Awal Januari tahun ini, kita mendengar berita menyedihkan tentang meninggalnya seorang mahasiswi akibat loncat dari angkutan umum. Diduga, mahasiswi tersebut meloncat karena merasa takut, akibat sopir angkutan tidak mau berhenti ketika dia minta turun. Kita tentu juga belum lupa berita-berita perkosaan yang terjadi di angkutan umum. Korbannya beragam, ada mahasiswa, karyawati, bahkan ibu rumah tangga. Rupanya Jakarta belum menjadi ruang aman bagi perempuan. Tidak peduli apa profesi perempuan, pakaian seperti apa yang digunakan, kerentanan masih terus menghantui perempuan. Padahal setiap orang berhak atas rasa aman, baik perempuan maupun laki-laki. Tetapi dalam masyarakat kita, masih banyak paradigma yang salah tentang kasus perkosaan. Paradigma-paradigma tersebut menciptakan suatu persepsi yang membuat masyarakat berpikir bahwa perkosaan merupakan hal sepele.
“Bayangkan saja kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga” (Fauzi Bowo, saat itu masih Gubernur DKI Jakarta)
“Soalnya ada yang sengaja, kadang-kadang ada yang sama-sama senang, mengaku diperkosa,” (M. Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan)
“Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.” (Daming Sunusi, Calon Hakim Agung, Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin)
Statement tersebut dapat menimbulkan pengaruh bahwa pemerkosaan merupakan kesalahan yang sepele karena diucapkan oleh para para pejabat juga. Statement tersebut menitikberatkan pada penyebab pemerkosaan adalah perempuan sendiri padahal pelakunya sendiri adalah lelaki. Perempuan tidak benar 100% juga, tetapi baiknya seorang perempuan mencegah sebelum terjadi sesuatu dengan memakai pakaian sesuai pada situasi dan kondisi. Selain itu laki-laki sebaiknya lebih tahu bagaimana cara menghargai perempuan dengan cara yang layak. Jika masyarakat kita dapat melakukan hal tersebut, kasus pemerkosaan pun akan lebih terminimalisir.
27 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar