Empati dalam konteks Keterampilan Dasar Wawancara
Pertama-tama, sebelum empati itu dilakukan, keterampilan yang harus dikuasai adalah membina rapport. Jika rapport itu sudah baik, maka akan memperlancar peredaran empati. Dua hal ini hukumnya mesti, kudu, wajib dikuasai dalam melakukan wawancara.
Sekedar cerpen sejenak. Alkisah hiduplah seorang anak perempuan yang sedang berjalan-jalan dengan ibunya. Sang anak berjalan menggunakan sepatu hak tinggi dan menimbulkan bunyi “tak tok tak tok” di sepanjang perjalanan. Berkatalah si ibu “kamu kok males banget sih nak? Jalannya jangan lemes-lemes mangkanya biar ga bunyi berisik gitu.” Akhirnya anak mengusahakan segala cara agar sepatu itu tidak berbunyi lagi, tapi hal itu membuat kakinya sangat pegal hingga melepaskan sepatunya. Melihat hal itu, si ibu meminjam sepatu anaknya tersebut, tidak lama kemudian ia berbalik kepada si anak “ternyata bener yah nak, sepatunya emang berisik.”
Sepenggal kisah ini mencerminkan sebuah pepatah yang mengatakan bahwa:
Saat psikolog mencoba berempati kepada kliennya, ia akan melepas jubah keagamaan dan sayap malaikatnya. Bukan berarti menjadi orang yang tak beragama, hanya saja...
Keterampilan empati yang dimiliki jangan hanya dilakukan di ruang konsultasi saja, tapi latihlah itu dalam kehidupan sehari-hari. Mulailah dari orang-orang terdekat. Apa kata dunia jika seseorang dapat berempati dengan korban bencana tsunami di luar pulau, sementara ia tidak dapat berempati dengan adiknya sendiri yang tercebur di kolam renang engap-engapan cari napas karena tidak bisa berenang?
15 Mar 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar