Minggu, 02 Maret 2014

Interview-ing or Kepo-ing? (Michelle Haryanto)


Sebagai makhluk yang bersifat sosial, tentu saja manusia akan selalu bercakap-cakap dengan sesamanya. Tapi apa sih bedanya percakapan biasa dengan apa yang disebut dengan wawancara?

Wawancara menurut Ivey, Ivey, dan Zalaquett (2010) ialah proses paling dasar untuk mengumpulkan informasi, penyelesaian masalah, dan informasi psikososial. Wawancara juga cendrung bersifat short-term atau hanya terdiri dari satu atau dua sesi.


Minggu lalu, kelompok saya diberikan tugas dari mata kuliah Teknik Wawancara untuk mewawancarai seorang psikolog. Saat wawancara tersebut berlangsung tentunya banyak hal yang saya dapatkan. Wawancara dilakukan bukan hanya sekedar mendapat jawaban, namun bagaimana kita menggali informasi yang kita butuhkan dari orang yang kita wawancarai. Wawancara juga sifatnya lebih terstruktur dibandingkan dengan percakapan biasa. Nah, kebetulan yang kami wawancarai adalah seorang psikolog anak, beliau berbagi pengalamannya selama belasan tahun bekerja. Mewawancarai anak-anak lebih sulit dibanding orang dewasa, walaupun sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Anak-anak tidak mudah untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, jadi kadang harus diberikan "sogokan" berupa mainan, agar sambil bermain, anak akan lebih mudah menjawab pertanyaan. Sedangkan pada orang dewasa kadang mereka akan tertutup sehingga psikolog harus melakukan rapport atau interaksi yang membuat orang yang diwawancarai berada dalam suasana nyaman supaya dapat lebih terbuka. Barulah dari situ psikolog dapat melakukan probing.


Jadi seorang psikolog sama aja dong kayak orang kepo yang mau tau masalah orang?


Tentunya berbeda antara kepo dengan probing itu sendiri. Bedanya adalah, kepo itu pertanyaan yang diajukan tidak ada juntrungannya, cuma mau tau padahal tidak bisa membantu apa-apa, sedangkan probing yang dilakukan oleh seorang psikolog memang jelas bertujuan untuk mengetahui banyak informasi agar psikolog dapat membantu klien keluar dari masalahnya, atau setidaknya, membuat klien dapat berpikir secara lebih terbuka. Karena itu, seorang psikolog harus memiliki :

awareness, agar dapat menghindari bias karena setiap individu pasti memiliki nilai dan asumsi yang berbeda-beda (halo effect, confirmatory bias, primary effect).
knowledge, agar psikolog dapat membuat "wawancara" menjadi hal yang nyaman dan menyenangkan dengan topik yang luas.
skills, kemampuan dalam misalnya saja memahami perasaan klien dan lain sebagainya, tentunya diperlukan keahlian khusus.
Dari hal diatas, saya sendiri mulai menyadari bahwa saya sering melakukan apa yang disebut dengan confirmatory bias, yaitu memberikan pertanyaan yang hanya memperkuat dugaan saya semata. Jadi, pekerjaan seorang psikolog tentu tidaklah mudah. Bukan hanya dalam interaksi antara klien dengan psikolog. Namun juga bagaimana psikolog mengontrol emosinya sendiri dalam melakukan wawancara, juga seberapa banyak stamina yang harus dipersiapkan untuk mendengarkan klien juga merupakan hal penting karena psikolog juga hanyalah manusia terbatas.


27 Feb 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar