Kamis, 19 September 2013

MAKING A BIG DECISION (Gayatri Ardhinindya)

Seiring berjalannya waktu, seseorang akan beranjak dewasa dan akan mempunyai keluarga sendiri. Maka keputusan menikah, ataupun keputusan bercerai adalah sesuatu keputusan yang sangat besar dampaknya, entah itu positif ataupun negatif. Namun saya akan membahas tentang keputusan menikah terlebih dahulu.
Dalam teorinya, menikah adalah kebutuhan dasar setiap umat manusia untuk memperoleh dan membesarkan anak, pemenuhan kedekatan fisik dan emosional yang sangat berhubungan dengan kebahagiaan melebihi pekerjaan, persahabatan, atau apapun. Tetapi dalam pelaksanaannya, menikah adalah suatu awal dari serangkaian masalah yang akan dihadapi oleh dua orang individu yang pasti berbeda, dimana mereka disatukan dan diikat oleh hukum Negara dan agama.
Kenapa saya sebut serangkaian masalah? Karena pada dasarnya, setiap orang menikah, pasti berbeda-beda alasannya. Ada yang karena dijodohkan (entah politik atau kepentingan jabatan perusahaan/warisan), ada juga yang memang di dasari saling mencintai satu sama lain, ada yang di cocok-cocokkan karena saling memberi keuntungan (materiil mauupun imateriil), ada yang telah merasa siap menikah karena telah berpacaran selama bertahun-tahun dan telah menjalani kohabitasi (kumpul kebo bahasa bekennya), dan juga ada yang karena kecelakaan (hamil sebelum menikah). Nah, dari setiap alasan menikah itu, pasti berbeda juga masalah yang akan dihadapi ketika mereka menikah. Entah kebiasaannya yang belum 24 jam di ketahui, entah karena kaget dengan komitmen dan janji yang harus di jalani, entah karena mertua atau ipar yang terlalu dekat dan ikut campur, ataupun karena ketidaksiapan ekonomi dan juga mental untuk membina sebuah keluarga dan menjadi orangtua.
Maka, untuk para kaum muda, berhati-hatilah dalam memilih pasangan. Manusia memang tidak ada yang sempurna. Tetapi pilihlah yang terbaik, dari yang paling baik menurut anda. Carilah yang paling bisa di tolerir kekurangannya menurut anda. Tetapi saran saya ini, mungkin tidak sepenuhnya benar. Karena di Indonesia masih menganut paham kolektivisme, bukan individualism seperti di barat. Yang berarti keluarga harus tau bibit-bebet-bobot-nya dan harus menunggu persetujuan keluarga besar juga, karena banyaknya adat-adat di Indonesia yang masih kental nuansa tradisionalnya dalam pemikiran-pemikiran dan juga aturan sistem keluarga.
Nah kemungkinan besar, akibat ketidakcocokan keluarga, mungkin lebih banyak masalah dan percekcokan yang akan di alami pasangan yang sudah menikah. Itu bisa menjadi salah satu faktor mengapa pasangan banyak yang bercerai. Faktor lainnya adalah bosan, macetnya komunikasi, kekerasan dalam rumah tangga, masalah seksualitas, ada orang ketiga dan juga masalah ekonomi. Tetapi semua itu, sebenarnya bisa di atasi, dengan cara mengesampingkan ego pribadi, mencari pelampiasan atau teman curhat yang tepat, juga saling terbuka antar pasangan, agar keduanya bisa mengetahui apa yang menjadi keinginan masing-masing, sehingga mereka merasa nyaman bersama keluarganya, mengingat anak-anak yang masih tumbuh dan kembang.
Sebenarnya, perceraian tidak perlu terjadi apabila kedua pasangan mempunyai wawasan yang cukup tentang apa arti pernikahan dan keluarga, juga apa dampak perceraian bagi diri mereka dan anak-anak. Maka sekali lagi saya tekankan, wanita maupun pria, hendaknya siap mental sebelum menikah dan berkeluarga. Karena, umur yang lebih tua pun tidak menjamin kematangan dan kesiapan mental seseorang untuk menikah.
Dampak perceraian bagi wanita, adalah penyesalan, sedih, marah, dan sebagainya, tetapi semua perasaan itu tidak dapat mereka bagi kepada anaknya. Sehingga yang terjadi adalah penyangkalan. Pada umumnya wanita dapat kembali pulih setelah 3-4 tahun perceraian, tetapi ada juga yang sampai 10 tahun, itu semua tergantung bagaimana mereka mengisi kegiatan mereka setelah bercerai. Apakah banyak interaksi sosial dan kegiatan positif lainnya, atau tidak. Tetapi bagi wanita yang berkarir, ataupun bekerja yang non tradisonal, mereka lebih cepat survive karena mereka optimis dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, juga merasa aman secara finansial (tidak perlu berlebih, tetapi cukup) untuk hidup mereka dan anak mereka kedepannya.
Terakhir saran saya bagi para perempuan di luar sana, tuntutlah ilmu setinggi-tingginya, untuk bekal kalian hidup ataupun juga untuk melahirkan generasi anak-anak yang pandai. Tetapi semua ilmu pengetahuan dan teoritis, tidak bisa di bakukan begitu saja, tetaplah ingat, bahwa pengalaman hidup adalah ilmu yang paling berharga.

18 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar