Minggu, 12 Mei 2013

Tak Kenal Maka Tak Sayang (Lusiana Rio Santoso)


Pada kelas hari ini (25/04/2013 dan 2/5/2013), dibahas mengenai aplikasi wawancara dalam bidang pendidikan dan industry, apa dan siapa saja sih yang harus kita jadikan sumber-sumber bagi kelengkapan dan kevalidan hasil wawancara kita? dan apa saja yang boleh dan tidak boleh kita lakukan.
Pertama-tama, sebagai Psikolog Sekolah ataupun Guru Konseling khususnya, ada banyak permasalahan dari para siswa yang biasanya mereka harus hadapi diantaranya adalah permasalahan dalam proses belajar mengajar di kelas, masalah system sekolah, masalah siswa dengan Learning Disabilities, Developmental Problems, Behavioral Problems, Psychosocial & Environmental Problems, Bakat dan Minat, dan Seleksi Penempatan. Nah, untuk masing-masing permasalahan tersebut penanganannya pasti berbeda-beda, semakin banyak ragam permasalahan siswa yang pernah dihadapi, semakin terlatih dan terasah pula kemampuan Psikolog Sekolah atau Guru Konseling dalam menangani permasalahan siswanya.
Ada tahapan yang harus dilalui dalam proses penanganan permasalahan siswa-siswa tersebut, pertama untuk mengetahui anak seperti apa dia, kita harus tahu dulu informasi dasar mengenai dirinya seperti latar belakangnya, hobinya, minatnya, hal apa yang ia sukai dan tidak ia sukai, dan lain sebagainya. Dari pengetahuan dasar kita mengenai siswa tersebut, kita bisa coba memahami permasalahan dan dinamika kepribadiannya. Selanjutnya bisa dilakukan Verifikasi baik itu antara orangtua-guru, guru-siswa, siswa-orangtua, siswa-teman, guru-guru dan lain-lain. Proses selanjutnya adalah melakukan diagnose, dan yang terakhir dan terpenting adalah, meski sudah diberikan treatment, belum tentu siswa benar-benar telah berubah, alangkah baiknya siswa tetap berada dalam pantauan Psikolog Sekolah atau Guru Konseling untuk memastikan apakah siswa benar-benar telah berhasil mengatasi permasalahannya.

Nah, siapa saja sih kira-kira yang bisa kita wawancarai dalam usaha kita menangani permasalahan seorang siswa? biasanya ada guru (terutama wali kelasnya). orangtuanya, dan tentu saja siswa itu sendiri. Saya berpikir mengapa temannya tidak? tidak penting sebenarnya pertanyaan saya, dan kalau saya coba menarik kesimpulan sendiri pun jadinya ngawur hehehe… tapi menurut yang saya lihat, jarang ada Guru Konseling yang mewawancarai secara khusus teman dari siswa yang sedang ia tangani, biasanya teman dari siswa itu hanya dijadikan sumber bagi Guru Konseling untuk mencari tahu bagaimana siswa itu berinteraksi, bagaimana relasinya dengan orang lain, dan semua itu bisa dilakukan hanya dengan mengobservasi tanpa perlu bertanya secara khusus pada teman siswa yang bersangkutan. Itu sih pemikiran saya, dan saya juga nggak tahu apakah cukup nyambung dengan maksud dari materi ini atau tidak. Kembali ke pembahasan, dalam mewawancarai siswa, tentu kita perlu memperhatikan beberapa aspek yang mereka miliki yang bisa mempengaruhi proses dan hasil dari wawancara yang kita lakukan. Yang perlu kita ketahui sebelum kita mewawancarai siswa adalah apa latar belakang permasalahannya, berada di level perkembangan manakah siswa itu, seberapa baik kemampuan verbal siswa, apa kelebihan dan kekurangannya, dan yang terpenting adalah apa yang siswa itu butuhkan. Menangani anak TK, SD, SMP, dan SMA tentu berbeda caranya, karena level kemampuan mereka juga pasti berbeda. Sangat tidak diperbolehkan menggunakan istilah yang sulit dipahami oleh anak-anak ketika mewawancarai seorang anak TK atau SD, kecuali anak itu jenius atau punya bakat khusus dalam bidang linguistik hahaha… lalu dalam bersikap tentu saja tidak bisa disamakan antara bersikap kepada anak-anak dengan bersikap kepada remaja.

Berikutnya adalah wawancara terhadap orangtua, biasanya wawancara terhadap orangtua tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana interaksi antara siswa dengan orangtuanya, bagaimana perhatian orangtua mengenai sekolah siswa dan tumbuh di lingkungan dan budaya seperti apa siswa tersebut, lalu untuk mengetahui juga bagaimana perspektif orangtua siswa mengenai kurikulum dan staf dari sekolah anaknya. Ada juga wawancara yang dilakukan terhadap guru untuk mengetahui bagaimana cara guru itu mengajar dan apakah caranya efektif atau tidak, lalu bagaimana interaksinya dengan siswa dan staf lainnya juga orangtua siswa.

Dari semua proses dan tujuan wawancara tersebut, yang perlu diingat adalah pentingnya untuk tetap menggunakan Informed Consent dalam mewawancarai seseorang sekalipun orang yang bersangkutan mungkin telah mengetahui system yang berlaku di sebuah sekolah atau institusi yang dituju. Lalu kerahasiaan klien harus terjaga, terutama bagi Guru Konseling, hindari bergosip mengenai klien dengan staf sekolah lain. Dan yang terpenting adalah, jangan merasa puas dengan hasil wawancara anda, karena belum tentu hasilnya akan lebih valid disbanding tes formal, terutama (lagi-lagi) menurut saya… hati-hati dalam mewawancarai siswa SMA yang secara intelijensi tentu sudah cukup cerdas untuk bisa memanipulasi ceritanya sendiri, karena mereka biasanya cenderung mulai menggunakan ‘topeng’ dan seringkali perilaku yang tampak di luar itu berbeda dengan yang sebenarnya (ya contohnya saja saya sendiri deh, dari luar kelihatannya pendiam, padahal saya rame orangnya… terus kalau Guru Konseling liat saya tuh mikirnya pasti “nih anak suram sekali… ada masalah apa ya?” bisa saja kan untuk menarik perhatiannya saya ngarang-ngarang cerita bilang saya memang suram dan bermasalah, toh penampakan saya mendukung-pikir saya, misalnyaaa lho), jadi penting bagi Psikolog Sekolah atau Guru Konseling untuk melakukan Cross Check mengenai siswa atau guru, orangtua siswa, atau siapapun yang diwawancarai.

Setelah pembahasan mengenai setting pendidikan (yang kayaknya kok kepanjangan…) berikutnya adalah aplikasi wawancara dalam setting industry dan organisasi. Sejujurnya saya nggak begitu paham mengenai dunia perindustrian apalagi pengorganisasian… meski sudah pernah dijejali dengan teori-teori mengenai PIO di mata kuliah PIO I dan II, saya tetap kurang paham (atau mungkin karena memang bukan minat saya). Yang jelas, menurut materi yang disampaikan Bu Henny, wawancara dalam bidang PIO itu biasanya digunakan ketika sedang melakukan seleksi dan penempatan, job analysis, job evaluation, menetapkan job description & job specification, coaching, performance appraisal, dan exit interview.

Wawancara dalam bidang PIO dibedakan menjadi terstruktur dan tidak terstruktur, dan yang terstruktur itu dibedakan lagi menjadi  CBI (Competence Based Interview) dan BEI (Behavioral Event Interview). Pertama mengenai CBI,  adalah pertanyaan terstruktur yang berhubungan secara langsung dengan kriteria dan kompetensi yang diinginkan untuk suatu jabatan tertentu. Jadi yang dinilai dari Interview cara ini jelas adalah apakah si calon karyawan itu memiliki kriteria dan kompetensi yang diharapkan dapat sesuai dengan pekerjaannya nanti atau tidak.Sedangkan BEI lebih menekankan pada perkembangan dan potensi dari kandidat (untuk mengetahui juga bagaimana kiranya si kandidat itu bersikap dalam menghadapi berbagai persoalan yang harus dihadapinya dalam pekerjaannya). Banyak sekali teori mengenai PIO yang dibahas pada materi ini yang tidak terlalu masuk ke dalam kepala saya meski saya sudah berusaha memperhatikan perkataan ibu dosen, saya justru lebih tertarik dengan dunia PIO setelah mendengarkan pengalaman dari seorang senior yang berbagi kisahnya sebagai HRD dan aktif di dunia industri dan organisasi, beliau adalah Filipus Totong yang merupakan alumni dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara angkatan 1999 (maaf kalau salah, saya lupa). Meski tidak serta merta membuat saya berminat untuk menjadi Psikolog industri dan organisasi (still not my piece of cake), namun cerita dari beliau sedikit banyak membuat mata saya terbuka mengenai suka duka yang harus dihadapi Psikolog PIO. Menurut beliau, yang penting itu adalah pengalaman, beliau sudah bergelut di bidang PIO sejak ia masih kuliah, dan sejak itu pula ia selalu berkutat dengan psikotes dan wawancara/rekrutment. Tugas lain yang harus ia lakukan adalah menyeleksi kandidat, menempatkan posisi karyawan, mengawasi kinerja karyawan, dan memecat karyawan. Yang terakhir kedengarannya mudah saja ya? apalagi tinggal pecat, tapi ternyata tidak semudah itu, sebagai Psikolog PIO, menurut kak (atau pak) Filipus, logika/otak dan hati itu benar-benar terlibat dan seringkali bertentangan. Bagaimana jika kita dihadapi dengan kondisi dimana seorang karyawan tidak juga mengalami peningkatan performa dan sering melakukan kesalahan, namun di sisi lain ia membutuhkan pekerjaannya saat itu. Tidak tega pasti untuk memecatnya, tapi sebagai HRD, beliau harus bisa tegas karena bagi perusahaan yang mempekerjakannya, tentu mereka berharap dengan adanya HRD maka mereka bisa memiliki pekerja-pekerja yang berkualitas, bagaimana mungkin pekerja yang tidak kompeten dipertahankan? tentu bisa merugikan mereka. Mau tidak mau, pemecatan harus dilakukan. Dari Pak Filipus, saya juga jadi tahu bahwa lebih sulit lagi bagi kandidat dalam mencari pekerjaan, banyak syarat-syarat yang kelihatannya sepele, namun secara mengejutkan (bagi saya ya...) ternyata merupakan penentu utama apakah ia diterima atau tidak pada pekerjaan yang ia inginkan. Misalnya saja, banyak perusahaan yang mensyaratkan beberapa hal berikut: Tidak pakai kacamata (bahkan kalau bisa soft lens pun tidak, jadi harus yang matanya masih bagus-saya sih langsung ditolak nih hahaha...), tidak pakai behel/kawat gigi (pakai behelnya ketika lagi nganggur saja), tidak berjerawat (tapi karena bagi wanita jerawat itu biasa muncul ketika haid, maka tidak masalah karena hilang lagi jika haid selesai, kecuali yang jerawatnya memang agak bandel dan permanen menghias wajah), dan lain-lain... Bahkan, Pak Filipus bisa langsung menolak seorang kandidat hanya dengan menilai penampilannya saja, yang tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan perusahaannya. Inti dari ceritanya Pak Filipus yang saya tangkap sih ya... untuk menjadi Psikolog PIO itu yang harus dimiliki adalah ketegasan, ketelitian, ketajaman analisa, dan kemampuan bicara (public speaking), karena HRD itu bisa dibilang adalah perantara penting antara perusahaan dengan karyawan atau calon karyawan.

Kesimpulan dari pembahasan panjang saya mengenai wawancara di bidang pendidikan dan PIO adalah, keduanya membutuhkan pengalaman yang cukup banyak untuk bisa benar-benar menguasai kedua bidang tersebut, dan yang jelas baik bidang pendidikan maupun PIO memiliki tantangan yang sama beratnya (tergantung siapa yang menjalaninya juga tentunya).

Itulah mengapa saya memberi judul Tak Kenal Maka Tak Sayang, entah dalam menjalani pekerjaan ataupun dalam menghadapi klien, kita harus mengenalinya dahulu, barulah timbul ikatan dengannya. Sebelum saya tahu suka dukanya menjadi HRD, saya berpikir bahwa pekerjaan itu merepotkan dan tidak menarik, namun setelah saya mengetahui seluk beluknya, saya mulai berpikir untuk lebih memahami dunia PIO (meski belum yakin juga akan menggeluti profesi sebagai Psikolog Industri & Organisasi hehehe... begitu juga dalam menghadapi klien, kita harus mengenal mereka dahulu bahkan kalau perlu mendalami kepribadian dan permasalahannya, bukan berarti kita harus menciptakan hubungan yang afekif dengannya (karena dikhawatirkan menimbulkan bias nantinya) tapi setidaknya kita coba untuk memahami klien (menurut saya sih pemikiran saya ini pas dengan judul ulasan saya kali ini-semakin panjang tulisan saya sepertinya hehehe...).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar