Minggu, 25 November 2012

Berani Berkata “TIDAK” (Imelda Victoria)


Asal mula adanya kekerasan adalah adanya agresi pada setiap manusia. Keinginan untuk melindungi diri, mempertahankan diri, dan menunjukkan kekuasaan atau kekuatan (power) merupakan hal-hal yang menyebabkan adanya penyaluran agresi seseorang kepada orang lain. Jelas bahwa sasaran penyaluran agresi adalah individu yang lebih lemah dari individu pemilik agresi. Apabila individu tersebut menyalurkan agresinya kepada orang yang memiliki power yang lebih kuat, maka mustahil agresi yang dimilikinya dapat disalurkan atau dilepaskan. Maka dari itu, perempuan dan anak-anak adalah sasaran penyaluran agresi yang tepat bagi mereka yang memiliki agresi yang kuat dan tidak terkendalikan.

Laki-laki digambarkan sebagai sosok yang lebih kuat. Walaupun sebagai notabene, masih terdapat beberapa laki-laki yang lebih kecil atau  lebih lemah daripada perempuan seumurnya. Akan tetapi bukan berarti hal tersebut menutup kemungkinan bahwa laki-laki kecil beragresi tinggi gagal untuk menyalurkan agresinya pada perempuan. Anak-anak yang jelas tubuhnya masih dalam tahap perkembangan dan terlebih lagi anak tersebut adalah anak perempuan, maka mereka akan menjadi sasaran yang tepat. Kekerasan pada anak umumnya berupa perbudakkan, baik perbudakkan untuk bekerja maupun menjadi pelayan seksual. Akan tetapi, di Indonesia, perbudakkan anak perempuan sebagai pelayan seksual dinilai menghasilkan uang yang lebih dibandingkan perbudakkan anak perempuan atau laki-laki di pabrik, dsb. Maka dari itu jenis perbudakkan ini menjadi semakin marak. Selain untuk mencari uang, mereka juga digunakan sebagai sasaran penyaluran agresi yang berupa kekerasan seksual. Berdasarkan informasi yang saya miliki, anak perempuan yang menjadi sasaran kekerasan ini adalah mereka yang baru mengalami menarche atau mereka yang belum puber. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pengetahuan mengenai seks mereka dan mudahnya mereka untuk percaya dengan orang-orang dewasa. Solusi yang dibahas dalam kelas psikologi perempuan pada senin lalu, adalah pemberian sex education dini. Mengingat pembahasan sex menjadi hal yang cukup taboo di Indonesia, solusi ini menjadi agak sulit untuk ditegakkan. Meskipun sulit, bukan berarti solusi ini tidak mungkin untuk ditegakkan. Sex education dapat dilakukan apabila pendidik dapat memahami tingkatan pengetahuan seks yang diperlukan seorang anak.

Kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada istri adalah bentuk penyaluran agresi yang dimiliki suami kepada istri mereka, yang kekuasaannya dalam rumah tangga berada di bawah sang suami. Kekerasan ini adalah kekerasan yang dilakukan dengan membatasi hak-hak istri atau memperbudak istri mereka (misalkan memanfaatkan istri sebagai sarana pencari uang dan uang hasil kerjanya sepenuhnya menjadi hak suami). Kebanyakan perempuan yang mengalami KDRT seringkali sulit untuk mengatasi masalahnya ini karena adanya ikatan pernikahan antara mereka dengan si pelaku kekerasan. Ikatan pernikahan tidak mudah untuk dilepaskan karena melibatkan janji, komitmen, dan tanggung jawab antar individu. Terlebih lagi dalam beberapa agama, ada yang melarang penceraian. Selain penceraian sebagai solusi untuk menghentikan KDRT, solusi lain seperti pisah rumah juga digunakan oleh beberapa istri yang menjadi korban KDRT. Akan tetapi hal yang menjadi masalah dalam menggunakan solusi pisah rumah adalah hubungan suami-istri yang masih resmi secara tertulis. Suami berhak untuk meminta istrinya tinggal bersama kembali.

Baik dalam kasus kekerasan pada anak-anak maupun rumah tangga, solusi terbaik untuk menghindari kekerasan adalah dengan mengatakan “TIDAK” secara berani. Demikian yang dinyatakan oleh Ibu Henny dalam kelas psikologi perempuan senin kemarin. Ya, kekerasan tidak bisa dibalas dengan kekerasan. Kekerasan juga tidak bisa dihindarkan dengan sepenuhnya menggunakan bantuan orang lain. Untuk menghentikan kekerasan yang berlanjut kita harus berani untuk berkata “TIDAK”. Sex education yang tepat untuk anak-anak perempuan adalah membuat mereka untuk berani mengatakan “Tidak” kepada orang-orang yang hendak mempermainkan bagian penting tubuhnya. Karena dengan berkata “tidak” maka keberhargaan akan bagian tubuh tersebut menjadi lebih disadari oleh anak tersebut. Selain itu untuk istri yang menjadi korban KDRT, mengatakan “tidak” untuk suami yang memintanya kembali dapat menghindarkan mereka dari terulangnya kejadian yang sama. Cinta tidak bisa diatasnamakan untuk kasus ini. Karena seperti yang dikatakan Ibu Henny bahwa orang yang mencintai kita tidak akan pernah sekalipun menghempaskan tangannya kepada kita. Cinta adalah SALING MENGASIHI dan bukan SALING MEMILIKI. Maka dari itu kita harus berani untuk berkata “TIDAK” kepada mereka yang tidak mencintai kita.

25 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar