Rabu, 07 November 2012

Perempuan dan Kesehatan Mental (Maulidhya Pramono)


Perempuan dan Kesehatan Mental

Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Dengan adanya orang-orang disekitar, membuat manusia merasa lengkap secara jasmani dan rohani. Satu sama lain saling mendukung, menciptakan harmonisasi kehidupan. Bagi wanita yang melewati berbagai fase kehidupan, dukungan orang-orang terdekat sangatlah penting. Dengan adanya dukungan wanita dapat bertahan menghadapi goncangan ketidakstabilan emosi dan juga tekanan sosial lainnya.

Kata cantik untuk wanita sering berkaitan erat dengan bentuk tubuh. Bentuk tubuh yang ideal menjadi dambaan setiap wanita. Menurut saya bertubuh ideal berarti memiliki badan yan sehat secara jasmani dan rohani. Ketika seorang wanita dapat sehat secara jasmani dan rohani maka langsung akan terpancar dari wajahnya kecantikan yang alami. Kecantikan yang seimbang. Namun ada beberapa wanita yang berfikir bahwa cantik adalah memiliki tubuh “kutilang” atau kurus tinggi langsing, ada beberapa cara untuk mendapatkan “kutilang” tersebut termasuk dengan cara ekstrem seperti memuntahkan makanan atau diet ketat. Mereka menyiksa diri mereka sedemikian rupa untuk mendapatkan postur tubuh yang kurus bagaikan susunan tulang yang terbungkus dengan kulit yang suatu saat dapat runtuh tertiup angin. Tapi apakah itu sehat? Tentu tidak. Penderita Bulimia dan Anoreksia akan memiliki daya tahan tubuh yang menurun, jangankan cantik, mereka secara jasmani dan rohani dapat dikatakan tidak sehat. Walaupun sangat sulit untuk menyadari bahwa ada persepsi yang kurang tepat dari wanita tersebut mengenai kecantikan, namun peran orang disekitar sangat berpengaruh untuk dapat membangkitkan semangat hidup dan kepercayaan diri wanita tersebut.

Salah satu fase yang riskan mengganggu kesehatan mental seorang wanita adalah saat ia menjadi seorang ibu. Hamil, melahirkan, dan akhirnya memiliki anugrah yang dikaruniai tuhan berupa seorang anak memerlukan persiapan yang matang. Bayi bukanlah seperti boneka yang bisa kita perlakukan sesuka hati bayi harus dirawat dan diperhatikan perkembangannya. Merawat bayi bukan hal sepele, bagi ibu-ibu muda yang baru memiliki anak, stres pasca melahirkan sangat mungkin terjadi. Stres pasca persalinan merupakan salah satu bentuk dari tekanan emosional menyerang 50%-80% ibu-ibu tersebut, menurut penelitian Harding yang dikutip dalam penelitian Oktavia & Basri tahun 2002 mengatakan, ibu-ibu yang baru saja melahirkan sangat rentan terhadap berbagai gangguan emosional. Gangguan emosional yang terjadi pada wanita pasca persalinan biasa disebut post partum blues. Gangguan ini juga sering disebut dengan baby blues. Umumnya gangguan ini terjadi pada minggu-minggu awal dari kelahiran dan gejalanya ditandai dengan kondisi emosi yang tidak stabil seperti mudah marah, sering merasa sedih, dan mudah tersinggung.

Dikondisi seperti ini peran orang-orang sekitar terutama suami sangat berpengaruh untuk menghindari adanya ganguan emosional pasca melahirkan. Para suami harus memberikan dukungan secara moril dan materil kepada istri mereka. Saat ini dengan berkembangnya zaman, para suami yang makin kreatif dapat berbagi pengalaman melalui akun Twitter @ID_AyahASI yang hadir sejak 27 September 2011, para pria punya wadah untuk berbagi pengalaman juga pengetahuan seputar ASI dan bagaimana menjalankan peran terbaik sebagai suami dan ayah. Dikutip melalui Kompas.com komunitas Ayah ASI mengatakan bahwa mereka menyadari pentingnya peran ayah dalam proses pemberian ASI termasuk sejak kehamilan ibu, melahirkan dan pengasuhan anak. Banyak ayah yang sebenarnya peduli namun tak tahu cara menunjukkannya atau melakukan tindakan apa untuk memberikan dukungan tepat kepada istri. Dengan adanya dukungan dari suami, para ibu yang baru saja melahirkan dapat mengontrol emosi mereka sehingga dapat menjalani proses menjadi ibu yang sejahtera secara mental dan emosional.

30 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar