Rabu, 18 September 2013

What we did in class~ plus my two cents about real-life experience (Adhina Kumala)

kembali ke pembahasan empati. Jadi waktu membahas ini, tiba2 bu Henny menyuruh kami sekelas untuk berpasang2an. Setelah mendapat pasangan, kami disuruh suit. Nah, bagi individu yang menang suit, dia disuruh untuk bercerita mengenai apa saja kepada pasangannya. BUT, there was a twist to it. Pasangannya diperbolehkan untuk melakukan apa saja asalkan tidak memerhatikan individu yang bercerita tersebut. [[ Jadi intinya, A dibolehin nyeloteh apa aja ke B tapi B boleh ngelakuin apa aja tapi A dikacangin aja gitu pas dia lagi cerita]] . Kebetulan pasangan saya Lupita dan dia yang menang suit. Jadi dia mulai cerita duluan. “Oke… I hear you, pit… how can I not?! I’m sitting right in front of you!” haha, instruksinya sih disuruh jangan mendengarkan… tapi… insting manusia… semakin dilarang, malah inginnya melakukan… yahh, denger deh… tapi saya coba mengalihkan perhatian dengan mengambil kertas dan langsung mulai menggambar stick man. Yah, lumayan lah sambil latihan menumpukan konsentrasi. Akan tetapi tetap saja ujung2nya malah samar2 terdengar… (ya, jadi saudari Lupita ini sedang geli-geli basah gara2 seminar proposal… dalam hati: “iya pit, gue juga”). Kemudian, bu Henny menyuruh kami bergantian giliran. Sekarang giliran saya yang berbicara. Saya menyeloteh mengenai acara TV Korea favorit saya. Pada awalnya saya excited untuk bercerita karena saya sangat menyukai acara tersebut. Ketika sudah mengucapkan kalimat pertama, perasaan saya masih fine2 saja. Lama kelamaan yang ada di kepala saya adalah “why should I even bother talking?”. Hanya itu yang ada di dalam pikiran saya, sehingga bikin saya ragu untuk cerita lebih lanjut. Saya juga jadi bingung mau cerita apa. Lama-lama jadi males sendiri. Untung bu Henny langsung menghentikan waktunya dan langsung menyuruh kami semua untuk bebas saling bercerita satu sama lain. Wah, langsung deh satu kelas heboh. Tetapi bu Henny langsung menghentikan kami semua karena kalau diteruskan pasti tidak ada habisnya.
Kemudian bu Henny mengajukan dua pertanyaan:
1. bagaimanakah perasaan kami apabila kami disuruh untuk mengabaikan pasangan kami masing-masing yang sedang bercerita?
2. bagaimanakah perasaan kami ketika diabaikan pasangan ketika kami sedang bercerita?
Untuk pertanyaan nomor 1, secara pribadi, saya tidak merasa bersalah seperti yang mungkin dirasakan oleh beberapa teman lainnya karena itulah instruksi yang diberikan. Saya merasa bahwa pasangan saya aware terhadap hal tersebut dan dapat memahami bahwa itu bukan kehendak saya. Kemudian untuk pertanyaan nomor 2, bagaimana perasaan ketika diabaikan? perasaan saya malas saja. Saya memang jadi malas untuk cerita akan tetapi tidak sampai jadi merasa kesal terhadap lupita karena dia hanya melakukan apa yang harus dilakukan.
Sebenarnya, apabila dalam konteks dunia nyata, saya akan merasa kesal apabila diabaikan. Jujur, hal ini sering terjadi pada saya di rumah. Apa yang terjadi? mamah saya merupakan blackberry-addict. Salah satu hal yang saya sesali selama saya hidup adalah memperkenalkan mamah saya dengan gadget ‘sialan’ tersebut. Kalau saya sedang bercerita mengenai sesuatu ke mamah saya, tiba2 dia bisa langsung tertawa terbahak2 meskipun cerita saya ini tidak ada lucu2nya. Eh… ternyata matanya sedang menuju ke layar blackberry. Sebenarnya, dia merespon sih kalau saya cerita tapi kan tetap saja perhatiannya tidak khusus tertumpu pada saya. Matanya juga terus mengarah ke blackberry. Lebih mengesalkan lagi apabila dia tiba2 memotong pembicaraan saya dan malah dia yang ganti bercerita mengenai guyonan yang sedang terjadi di bb group teman2 SMA-nya dulu. “Astaga… ini emak-emak jaman sekarang pada begini semua ato cuma emak gue doang ya?” pikir saya. Suatu hari saya sudah tidak dapat menahan ‘amarah’ saya lagi, sebelum ngomel2 ke mamah saya, saya bertanya dulu kepadanya “Mah, enaknya pake BB apaan sih?”. Kemudian dia menjawab “kan asik dek ngobrol2 sama temen… ketemu temen2 lama juga lagi.. trus orang2 di bb suka ngirim yang lucu2 lagi”. Yah… iya juga sih, toh mamah saya nggak ada kerjaan kalau saya dan kakak saya tidak ada di rumah. Kasian juga.. nggak jadi ngomel deh. Kemudian suatu hari ketika saya sedang mengerok mamah saya, saya bercerita mengenai analisis mimpi yang diterangkan di kelas psikologi konseling. Eh sedang bercerita, tiba2 mamah saya langsung membalikkan badan dan malah bertanya “dek, profpic-nya mamah bagus nggak dek?”. “Astagaaa… jadi dari tadi mamah ngeliatin BB!” pikir saya. “Bagus”, saya jawab singkat. Kemudian saya langsung siap2 untuk mengomel.
“Mah… tadi aku cerita apa?”
“Dia itu kangen banget sama bapaknya yang udah meninggal mangkanya mimpinya gitu terus dek”
(Saya diam sejenak. “Lho, kok bener jawaban dia??” tapi saya menguatkan niat saya kembali untuk menghadapi mamah saya agar dia berhenti dengan bb-nya tersebut)
“dia emang mimpi apaan?”
“dikejar-kejar… hehehe”
yessss, dia salah! hahaha… mulai dari situ saya langsung mengomel tentang bagaimana mamah saya selalu fokus ke bb-nya ketika saya berbicara dan saya ingin dia lebih memperhatikan saya apabila saya berbicara. I’m glad I did it because she’s changed ever since then. Although sometimes she’s back to her old habit, it’s not as often as before. It just felt great to have someone to listen to your stories.

17 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar