Selasa, 25 Maret 2014

"The Power of Interview in Clinical Setting" (Miyunda Anastasia)

 

Pada tulisan artikel saya kali ini, saya akan mencoba membahas tentang "Hebatnya Wawancara di dalam Setting Klinis"

Tentunya, teman-teman sudah mengetahui apa itu wawancara.
Pada hari Kamis, 27 Februari 2014 kami mempelajari bagaimana sih pengaplikasian wawancara dalam bidang klinis, baik klinis anak maupun klinis dewasa.

Nah, dari beberapa presentasi kelompok yaitu 3 kelompok yang mempresentasikan mengenai hasil wawancara dengan psikolog klinis anak dan 3 kelompok yang mempresentasikan mengenai hasil wawancara dengan psikolog klinis dewasa, saya mendapat banyak pengetahuan baru yang ada di dalamnya. Pada umumnya, saya merangkum bahwa wawancara di dalam bidang klinisi digunakan untuk mendapatkan informasi atau data yang detail dari klien. Informasi atau data tersebut digunakan untuk membuat diagnosa mengenai gangguan atau masalah yang dialami oleh klien. Beberapa kelebihan wawancara yang diungkapkan oleh 6 psikolog klinis di atas antara lain seperti wawancara itu informasinya lebih detail, lengkap, dan jelas. Selain itu, sumber yang didapat langsung dari sumber utama (data primer), dapat mengobservasi perilaku non verbal dari klien, dapat mengetahui status mental yang dialami oleh klien saat ini, merupakan alat anamesa awal, mampu melihat informasi yang tersirat maupun yang tersurat, dan sebagainya. Di samping kelebihan wawancara di dalam bidang klinis, ada beberapa kekurangan wawancara di dalam bidang tersebut antara lain menghabiskan waktu, biaya, dan energi yang lebih banyak. Kemudian, klien dapat berbohong mengenai informasi yang ia ungkapkan, klien yang defensif (menutup diri), dan klien yang sulit untuk mengomunikasikan masalah yang ia hadapi.

Saya ingin membagi pengalaman ketika saya mewawancarai psikolog klinis dewasa dengan kelompok saya. Sebut saja inisialnya Pak P. Pak P ini merupakan dosen dan kepala laboratorium di salah satu universitas swasta di Jakarta Barat. Beliau mengungkapkan banyak hal mengenai teknik wawancara. Pertama, beliau mengungkapkan bahwa wawancara dan observasi itu merupakan andalan utama para psikolog. Mengapa? Karena dengan wawancara dan observasi, informasi yang kita dapat sungguh kaya dan detail. Alat tes lainnya seperti tes inteligensi, tes kepribadian (Rorschach dan TAT) sebenarnya hanya untuk memvalidasi kebenaran yang didapat dari wawancara dan observasi saja (#Hebat banget kan wawancara).

Selanjutnya, ada hal menarik ketika Pak P berbagi pengalamannya selama menjadi psikolog klinis dewasa. Ada beberapa hal yang menjadi kesulitan Pak P ketika melaksanakan teknik wawancara ini yaitu menghadapi klien yang introvert, defensive, dan schizophrenia. "Lalu, bagaimana cara menanganinya Pak?" jawab kami. Pak P menjawab bahwa beliau akan tetap mengikuti alur cerita wawancara klien, dan ia tetap sabar menunggu klien siap untuk menceritakan masalahnya. Cara lainnya adalah mengatur pertemuan berikutnya untuk kembali melakukan proses wawancara dengan klien. Biasanya sih, lama-kelamaan klien akan terbuka untuk menceritakan masalahnya seiring dengan berjalannya waktu. 

Satu hal lagi yang menjadi topik menarik saya dan kelompok dengan Pak P adalah cara mendeteksi kebohongan pada klien. Beliau mengemukakan bahwa kebohongan dapat dideteksi dengan pernyataan yang ia ungkapkan dan perilaku non verbal yang ada. Artinya, jika klien mengungkapkan pernyataan yang berbeda atau terdapat inkonsistensi antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya, ini dapat menjadi indikasi kebohongan dari klien. Contohnya, pada hari ini klien yang bernama X mengatakan bahwa ia bekerja sebagai sales 1 minggu yang lalu. Pada pertemuan berikutnya, ia mengatakan bahwa ia bekerja sebagai manager 1 minggu yang lalu. Ini merupakan contoh inkonsistensi pernyataan, sehingga psikolog harus peka terhadap pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh klien. Kemudian, klien yang berbohong dapat dilihat dari gesture atau gerak tubuhnya. Contoh, kalau pada wanita yang berbohong mungkin saja ia menggaruk-garuk kepalanya selama proses wawancara secara terus-menerus. Kalau pada laki-laki, mungkin saja ia menutup bagian atas bibirnya pada saat berbicara. Padahal, awalanya klien tidak menunjukkan gerak-gerik seperti itu loh. Akan tetapi, saat menceritakan masalah inti, ia malah menunjukkan gerak-gerik tertentu... Hmm, hebat ya Pak P ^_^

Tentunya, untuk menjadi psikolog yang baik kita harus peka pada klien yang kita hadapi... Nah ada lima andalan para psikolog nihhh ^^ (From Ibu Henny Wirawan):
a) Matamu adalah senjatamu, artinya kita harus melihat dengan jelih dan detail. Nah seperti contoh di atas, bahwa mata kita perlu tajam untuk mengobservasi berbagai perilaku yang ditampilkan oleh klien.
b) Mulutmu harus dijaga, artinya kita tidak boleh menjustifikasi orang dengan semau kita dan tanpa dasar yang jelas serta kita juga harus berbicara dengan baik.
c) Telingamu untuk mendengarkan masalah klien dengan sepenuh hati. 
d) Otak yang digunakan untuk berpikir dan mengendalikan kehidupan kita.
e) Hati nurani ^^ (Hati nurani ini salah satunya adalah kejujuran. Penting di dalam kehidupan kita untuk mengandalkan kejujuran baik profesi sebagai psikolog maupun pekerjaan lainnya).

1 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar