Pada kesempatan kali ini, penulis akan
membahas mengenai aplikasi teknik wawancara dalam bidang pendidikan.
Topik ini penulis pilih karena dirasa cukup menarik dibandingkan dengan
aplikasi teknik wawancara dalam bidang lain, seperti aplikasi wawancara
dalam setting klinis dewasa, anak maupun PIO. Mungkin karena para
mahasiswa sudah mempunyai pengalaman dengan guru BK mereka
masing-masing. Penulis sendiri tidak mempunyai pengalaman yang
menyakitkan dengan guru BK selama bersekolah. Menurut penulis, guru BK
di sekolah penulis sudah menjalankan tugasnya dengan cukup baik. Akan
tetapi, ketika di kelas teknik wawancara ternyata banyak sekali
cerita-cerita bernada negatif mengenai guru BK dari sekolah mereka
masing-masing. Semua ini diungkapkan ketika sesi tanya jawab presentasi
kelompok.
Hal ini membuat penulis mempertanyakan
moral serta kompetensi dari seorang guru BK. Menurut penulis, seharusnya
guru BK bertugas membantu para murid yang bermasalah di sekolah. Guru
BK menyelidiki hal-hal yang menjadi penyebab seorang siswa bermasalah
sehingga membuat prestasinya menurun. Seorang guru BK harus mencari
informasi mengenai penyebab masalah siswa tersebut. Apakah masalah
tersebut berasal dari lingkungan rumah, misalnya siswa berasal dari
keluarga yang broken home atau masalah berasal dari lingkungan sosial,
misalnya akibat salah pergaulan, bahkan mungkin disebabkan masalah
lainnya seperti keterbatasn fisik.
Namun, kenyataan yang terjadi di
lapangan sangatlah berbeda. Menurut cerita dari teman-teman di kelas
teknik wawancara, ada seorang guru BK yang malah menertawakan anak yang
bermasalah di depan guru lain. Bayangkan bagaimana perasaan anak
tersebut! Kemungkinan dia tidak akan percaya lagi dengan guru BK. Hal
ini tentu melanggar prinisip kode etik dalam teknik wawancara dan
konseling, yaitu confidentiality. Padahal, kita tahu bahwa untuk dapat
menggali informasi dari seseorang dibutuhkan kemampuan untuk membina
rapport yang baik. Jika rapport sudah terbina dengan baik, maka akan
tumbuh sikap rasa saling percaya satu sama lain. Akan tetapi, jika
situasinya sudah seperti ini, guru BK tersebut dapat dipastikan gagal
dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, ada lagi cerita mengenai
guru BK yang memvonis siswanya tidak akan pernah bisa untuk masuk ke
salah satu jurusan. Vonis itu disampaikan dengan kata-kata yang tidak
pantas sehingga sangat membekas di hati siswanya. Tentunya, hal ini akan
berdampak negatif terhadap psikologis anak yang terkait dengan masa
depannya. Apalagi, kalau kita ingat teori perkembangan, masa remaja
merupakan masa pencarian identitas. Dengan adanya vonis dari guru BK
tersebut, itu akan membuat proses pencarian identitas pada masa remaja
menjadi lebih sulit. Sekali lagi, hal itu tentu bertentangan dengan
fungsi dari guru BK itu sendiri. Seharusnya, guru BK tersebut dapat
menggunakan kata-kata yang lebih halus untuk menyampaikannya.
Dari cerita-cerita di atas, maka
penulis sampai pada kesimpulan bahwa ternyata masih ada oknum-oknum guru
BK yang kurang berkompeten pada bidangnya. Namun, hal itu membuat
penulis bertekad untuk selalu berusaha menjadi guru BK yang baik, jika
memang itu pekerjaan yang akan penulis jalani kelak. Penulis percaya
perubahan yang dimulai dari diri sendiri akan memberikan dampak yang
besar bagi lingkungan sekitar kita.
16 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar