Minggu, 25 November 2012

KDRT dan Kekerasan Seksual pada Anak (Leni Kopen)


     Pemantauan Komnas Perempuan tahun 2011 mencatat 60% korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengalami kriminalisasi. Beberapa diantaranya dikriminalkan melalui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) (http://www.komnasperempuan.or.id/2012/07/pentingnya-terobosan-hukum-dan-perlindungan-korban-di-pengadilan-nasional/). Meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan, bisa dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya meningkatnya kesadaran perempuan untuk memperjuangkan hak/keadilan. Adanya sosialisasi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang semakin meluas, sangat memungkinkan masyarakat semakin mudah mengakses informasi dan memperkuat kesadaran masyarakat bahwa kasus KDRT penting untuk dilaporkan bahkan bisa diproses secara hukum. Namun pada kenyataannya, banyak warga tidak berani melaporkannya karena beranggapan itu masalah pribadi dan masalah keluarga saja yang perlu tahu.

     Menurut UU nomor 23 tahun 2004 tentang pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga, Bab I pasal 1, menyebutkan bahwa Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dalam lingkup rumah tangga. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan fisik (seperti memukul, menendang, yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh seseorang hingga menyebabkan kematian), kekerasan verbal (seperti menghina, berkata kasar dan kotor), dan kekerasan seksual (seperti melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual). Selain kekerasan tersebut, kekerasan secara ekonomi dan mental pun termasuk dalam KDRT. Contohnya, seorang istri yang dianggap sebagai 'mesin pencetak uang' oleh mertuanya (laki-laki) dengan menjaga toko sepanjang hari tanpa libur dan tanpa digaji. Kekerasan mental yang dialami oleh istri berupa tidak adanya waktu untuk dirinya sendiri sehingga ia merasa tidak percaya diri, rendah diri, tertekan, dan lelah secara mental.

     Gejala-gejala yang dialami seseorang yang mengalami kekerasan terlihat dari merasa rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif tanpa penyebab yang jelas. Secara keseluruhan mengatakan bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan. Apa saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial, persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan, budaya bahwa istri bergantung pada suami khususnya ekonomi, budaya yang menganggap laki-laki superior dan perempuan inferior, dan pernah melakukan mengalami kekerasan serta modeling kepada orangtua yang juga melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, kita bisa melihat kekerasan yang terjadi diawali dari masa pacaran. Jika sejak pacaran saja Anda sering menerima perlakuan kekerasan seperti dihina, direndahkan, pemukulan, atau diberikan batasan-batasan dengan aturan yang tidak masuk akal hanya karena kecemburuan, harus selalu dibayarin ketika makan, dan bahkan percobaan kekerasan seksual, sebaiknya Anda pikirkan baik-baik untuk melanjutkan hubungan Anda. Kalau pacaran saja, sudah berani melakukan kekerasan, bagaimana nanti jika sudah menikah? Lebih baik, putuskan saja dan cari yang lebih baik dari orang tersebut. Tanpa mereka pun, Anda bisa hidup sendiri dan tenang. Jangan hanya menerima dan pasrah dengan keadaan karena cinta. Kalau dipukuli terus, itu namanya cinta? Pikirkan baik-baik tindakan Anda.

     Kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terjadi pada istri atau suami, tetapi anak pun sering menjadi korban kekerasan. Di Indonesia, kasus yang banyak terjadi kekerasan seksual pada anak. Kekerasan seksual anak dalam rumah tangga adalah fakta yang berat untuk diungkap. Kekerasan seksual pada anak jarang melaporkan kasus yang menimpanya karena dianggap sebagai aib keluarga. Umumnya pelaku kekerasan tersebut adalah orang terdekat dari korban pelecehan seksual seperti ayah, kakak kandung, paman, atau ayah tiri. Akibatnya, sudah menjadi tradisi bila menimpa pada keluarga mereka harus dirahasiakan. Pasalnya, sudah terpolakan dalam pemahaman warga menjadi aib keluarga yang tidak perlu diketahui oleh orang lain dan keluarga harus menjaga baik-baik rahasia tersebut agar tidak membawa nama buruk keluarga. Selain itu, kebanyakan korban kekerasan tersebut tidak mengetahui harus melapor kemana dan akhir setiap kasus yang menimpa mereka hanya mengendap tanpa ada proses hukum yang berkelanjutan lalu hilang tanpa berbekas. Hal ini yang perlu diluruskan, sebagai kaum perempuan, kita harus berani mengungkapkan tindak kekerasan yang umumnya banyak terjadi pada perempuan. Kita tidak boleh hanya diam dan menerima saja perbuatan yang termasuk dalam pelecehan seksual walaupun itu masih dalam anggota keluarga. Setiap kekerasan pada perempuan dan anak merupakan tindak pidana dan memiliki dasar hukum. Pengungkapan fakta kekerasan seksual tersebut dianggap menghalangi masa depan anak. Anak-anak merupakan aset masa depan yang harus diselamatkan dari kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual dalam rumah tangga.

     Dari hasil advokasi dan pendataan yang dilakukan oleh LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum APIK) kurun waktu 2010-2012 telah menemukan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak mencapai 40 kasus. Semua kasus tersebut yang menjadi korban anak-anak yang masih dibawah umur. Pertanyaannya adalah mengapa tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia begitu marak? Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan, secara umum disebabkan oleh stres dalam keluarga. Stres yang  bisa dari gangguan jiwa (psikosis atau neurosa) atau orangtua sebagai korban kekerasan di masa lalu. Bentuk kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Kekerasan seksual langsung misalnya meraba atau memijat alat genital tubuh seperti payudara atau pinggul, adanya kontak mulut dan buah dada, dan lain sebagainya. Adapun cara kekerasan seksual secara tidak langsung yaitu seperti eksibisionisme atau pornografi pada anak seperti memotret atau merekam berbagai bentuk kegiatan seksual pada bagian tubuh anak. Tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan seringkali terjadi pada suatu saat di mana pelaku lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak dan biasanya terdapat bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan bentuk penganiayaan. Incest didefinisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang mana perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Usia rata-rata saat anak pertama kali mengalami kekerasan seksual berkisar antara 7 sampai 10 tahun untuk laki-laki, dan 6 sampai dengan 12 tahun untuk anak perempuan. Dampak dari kekerasan seksual pada anak adalah perubahan perilaku mendadak atau ekstrim (dari orangnya ceria menjadi pendiam), gangguan tidur, anti sosial (menarik diri dari orang lain), dan ingin merusak diri. Sedangkan secara kognisi, anak akan sulit berkonsentrasi dan hilangnya harapan untuk melanjutkan cita-cita sehingga minat sekolah menurun. Berdasarkan sosio-emosional, anak merasa kurang percaya diri, merasa tidak berharga, depresi, cemas, dan ketakutan. Dari segi fisik terlihat bekas luka memar atau mungkin bisa hamil.

     Bagaimana cara meminimalisir tindak kekerasan sesual terhadap anak dalam masyarakat kita? Anak adalah buah hati yang harus kita sayangi dan kasihi. Jangan sampai masa depan anak hancur karena kekerasan seksual yang dialaminya. Kepedulian dari orang tua dan masyarakat akan dapat mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak. Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara pisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orangtua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bukankah pasal 28 b ayat 2 menyatakan bahwa setiap anak harus dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi? Sekarang juga kita harus bertindak dan jangan diam atau acuh tak acuh!

25 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar