Seiring
berjalannya waktu, seseorang akan beranjak dewasa dan akan mempunyai keluarga
sendiri. Maka keputusan menikah, ataupun keputusan bercerai adalah sesuatu
keputusan yang sangat besar dampaknya, entah itu positif ataupun negatif. Namun
saya akan membahas tentang keputusan menikah terlebih dahulu.
Dalam
teorinya, menikah adalah kebutuhan dasar setiap umat manusia untuk memperoleh
dan membesarkan anak, pemenuhan kedekatan fisik dan emosional yang sangat
berhubungan dengan kebahagiaan melebihi pekerjaan, persahabatan, atau apapun.
Tetapi dalam pelaksanaannya, menikah adalah suatu awal dari serangkaian masalah
yang akan dihadapi oleh dua orang individu yang pasti berbeda, dimana mereka
disatukan dan diikat oleh hukum Negara dan agama.
Kenapa
saya sebut serangkaian masalah? Karena pada dasarnya, setiap orang menikah,
pasti berbeda-beda alasannya. Ada yang karena dijodohkan (entah politik atau
kepentingan jabatan perusahaan/warisan), ada juga yang memang di dasari saling
mencintai satu sama lain, ada yang di cocok-cocokkan karena saling memberi
keuntungan (materiil mauupun imateriil), ada yang telah merasa siap menikah
karena telah berpacaran selama bertahun-tahun dan telah menjalani kohabitasi
(kumpul kebo bahasa bekennya), dan juga ada yang karena kecelakaan (hamil
sebelum menikah). Nah, dari setiap alasan menikah itu, pasti berbeda juga
masalah yang akan dihadapi ketika mereka menikah. Entah kebiasaannya yang belum
24 jam di ketahui, entah karena kaget dengan komitmen dan janji yang harus di
jalani, entah karena mertua atau ipar yang terlalu dekat dan ikut campur, ataupun
karena ketidaksiapan ekonomi dan juga mental untuk membina sebuah keluarga dan
menjadi orangtua.
Maka,
untuk para kaum muda, berhati-hatilah dalam memilih pasangan. Manusia memang
tidak ada yang sempurna. Tetapi pilihlah yang terbaik, dari yang paling baik
menurut anda. Carilah yang paling bisa di tolerir kekurangannya menurut anda.
Tetapi saran saya ini, mungkin tidak sepenuhnya benar. Karena di Indonesia
masih menganut paham kolektivisme, bukan individualism seperti di barat. Yang
berarti keluarga harus tau bibit-bebet-bobot-nya dan harus menunggu persetujuan
keluarga besar juga, karena banyaknya adat-adat di Indonesia yang masih kental
nuansa tradisionalnya dalam pemikiran-pemikiran dan juga aturan sistem
keluarga.
Nah
kemungkinan besar, akibat ketidakcocokan keluarga, mungkin lebih banyak masalah
dan percekcokan yang akan di alami pasangan yang sudah menikah. Itu bisa
menjadi salah satu faktor mengapa pasangan banyak yang bercerai. Faktor lainnya
adalah bosan, macetnya komunikasi, kekerasan dalam rumah tangga, masalah
seksualitas, ada orang ketiga dan juga masalah ekonomi. Tetapi semua itu,
sebenarnya bisa di atasi, dengan cara mengesampingkan ego pribadi, mencari
pelampiasan atau teman curhat yang tepat, juga saling terbuka antar pasangan,
agar keduanya bisa mengetahui apa yang menjadi keinginan masing-masing,
sehingga mereka merasa nyaman bersama keluarganya, mengingat anak-anak yang
masih tumbuh dan kembang.
Sebenarnya,
perceraian tidak perlu terjadi apabila kedua pasangan mempunyai wawasan yang
cukup tentang apa arti pernikahan dan keluarga, juga apa dampak perceraian bagi
diri mereka dan anak-anak. Maka sekali lagi saya tekankan, wanita maupun pria,
hendaknya siap mental sebelum menikah dan berkeluarga. Karena, umur yang lebih
tua pun tidak menjamin kematangan dan kesiapan mental seseorang untuk menikah.
Dampak
perceraian bagi wanita, adalah penyesalan, sedih, marah, dan sebagainya, tetapi
semua perasaan itu tidak dapat mereka bagi kepada anaknya. Sehingga yang
terjadi adalah penyangkalan. Pada umumnya wanita dapat kembali pulih setelah
3-4 tahun perceraian, tetapi ada juga yang sampai 10 tahun, itu semua
tergantung bagaimana mereka mengisi kegiatan mereka setelah bercerai. Apakah
banyak interaksi sosial dan kegiatan positif lainnya, atau tidak. Tetapi bagi
wanita yang berkarir, ataupun bekerja yang non tradisonal, mereka lebih cepat survive karena mereka optimis dan
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi, juga merasa aman secara finansial
(tidak perlu berlebih, tetapi cukup) untuk hidup mereka dan anak mereka
kedepannya.
Terakhir
saran saya bagi para perempuan di luar sana, tuntutlah ilmu setinggi-tingginya,
untuk bekal kalian hidup ataupun juga untuk melahirkan generasi anak-anak yang
pandai. Tetapi semua ilmu pengetahuan dan teoritis, tidak bisa di bakukan
begitu saja, tetaplah ingat, bahwa pengalaman hidup adalah ilmu yang paling
berharga.18 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar