Minggu, 02 Maret 2014

On Sexuality: What Truly Matters (Cardia Ivana)


Last week (24-02-2014) my class had this one group presenting the material in front of the classroom and we had a little discussion after. We dug deeper on the topic of sexual orientation, especially emphasizing on homosexuality. Nowadays, homosexuality is sort of being in the limelight as to the increasing numbers of people coming out of closet and the legal policy of gay marriage in a few countries. I keep thinking about how similar this situation is to the once racial discrimination phenomenon where black people weren’t allowed to many of human rights and privileges. Before I share my views on the subject, I would like to fill you in with a bit of information I got from the class.


Seperti yang sudah saya tulis di posting sebelumnya, orientasi seksual mengarah pada pola ketertarikan secara seksual, romantis, dan emosional terhadap suatu gender (laki-laki, wanita, atau laki-laki dan wanita). Kaum homoseksual adalah mereka yang berorientasi seksual pada individu lain dengan gender yang sama. Banyak teori dan pandangan yang berusaha menjelaskan mengenai ikhtisar, asal-usul, dan perkembangan dari homoseksualitas. Ada yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah keadaan yang dibawa sejak lahir, pandangan lain mengatakan bahwa hal ini dipengaruhi oleh upbringing, dan ada juga yang berpendapat bahwa hormon memainkan peran dalam orientasi seksual (bahwa perempuan lesbian memiliki kadar hormon testosteron yang lebih tinggi daripada yang selazimnya). Dari sekian banyak pandangan yang ada, saya mendapati pandangan Behaviorist Theory cukup menarik.


Di dalam makalah kelompok, tertulis bahwa behaviorist theory menyatakan bahwa perbedaan orientasi seksual, khususnya homoseksualitas, terjadi akibat adanya reinforcement dan rewardpositif. Those behaviorists state that the differences in sexual orientation are learned. Without lessening any of my respect, I somehow find those two statements to be quite ridiculous.


Seperti yang kita ketahui, mayoritas masyarakat tentunya tidak memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang ‘baik’, bahkan beberapa kaum konvensional yang fanatik justru menghujat kaum homoseksual. Melihat situasi ini, saya rasa reinforcement dan reward positif yang kaum homoseks dapatkan tentu tidak sebanding dengan hujatan dan tentangan yang ada. Lingkungan dengan tingkat acceptance dan tolerance yang tinggi serta awareness terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender) mungkin menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah orang yang mengaku dirinya homoseksual. Namun saya rasa hal ini terjadi tidak secara satu arah. It’s like questioning the obvious thing, “Which comes first: The smoke or the fire?” Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api. Tidak mungkin ada awareness jika tidak ada objek nyata dalam realita. Homoseksualitas mungkin saja meningkat karena adanya dukungan atau penerimaan (reinforcement positif), namun tidak berarti awal mula homoseksualitas lahir dari lingkungan. Terlebih dahulu harus ada kasus mengenai homoseksualitias dalam jumlah yang cukup banyak sehingga muncul awareness di masyarakat. Saya tidak menyatakan bahwa teoribehaviorist sepenuhnya keliru, biarlah apa yang saya tulis di atas ditanggapi sebagai opini yang terbuka.


I am a heterosexual, but I neither despise nor glorify those of homosexuals and bisexuals. Regardless of my religion’s and culture’s influences, I am all Switzerland on this whole homosexuality thing. It’s not about the degrading morality of the generation but more like of an acceptance. I do not hold homosexuality above or below anyone. People are just open about it now. People used to think that black people were an abomination from evolution as well and now we have gotten to the point of not making that assumption. I wonder if in a few decades later, all these LGBT notions will be regarded as normal and accepted wholly as knowledge and studies about them become more scientifically reliable.


Dalam diskusi kelas, salah seorang teman saya bertanya, “Apakah seorang ladyboy (laki-laki yang setelah menjalani operasi kelamin menjadi seorang perempuan) yang menyukai laki-laki lain tergolong homoseksual?” Saya ingin memberikan tanggapan mengenai hal ini. Gender is a person’s sexual identity, regardless of the person’s biological and outward sex. Gender mengacu pada identitas seksual dan bukan pada jenis kelamin. Seorang laki-laki bisa saja merasa bahwa ia sebetulnya perempuan yang lahir dalam raga laki-laki. It’s like on the outside I’m a man but the ‘me’ inside is a woman. This means his gender is of a woman. Anggap saja laki-laki ini kemudian menjalani operasi jenis kelamin menjadi perempuan lalu kemudian ia menjalin hubungan romantis dengan seorang laki-laki tulen. Menurut saya, mereka adalah pasangan heteroseksual. Seorang laki-laki hanya dikatakan homoseksual jika dirinya memang mengakui bahwa ia memiliki gender laki-laki namun juga tertarik dengan laki-laki secara romantis dan seksual. Seseorang menjalani operasi kelamin dan menjadi transgender bukan dilandasi orientasi seksualnya, but on how one feels about one’s sexual identity.


Bisakah seseorang yang dulunya homoseksual kemudian ‘kembali’ menjadi heteroseksual? For me life is about finding who you truly are. Seseorang bisa saja mengaku dirinya homoseksual karena ia sedang mengalami konflik jati diri hingga pada akhirnya ia menyadari bahwa ia sebetulnya heteroseksual. Life is an ever changing cycle and we might as well roll with it. We doubt and then we make sure. It’s ok to be lost and confused once in a while, that’s what makes us human after all. So when you finally find yourself, make your mark and celebrate it.
Sometimes we are afraid to speak up our mind and do the things that we actually love because we fear judgments will be held upon us. It's like even though we know we should not bother with what people say, many times we still find ourselves hesitating to stand for what we want because at the end of the day, sometimes those gibberish still get to us. It's ok though. Time has a wonderful way of showing us what really matters: what you think of yourself is much more important than what people think of you. So hats off to those who have the courage to stand for who they really are regardless of their sexual orientation or gender because it shows that they embrace themselves wholly as human beings. You should never feel less special just because you are different from what society molds you to be.


There I have my thoughts said, thank you for keeping up with me.
This picture is taken from Google.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar