Rabu, 18 September 2013

Teknik Wawancara dalam Bidang Pendidikan (Kharisma Setiawan)

Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas mengenai aplikasi teknik wawancara dalam bidang pendidikan. Topik ini penulis pilih karena dirasa cukup menarik dibandingkan dengan aplikasi teknik wawancara dalam bidang lain, seperti aplikasi wawancara dalam setting klinis dewasa, anak maupun PIO. Mungkin karena para mahasiswa sudah mempunyai pengalaman dengan guru BK mereka masing-masing. Penulis sendiri tidak mempunyai pengalaman yang menyakitkan dengan guru BK selama bersekolah. Menurut penulis, guru BK di sekolah penulis sudah menjalankan tugasnya dengan cukup baik. Akan tetapi, ketika di kelas teknik wawancara ternyata banyak sekali cerita-cerita bernada negatif mengenai guru BK dari sekolah mereka masing-masing. Semua ini diungkapkan ketika sesi tanya jawab presentasi kelompok.
Hal ini membuat penulis mempertanyakan moral serta kompetensi dari seorang guru BK. Menurut penulis, seharusnya guru BK bertugas membantu para murid yang bermasalah di sekolah. Guru BK menyelidiki hal-hal yang menjadi penyebab seorang siswa bermasalah sehingga membuat prestasinya menurun. Seorang guru BK harus mencari informasi mengenai penyebab masalah siswa tersebut. Apakah masalah tersebut berasal dari lingkungan rumah, misalnya siswa berasal dari keluarga yang broken home atau masalah berasal dari lingkungan sosial, misalnya akibat salah pergaulan, bahkan mungkin disebabkan masalah lainnya seperti keterbatasn fisik.
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sangatlah berbeda. Menurut cerita dari teman-teman di kelas teknik wawancara, ada seorang guru BK yang malah menertawakan anak yang bermasalah di depan guru lain. Bayangkan bagaimana perasaan anak tersebut! Kemungkinan dia tidak akan percaya lagi dengan guru BK. Hal ini tentu melanggar prinisip kode etik dalam teknik wawancara dan konseling, yaitu confidentiality. Padahal, kita tahu bahwa untuk dapat menggali informasi dari seseorang dibutuhkan kemampuan untuk membina rapport yang baik. Jika rapport sudah terbina dengan baik, maka akan tumbuh sikap rasa saling percaya satu sama lain. Akan tetapi, jika situasinya sudah seperti ini, guru BK tersebut dapat dipastikan gagal dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, ada lagi cerita mengenai guru BK yang memvonis siswanya tidak akan pernah bisa untuk masuk ke salah satu jurusan. Vonis itu disampaikan dengan kata-kata yang tidak pantas sehingga sangat membekas di hati siswanya. Tentunya, hal ini akan berdampak negatif terhadap psikologis anak yang terkait dengan masa depannya. Apalagi, kalau kita ingat teori perkembangan, masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Dengan adanya vonis dari guru BK tersebut, itu akan membuat proses pencarian identitas pada masa remaja menjadi lebih sulit. Sekali lagi, hal itu tentu bertentangan dengan fungsi dari guru BK itu sendiri. Seharusnya, guru BK tersebut dapat menggunakan kata-kata yang lebih halus untuk menyampaikannya.
Dari cerita-cerita di atas, maka penulis sampai pada kesimpulan bahwa ternyata masih ada oknum-oknum guru BK yang kurang berkompeten pada bidangnya. Namun, hal itu membuat penulis bertekad untuk selalu berusaha menjadi guru BK yang baik, jika memang itu pekerjaan yang akan penulis jalani kelak. Penulis percaya perubahan yang dimulai dari diri sendiri akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan sekitar kita.

16 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar