Kecenderungan
individu adalah bertanya-tanya mengenai apa yang salah dengan sesuatu
kejadian/hal spesifik, tanpa melihat apa yang benar pada hal spesifik tersebut.
Hal ini membuat ketimpangan, sehingga untuk mengatasinya, dibuatlah konsep
psikologi positif. Pada PIO, konsep dan teori mengenai psikologi positif
digunakan untuk melihat konstruk apa yang dapat meningkatkan produktivitas,
motivasi kerja, work engagement, job satisfaction, dll dalam diri pekerja.
Beberapa konstruk yang berkaitan adalah self-efficacy, optimism, hope, dan
resiliency. Pada bagian ini, saya lebih berfokus untuk membahas hubungan antara
optimism dengan performance kerja.
Ada dua
sudut pandang mengenai konsep optimism. Pertama, optimisme didefinisikan
sebagai keyakinan yang menggiring dalam meraih harapan yang telah kita
tentukan. Dalam hal ini, optimism terjadi karena individu expect good thing to
happen with themselves. Pada kehidupan sehari-hari, hal pertama yang ‘seharusnya’ dilakukan oleh tiap individu
beragama yang memiliki iman adalah berdoa. Dalam doa, yang kita ucapkan adalah
rasa syukur atas nafas pagi yang baru, dan harapan kita untuk menjalani hari
dengan lancar dan baik. Dengan melakukan doa sebelum menjalani hari, hal
tersebut menjadi tanda bahwa kita optimis dalam menjalani keseharian, karena
kita berekspektasi dan berharap bahwa hari kita akan baik dan lancar.
Pada
bidang industri, seorang pekerja dapat memiliki tingkat optimisme yang tinggi
dalam menyelesaikan tugasnya. Hal tersebut dapat dikarenakan mereka
menginginkan hasil kerjanya dapat dibanggakan oleh atasan, tidak lembur bekerja
hingga larut malam, menunjukkan potensi kerjanya dalam kaitannya untuk meminta
promosi kerja, dan sebagainya. Ketika seorang pekerja memiliki tingkat
optimisme yang rendah—pesimis, kecenderungannya
adalah mereka akan berpikir bahwa mereka tidak mampu mengerjakan tugas yang
telah diberikan, bergantung kepada orang lain, dan kegiatan perform dalam
kinerja menurun. Dapat dilihat bahwa memang benar, optimisme berpengaruh besar
terhadap performance kerja seorang karyawan.
Konsep
kedua, bahwa persepsi mempengaruhi tingkat optimisme seseorang. Hasil dari
persepsi memberikan perbedaan sudut pandang dalam melihat sebuah kejadian.
Ketika terjadi suatu kejadian buruk, orang dengan kecenderungan pesimis akan
menyalahkan dirinya sendiri, berpikir bahwa kejadian buruk tersebut akan
berlangsung berlarut-larut, dan berpengaruh terhadap setiap aspek dalam
kehidupannya, sehingga tidak ada kinerja atau potensi yang dikeluarkan. Pada
kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan individu yang kecenderungannya
menyalahkan dirinya sendiri dan menganggap dunia runtuh apabila terjadi suatu
kejadian yang buruk. Misalnya, anak SMA yang bunuh diri dengan lompat ke kali
Cisadane, Tangerang, karena tidak lulus ujian nasional. Sudut pandang yang
digunakan pelaku bunuh diri ini adalah pesimisme, walaupun sebenarnya ada pilhan-pilihan
lain yang dapat diambil selain bunuh diri, misalnya mengambil paket C ujian
nasional.
Sebaliknya,
orang yang memandang kejadian buruk sebagai hal yang biasa, terjadinya hanya
sesaat dan dalam hal-hal spesifik, melihat kesulitan sebagai sebuah tantangan
dalam mencapai suatu prestasi. Sehingga, perilaku yang muncul adalah semakin
termotivasi dan optimis dalam mengejar prestasi. Pada konsep kedua ini, sikap
optimisme dan pesimisme yang muncul akibat perbedaan persepsi ada pengaruhnya
terhadap tingkat kemampuan resiliensi yang berbeda antar tiap individu. Pada
kehidupan nyata, kita dapat menemukan sikap optimisme pada diri sosok
entrepreneur Bob Sadino. Beliau pernah sangat amat bangkrut, tetapi pada
kenyataannya beliau tetap optimis, terus perform dan menjalankan usahanya,
sehingga bisa sukses seperti sekarang ini.
Pada
bidang industri, perbedaan persepsi terhadap sebuah kejadian juga mempengaruhi
tingkat optimisme pekerja. Ketika dimarahi oleh atasan karena pekerjaan yang
dibuat kurang benar, orang dengan kecenderungan pesimis akan menyalahkan
dirinya, menganggap dirinya kurang mampu, sedih berkelanjutan, menimbulkan
stress kerja, dan bahkan ekstrimnya meminta resign. Orang yang mengalami hal
tersebut diatas pastilah menurunkan performance kerjanya, karena fokusnya
terganggu untuk selalu memikirkan omelan atasannya tersebut. Tetapi lain halnya
dengan orang yang optimisnya tinggi. Ketika dimarahi karena pekerjaannya kurang
benar, orang dengan kecenderungan optimis akan percaya diri bahwa dirinya dapat
bekerja lebih baik lagi dengan mempelajari kesalahannya, membenarkan, dan tidak
mengulanginya kembali, sehingga performance kerjanya meningkat.
Pada
pembahasan diatas dapat kita lihat bahwa memang benar, kedua konsep optimisme
mempengaruhi kinerja dan performance kerja secara signifikan. Diharapkan dari
pembahasan ini, karyawan pada bidang industri lebih dapat mengusahakan untuk
menumbuhkan optimisme dalam diri sehingga hasil dari kinerja dapat tersalurkan
secara maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar