi, dan untuk mengklarifikasi perkataan intervieweeReflection of content berbeda dari parroting; dalam parrotinginterviewer hanya mengulang perkataan interviewee secara persis, sedangkan dalam paraphrasinginterviewer menggunakan kata-katanya sendiri. Parotting berguna untuk mengutarakan garis besar cerita interviewee, atau ketika mendorong interviewee untuk melanjutkan perkataan yang belum selesai.
     Jenis refleksi kedua adalah reflection of feelings, di mana interviewer mengidentifikasi emosiinterviewee dan mengklarifikasikannya dengan interviewee. Hal ini dilakukan dengan memberi label kepada emosi yang dirasakan interviewee, dengan menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan interviewee. Setelah menemukan kata yang tepat untuk perasaanintervieweeinterviewer dapat memberi tahu interviewee dan mengklarifikasi bahwa label tersebut tepat dengan perasaan intervieweeReflection of feelings dapat dilakukan dengan paraphrasing dansummarizing.
     Interviewer dapat membantu interviewee untuk membedakan antara perasaan dan pikiran mereka. Kadang interviewee dapat berkata “saya merasa…” saat menceritakan pemikirannya. Untuk membedakan antara pikiran dan perasaan, perhatikanlah kuantitas kata yang digunakan intervieweesaat memberi penjelasan. Perasaan cenderung dapat dijelaskan dengan hanya satu kata, seperti “saya merasa sedih”. Pikiran cenderung dijelaskan melalui serangkaian kata, seperti “saya merasa bahwa ia tidak suka dengan saya dan tidak ingin berinteraksi lagi dengan saya”.
     Summarizing merupakan tindakan yang mirip dengan paraphrasing. Namun dalam summarizing, interviewer merangkup apa yang dikatakan interviewee dalam periode waktu yang lebih lama.Summarizing dapat dilakukan untuk memulai wawancara, mengakhiri wawancara, memulai topik pembicaraan yang baru, atau untuk mengklarifikasi masalah yang kompleks.

     Terdapat empat dimensi dari paraphrasing dan summarizing yang akurat dan tepat. Pertama, key words atau kata-kata kunci yang digunakan dapat diambil dari kata-kata sama yang digunakan olehinterviewee saat bercerita. Kedua, sentence stem dapat digunakan, dan kadang nama intervieweejuga digunakan untuk membuat sesi diskusi lebih pribadi. Ketiga, inti dari apa yang diceritakaninterviewee disampaikan ulang dalam bentuk yang lebih singkat dan jelas. Keempat, klarifikasi denganinterviewee, baik secara eksplisit atau implisitbahwa paraphrasing atau summarizing yang telah dilakukan interviewer akurat dan benar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar