Psychological
capital berasal dari dua kata, yaitu psychological yang berarti psikologis dan
capital yang berarti modal. Kalau dua kata ini digabung, akan membentuk suatu
kosakata, yaitu modal psikologis. Modal psikologis tersebutlah yang dapat
mengembangkan diri seseorang. Kabar baiknya, psychological capital merupakan
sebuh state yang dapat dilatih dan dimiliki semua orang. Psychological capital
terdiri dari empat poin penting, yaitu self-efficacy, optimism, hope, dan
resiliency. Ketika bergabung menjadi satu, keempat poin tersebut memiliki
hubungan yang positif dengan perilaku organisasi yang baik (Luthans, 2011).
Poin
pertama adalah self-efficacy. Self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa
dirinya sendiri dapat menyelesaikan tugas yang spesifik dengan baik dalam suatu
konteks tertentu (Stajkovic dan Luthans, 2011). Jadi, apabila seorang mahasiswa
merasa yakin bahwa dirinya mampu membawakan suatu presentasi di depan kelas
dengan baik dan mudah dipahami, itu menandakan bahwa mahasiswa tersebut
memiliki self-efficacy yang baik.
Poin
kedua adalah optimism. Seseorang yang optimis memiliki ekspektasi tentang hal
yang baik dalam menjalani hidup. Orang-orang tersebut mengganggap kondisi yang
buruk sebagai pengaruh dari lingkungan –eksternal-, bersifat sementara
–unstable-, dan bukan berarti
dengan adanya suatu kejadian buruk, seluruh kehidupannya pun menjadi buruk –spesific- (Seligman dalam Luthans, 2011). Seorang siswa
yang optimis ketika gagal dalam ujian fisika karena kurang memahami penjelasan
gurunya, tidak akan sepenuhnya menyalahkan dirinya sendiri. Ia akan menganggap
kegagalannya sebagai pengaruh dari materi pelajarannya yang memang tidak mudah
(eksternal), menganggap kegagalannya hanya pada satu ujian saja dan masih ada
kesempatan lain untuk memperbaikinya (unstable), dan tidak menganggap dunia
runtuh karena satu kegagalan tersebut (spesific).
Poin
ketiga adalah hope. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hope
berarti harapan. Berkaitan dengan arti tersebut, seseorang yang hopeful dalam
pembahasan ini berarti seseorang yang memiliki tujuan/harapan dan tahu cara
untuk mencapai tujuan/harapan tersebut (Snyder dalam Luthans, 2011). Sebagai
contoh, apabila seorang siswa memiliki tujuan untuk lulus Ujian Nasional (UN)
dengan nilai yang memuaskan, siswa tersebut akan menyusun cara-cara untuk
mencapainya, misalnya dengan tekun belajar, membeli buku kumpulan soal UN
tahun-tahun sebelumnya, dan mengikuti bimbingan belajar.
Poin
keempat adalah resiliency, yaitu kondisi ketika seseorang dapat bangkit kembali
dari kondisi yang sangat buruk atau kondisi yang sangat baik (Luthans, 2011).
Jadi, kehidupan yang dapat membuat seseorang berkembang adalah kehidupan yang
juga ada liku-likunya (tidak terlalu positif dan tidak terlalu negatif).
Sebagai contoh, seorang siswa yang sangat mencintai seni, tetapi harus
kehilangan kedua tangannya karena terkena suatu bencana kebakaran pasti merasa
terpukul dengan kondisinya. Akan tetapi, ketika siswa tersebut bangkit kembali
dan berusaha melatih diri melukis dengan menggunakan mulutnya, menyatakan bahwa
dirinya termasuk pribadi yang resilien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar