Senin, 05 November 2012

Keluarga Disharmoni Mencapai Hubungan Keluarga Yang Harmoni (Phendy A. Saputra - 705120054)


Definisi Keluarga Disharmoni
     Keluarga pada awalnya akan terbentuk melalui suatu pernikahan antara pria dan wanita pada umumnya. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) pernikahan adalah  penyatuan antara pria dan wanita pada umumnya yang secara legal diakui dan bekerjasama dalam keuangan, serta memberikan keturunan, mengadopsi, dan mengasuh anak.
     Dari pernikahan tersebut, terbangunlah suatu keluarga. The U.S. Cencus Bureau (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011) mendefinisikan keluarga sebagai, “a group of two or more persons related by birth, marriage, or adoption and residing together in a household.”
     Dalam proses perkembangan hubungan keluarga yang tidak baik akan menyebabkan suatu kesenjangan dalam keluarga yang disebut sebagai keluarga disharmoni.
Faktor-faktor Penyebab Keluarga Disharmoni
     Faktor-faktor yang menyebabkan sebuah keluarga menjadi tidak harmoni atau disharmoni dapat berasal dari lingkungan keluarga, kerja, maupun sosial.
     Lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga, peran ayah, ibu, dan anak saling berperan dan memiliki tanggung-jawab masing-masing. Akan tetapi, kurangnya pendekatan dalam berkomunikasi dalam sebuah keluarga, akan memberikan dampak yang tidak baik.
     Konflik suami dan istri. Hubungan yang sering terjadi adalah kurangnya pendekatan antara suami dan istri sehingga tidak jarang konflik dalam suatu hubungan keluarga menjadi tidak harmonis.
     Basic conflicts. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) menjelaskan bahwa, “basic conflicts revolve around carrying out martial roles and the functions of marriage and the family, such as providing companionship, working, and rearing children.”
     Nonbasic conflicts. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) nonbasic conflicts tidak melukai hati dari sebuah hubungan.
     Kecemburuan. Dalam suatu hubungan, pencapaian kesenangan atau kebahagiaan tidak selalu berjalan dengan lancar. Kecemburuan maupun rasa yang tidak aman dapat memberikan dampak yang tidak baik dalam suatu hubungan. Seperti yang diuraikan oleh Bringle dan Buunk dan Sharpsteen (dikutip dalam  Strong, DeVault, dan Cohen, 2011), “jealousy is an aversive response that occurs because of a partner’s real, imagined, or likely involvement with a third person.”
     Pengaruh Pekerjaan Terhadap Keluarga. Seorang ayah pada umumnya akan memberikan tanggung-jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anaknya. Akan tetapi, pada perkembangan jaman ini, seorang ibu akan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga. Hal ini dapat menyebabkan banyaknya waktu yang dipakai untuk bekerja dalam satu hari, yang akan berdampak pada lingkungan keluarga. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) efek yang terjadi pada individual-individual dan keluarga-keluarga, sangat mengurangi tingkat energi dan waktu sehingga menyebabkan dampak pada psikologis mereka yang disebut dengan work spillover. Dampak psikologis tersebut dapat mempengaruhi suatu hubungan yang harmonis.

Dampak-dampak Keluarga Disharmoni
     Konflik-konflik yang terjadi dalam suatu keluarga disharmoni, akan menyebabkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan mental (pikologis), fisik, dan kesejahteraan anak.
     Kesehatan psikologis. Salah satu dampak yang sering terjadi adalah adanya ketidakseimbangan mental. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011), konflik dalam perkawinan memiliki hubungan dengan depresi, kekacauan pola makan, adanya kekerasan baik berupa fisik dan/ atau psikologis terhadap pasangan, dan masalah pemakaian alkohol pada pria (seperti minum yang berlebih, mabuk-mabukan, dan menjadi pecandu alkohol).
     Kesehatan fisik. Dampak dari konflik-konflik dalam keluarga disharmoni dapat berpengaruh pada kesehatan fisik tertentu. Seperti yang disebutkan oleh Strong, DeVault, dan Cohen (2011), penyakit-penyakit yang timbul berupa kanker, sakit jantung, dan sakit kronis.
     Kesejahteraan anak. Penting bagi orangtua untuk memperhatikan dampak-dampak yang terjadi ketika adanya konflik antara suami dan istri di hadapan anak-anak. Lindsey, Caldera, dan Tankersley (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011) menjelaskan,
     Research reveals numerous problematic effects of marital conflict on children,
     including health problems, depression, anxiety, conduct problems, and low
     self-esteem. When the marital conflict is frequent, intense, and child centered,
     it has especially negative consequences for children. Peer relations also suffer
     when children have insecure parental attachment and can be observed in
     children as young as three years old.

Strategi Dalam Menyelesaikan Konflik-konflik
     Konflik-konflik yang terjadi seringkali membuat beberapa pasangan merasa bingung dengan apa yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan pemecahan-pemecahan konflik-konflik yang mereka hadapi. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengakhiri konflik-konflik tersebut. “Strategi-strategi pemecahan konflik yang kurang produktif meliputi coercion (mengancam, menyalahkan, dan sarkasme), manipulation (mencoba untuk membuat pasangan merasa berdosa), dan avoidance” Regan (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011).
     Sedangkan, “strategi-strategi yang lebih positif untuk menyelesaikan konflik-konflik meliputi mendukung pasangan Anda (melalui mendengar secara aktif, kompromi, atau kesepakatan), assertion (secara jelas menempatkan posisi Anda dan menempatkan pembicaraan pada topik), dan reason (pemakaian agumen yang rasional dan pertimbangan yang alternatif-alternatif)” Regan (dikutip dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2011).
     Komunikasi yang efektif. Ketika Anda ingin menyampaikan pendapat atau maksud Anda, katakanlah. “Communication is the basis for good relationships. Communication and intimacy are reciprocal: communication creates intimacy, and intimacy in turn helps create good communication” (Strong, DeVault, & Cohen, 2011).
     Mencari bantuan konseling. Penanganan konflik-konflik seringkali menjadi berat ketika tidak adanya jalan keluar yang tepat. Oleh sebab itu, mencari bantuan dari seorang konselor sangatlah membantu Anda, terutama konselor yang ahli dalam permasalahan keluarga. “A skilled counselor offers objective, expert, and discreet help. Much of what counselors do is crisis or intervention oriented” Strong, DeVault, dan Cohen, 2011).
     Ahli-ahli yang bekerja dalam meberikan penanganan profesional terhadap konflik-konflik yang dihadapi dalam keluarga disharmoni tergolong dalam beberapa profesi menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011), sebagai berikut:
1.    Psychiatrists are licensed medical doctores who, in addition to completing at least six years of postbaccalaureate medical and psychological training, can prescribe medication.
2.    Clinical psychologist have usually completed a PhD, which requires at least six years of postbaccalaureate course work. A license requires additional training and the passing of state boards.
3.    Marriage and family counselors typically have a master’s degree and additional training to be eligible for state board exams.
4.    Social workers have master’s degree requiring at least two years of graduate study plus additional training to be eligible for state board exams.
5.    Pastoral counselors are clergy who have special training in addition to their religious studies.
     Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011), pertimbangan keuangan akan berpengaruh pada pemilihan ahli.

Harmoni Dalam Keluarga
     Perkawinan yang sukses tidak hanya meberikan kebahagiaan untuk pasangan saja, tetapi juga memberikan keharmonisan yang utuh bagi suatu keluarga. Menurut Sadarjoen (2006), karakteristik dari perkawinan yang sukses adalah:
1.    Komitmen yang terjaga.
2.    Kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan.
3.    Rasa tanggungjawab.
4.    Kesediaan untuk menyesuaikan diri.
5.    Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk kehidupan seksual.
6.    Mempertimbangkan keinginan pasangan.
7. Komunikasi yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar pasangan.
8.    Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta kasih penuh afeksi.
9.    Pertemanan yang nyaman antar pasangan.
10.  Kemampuan mengatasi krisis dalam setiap situasi dalam kebersamaan.
11.  Menjaga nilai-nilai spiritual antar pasangan perkawinan dan keturunannya.

Daftar Pustaka
Sadarjoen, S. S. (2006). Membangun keluarga bahagia. Diunduh dari
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/MEMBANGUN%20KELUARGA%20BAHAGIA.pdf
Strong, B., DeVault, C., & Cohen, T. F. (2011). The marriage and family
     experience: Intimate relationships in a changing society (11th ed.). Belmont,
     CA: Wadsworth Cengage Learning.

26 Oktober 2012

1 komentar: