Senin, 31 Maret 2014

Teknik Keterampilan Dasar Wawancara (Lisa Febriani)


     Ketika kelas Teknik Wawancara pada hari selasa yang lalu tepatnya tanggal 11 Maret 2013, saya mendapatkan informasi yang sangat saya butuhkan mengenai keterampilan wawancara, agar kelak, jika saya mendapatkan tugas untuk melakukan penelitian atau tugas yang mengharuskan saya berwawancara, maka saya dapat mengaplikasikan keterampilan ini. Berikut penjelasan yang dapat saya bagikan:


1. Kemampuan membina rapport
     Rapport adalah upaya untuk menciptakan lingkungan yang hangat dan nyaman, biasanyarapport dilakukan pada saat awal-awal dalam sesi pertemuan, agar interviewee merasa lingkungannya sudah mendukungnya untuk berbicara lebih bebas dan jujur sesuai dengan topik yang ingin di gali pada saat interview tersebut
.
Contoh kasus: Pada saat saya melakukan wawancara dengan salah satu subyek yang berkaitan dengan topik yang saya ambil dalam penelitian tersebut, dan saya mengenal si subyek ini karena subyek ini adalah temannya teman saya. Saya kurang dapat membina rapport dengan baik, dikarenakan suasana tempat wawancara tersebut terlalu bising dan waktunya mendesak, sehingga apa yang terjadi?? Subyek saya sering kali melakukan kesalahan dalam menjawab pertanyaan saya, karena ia sering sekali “tertawa” dan merasa enggan untuk bercerita pada saya, dan menurutnya pertanyaan saya tidak mudah ia mengerti, dan walaupun sudah dilakukan pengulangan pertanyaan, subyek saya pun tetap tidak mengerti katanya. Tidak mengerti atau malu untuk membuka cerita pribadinya pada saya?? Oleh karena itu, lebih baik untuk membina rapport terlebih dahulu, agar wawancara selanjutnya dapat berjalan dengan baik.


2. Empati 
     Empati sangat eratnya dengan rapport, jika ingin berempati maka rapportnya harus baik. Empati adalah kemampuan menghayati pikiran seseorang, agar dapat mengetahui perasaan orang tersebut dalam pengalamannya. 

Contoh kasus: Pengalaman saya dalam melakukan wawancara seputar anak yang memiliki kebutuhan khusus, pada saat ini saya mewawancarai Ibu dari sang anak ini, pada wawancara saya kali ini saya berhasil membina rapport dengan baik, sehingga informasi yang saya dapatkan juga memuaskan. Namun, ketika saya memberikan pertanyaan mengenai bagaimana perasaan beliau yang saat itu memiliki anak dengan keterbatasan, yang mengharuskannya untuk menjaga dan merawatnya setiap waktu, menjaga hati anaknya dalam diskriminasi yang terjadi di lingkungannya, ditambah lagi beliau telah ditinggalkan suaminya yang telah meninggal, beliau menjelaskan hal ini pada saya dengan rasa yakin, dan tegar (itu yang saya lihat), saya mampu mengerti perjuangan beliau dalam merawat anaknya ini, saya mengerti pengorbanan beliau untuk menyembuhkan anaknya ini, namun beliau sendirian, pada saat wawancara berlangsung, beliau menangis, dan apa yang saya lakukan?? Saya juga ikut meneteskan air mata bersama-sama dengan beliau. Hal ini tidak boleh dicontoh, boleh empati tetapi jangan terlalu serius banget empatinya sama interviewee, karena nanti bisa menyebabkan isak tangis yang begitu dalam di antara keduanya.

3. Attending behavior




a. Visual : Pattern of eye contact Ketika sedang wawancara dengan interviewee hendaknya melihat ke arah mata interviewee tersebut, PERHATIKAN! Jangan melihat dengan penuh gelora nafsu dan amarah apalagi bagian-bagian tertentu pada tubuh interviewee, namun perhatikan matanya, agar interviewee merasa dirinya dihargai dan dihormati.
b. Vocal Qualities Tone & speech rate > Tekanan nada dan kecepatan berbicara juga harus dikontrol dengan baik, jangan biarkan nada yang terucap dari seorang interviewer itu terlalu tinggi, dan jangan juga terlalu rendah, karena dapat mempengaruhi jawaban dari interviewee. Contohnya: pada kasus penelitian yang sama seputar wawancara anak berkebutuhan khusus, pada pertanyaan-pertanyaan tertentu nada bicara saya terlalu rendah dan terdengar tidak enak untuk menanyakan hal tersebut sehingga ada keragu-raguan dalam diri saya, sehingga sering kali ibu dari subyek saya ini merasa keingat-ingat lagi dengan masa lalunya, dan membuat beliau tersedih. Intinya harus kenal situasi dan bagaimana cara berbicara dengan gaya yang baik dan benar.
c. Verbal Tracking : Following the client or changing the topic > Interviewer harus peka dalam memilih pernyataan klien yang harus diberi perhatian khusus dan yang harus diabaikan agar wawancara tetap fokus pada tujuan awal. Contohnya masih pada wawancara saya seputar anak berkebutuhan khusus ini, ketika saya dan ibu dari subyek sama-sama menangis, saya menunggu sejenak, sehingga semua emosi bisa sama-sama dikendalikan, setelah itu saya bertanya seputar topik awal, dan bukan mempertanyakan lebih lanjut tentang hal yang sama-sama membuat kami menangis pada saat itu.
d. Body Language : Attentive and authentic  > Dalam hal ini, interviewer harus penuh perhatian dan tulus apa adanya, tidak boleh dibuat-buat. Biarkan semua mengalir apa adanya, dengan ketulusan, maka insyaallah wawancara akan berjalan dengan lancar.

4. Teknik bertanya
a. OPEN QUESTION > Sifatnya tidak mengarahkan. Contohnya “apa yang bisa saya bantu?” atau “apa yang anda rasakan?”
b. CLOSED QUESTION > Pertanyaan yang sifatnya mengarahkan, yakni ketika wawancara sudah berlangsung lama dan ingin segera menetapkan diagnosis yang sesuai untuk klien (jika wawancara dilakukan oleh psikolog), maka pertanyaannya seputar ingin menanyakan apakah ada gangguan tidur atau tidak, jadi pertanyaannya “susah tidur atau tidak?” atau “konsentrasinya gimana?”

5. Keterampilan observasi
Keterampilan Observasi berfokus pada 3 area
a. Perilaku Non Verbal > Ekspresi wajah yang ditampilkan jangan seolah-olah membuat klien menjadi takut atau merasa lebih tinggi dari psikolognya, bahasa tubuh juga mempengaruhi jalannya wawancara (jangan terlalu banyak gerak atau melakukan aktivitas lain yang membuat klien merasa tidak diperhatikan, terakhir yaitu hindari stereotype agar data yang dikumpulkan objektif.
b.  Perilaku Verbal > Memperhatikan klien, dan memperhatikan kata kunci yang disampaikan oleh klien, perhatikan kata kunci akan memudahkan psikolog menemukan masalah apa yang sesungguhnya terjadi pada klien tersebut.
c. Konflik, diskrepansi, dan inkongruensi > Interviewer harus mewaspadai diskrepansi antara tindakan verbal dan nonverbal klien selama wawancara.

Active listening
 Terdiri dari:
1. Encouraging > Interviewer menunjukkan kata-kata yang mendukung seperti “ya..” atau “lalu..” atau “he’eh”, dan perlu mengulangi kata-kata terakhir yang diucapkan oleh interviewee tersebut dengan nada yang berbeda, kalau sama maka akan membuat kejenuhan bagi yang mendengarkannya.
2. Refleksi konten cerita (parafrase) dan refleksi perasaan klien (reflection of feeling). Kalau paraphrase itu sendiri memiliki makna harus fokus pada konten yang diucapkan oleh klien, lalu mengklarifikasikannya kembali, kalaureflection of feeling yakni mengungkapkan apa yang klien rasakan, seperti “sepertinya anda sedih ya..)
3. Menyimpulkan (summarizing> Pada menjelang akhir sesi wawancara, hendaknya memberitahukan terlebih dahulu, serta membuat simpulan mengenai hal-hal yang telah dibicarakan selama jalannya wawancara agar klien merasa psikolognya memperhatikannya.

16 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar