Pepatah
lama mengatakan, “manusia boleh berencana,
tetapi Tuhan yang menentukan”. Seringkali, jalan hidup akan
menyimpang dari apa yang kita harapkan atau rencanakan, walaupun kita telah
mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mencapai tujuan. Pada saat-saat dimana
kita menemukan diri kita dalam situasi yang tak terduga dan stressful, akan
sangat mudah bagi kita untuk terpuruk di bawah tekanan dan menyerah. Pada
saat-saat inilah kita membutuhkan resiliency.
Apakah
resiliency? Resiliency merupakan kemampuan untuk bangkit kembali dari peristiwa
yang mengguncangkan. Peristiwa yang menyebabkan keguncangan tersebut umumnya
bersifat negatif, dapat berupa rintangan, kegagalan, atau kehilangan; misalnya,
jalanan yang macet saat kita telat ke kantor, usaha bisnis yang tidak sukses
dan bangkrut, dan hilangnya pasangan hidup kita. Peristiwa tersebut juga dapat
bersifat positif, dimana suatu peristiwa yang terlalu menguntungkan tidak
diikuti dengan proses adaptasi yang sesuai, dan justru membawa stres yang berat
bagi kita; misalnya, seseorang yang usaha bisnisnya sukses dan menghasilkan
banyak uang, menghabiskan uang tersebut dengan berfoya-foya dan justru
mengalami kerugian finansial besar. Peristiwa tersebut juga dapat berupa
musibah besar, seperti rumah yang habis terbakar, atau masalah sehari-hari,
seperti listrik yang mati saat sedang mengerjakan tugas dengan deadline yang
dekat.
Peristiwa-perisitiwa
tak terduga tidak dapat dihindari sepanjang hidup kita. Namun, kita dapat
mempersiapkan diri untuk saat-saat tersebut dengan membangun resiliency. Maka,
pentingnya resiliency sebagai suatu karakteristik yang patut dimiliki tidak
dapat dipungkiri; resiliency merupakan "senjata‟ kita dalam melawan rintangan-rintangan hidup.
Untuk
menerapkan konsep resiliency dalam kehidupan sehari-hari, mari kita ambil
contoh kasus yang sering ditemukan, baik di dunia pekerjaan, bisnis, bahkan
perkuliahan. Michael baru saja dipercayakan dengan suatu proyek besar,
kompleks, dan penting, dengan deadline yang cepat. Proyek ini lebih sulit dari
yang biasa Michael tangani dan saat mengerjakannya Michael merasa kewalahan dan
stres.
Bagaimana
Michael, dan kita sendiri, dapat membangun resiliency? Ann Masten, seorang
pakar positive psychology, telah menemukan 3 faktor yang mempengaruhi
resiliency seorang individu; assets (aset-aset), risk factors (faktor- faktor
risiko), dan adaptational process (proses adaptasi).
Assets
merupakan hal-hal yang kita miliki atau yang ada dalam jangkauan kita yang
dapat membantu mengatasi masalah yang kita hadapi. Assets dapat berupa
pengetahuan, pelatihan, dan hubungan-hubungan sosial. Kita dapat meningkatkan
kuantitas dan kualitas assets yang kita miliki dengan memperluas pengetahuan
kita tentang berbagai macam topik; hal ini dapat dilakukan dengan banyak
membaca, menonton TV, mendengar radio, atau bertukar informasi dengan orang
lain. Pengalaman masa lalu juga dapat menjadi bagian dari pelatihan yang kita
miliki; semakin bervariasi pengalaman kita, semakin luas assets kita. Rekan
kerja, teman, atau keluarga kita juga berupa asset; mereka bisa mengetahui,
memiliki, dan melakukan apa yang tidak kita ketahui, miliki, atau mampu
lakukan. Dengan melakukan riset tentang proyek yang ia lakukan, memikirkan
tentang pengalamannya mengerjakan proyek-proyek yang mirip di masa lalu, dan
menanyakan teman-temannya seputar proyek yang ia kerjakan, Michael dapat
meningkatkan asset-nya dan, dengan itu, resiliency-nya.
Kebalikan
dari assets, risk factors adalah segala hal yang menghalangi kemungkinan kita
untuk mengatasi masalah yang kita hadapi. Risk factors dapat berupa psikologis
dan fisik, seperti kecenderungan penyakit jantung atau kepribadian yang cepat
cemas (neurotic); dengan menjaga kesehatan kedua aspek ini, kita dapat
meminimalisir risk factors kita dan meningkatkan resiliency. Michael,
contohnya, dapat melampiaskan dan mengurangi rasa stres dengan berolah raga,
suatu aktivitas yang mendukung kesehatan psikologis dan fisiknya.
Faktor
ketiga yang mempengaruhi resiliency kita adalah adaptational processes.
Resiliency muncul saat kita memiliki keuletan untuk merespon dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang berganti dan menantang; dalam kata lain, resiliency
akan muncul bila kita menerapkan proses adaptasi yang baik. Sikap optimis,
memiliki kepercayaan bahwa rintangan dapat dilalui, mengetahui cara-cara
efektif untuk menangani stres, dan melakukan goal setting yang efektif dapat
membantu Michael, dan kita sendiri, untuk mengembangkan adaptational process
yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar