Minggu, 26 Mei 2013

Its All About The Process (Ricki Victor)

     "Pelajari teorinya, lakukan prakteknya" mungkin kata-kata tersebut cocok untuk mata kuliah Teknik Wawancara, di mata kuliah ini saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pewawancara, yang diwawancarai, dan observer sekaligus dalam tiga setting (IO, Pendidikan, Klinis).

     Pertama kali melakukan praktek, saya berkesempatan menjadi yang diwawancarai, saat itu saya menjadi seorang karyawan yang melamar pekerjaan di salah satu perusahaan multi-nasional dengan jabatan manager. Hal yang paling menyenangkan saat menjadi orang yang diwawancarai adalah saya tahu rasanya bagaimana saat diwawancarai di suatu perusahaan walaupun hanya dalam bentuk role play (by the way, kami semua diwajibkan untuk mengenakan pakaian formal agar terlihat lebih nyata), pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara saat itu cukup membingungkan karena tidak ada persiapan apapun yang kami lakukan dan topik wawancara baru diketahui 5 menit sebelum role play dimulai. Selanjutnya di minggu ketiga (for your information, saya  tidak mengikuti role play di minggu kedua karena berhalangan) saat menjadi yang diwawancarai dalam setting klinis, saya menjadi seorang klien yang memiliki gangguan makan (anorexia nervosa), jujur saja sangat sulit membuat gangguan makan seperti topik yang kami bahas, mungkin jika gangguan tersebut diganti dengan autis atau schizophrenia akan lebih gampang untuk dilakukan prakteknya, hehe.

     Mari kita lanjutkan ke pengalaman saya sebagai seorang pewawancara. Hal yang pertama kali saya rasakan adalah menegangkan. Pertama kali saat menjadi pewawancara, saya membahas topik mengenai "hubungan gelap yang dilakukan seorang manager di perusahaan x dengan bawahannya yang telah berumah-tangga", awalnya kami berdua sempat ingin tertawa saat melakukan wawancara karena harus mewawancarai teman sendiri dengan kasus yang seperti itu pula ditambah dengan jawaban dari teman saya yang ngelantur saja tetapi akhirnya kami berdua bisa menahan diri sampai di akhir. Di minggu ketiga, saya juga mewawancarai seorang klien yang memiliki gangguan makan (anorexia nervosa) juga. Saat itu wawancara berjalan baik tetapi dari kedua kali kesempatan saya menjadi pewawancara, masih banyak hal yang harus saya kembangkan, seperti membangun rapport yang lebih baik juga agar klien dapat lebih nyaman sehingga ingin berbagi masalahnya, meningkatkan cara bertanya yang lenih baik lagi agar tidak bingung, dan cara untuk menutup sesi dengan halus agar tidak terkesan selesai begitu saja tanpa ada jalan keluarnya.

     Saat menjadi observer, tugas saya adalah "menikmati" role play yang dilakukan oleh kedua teman saya dan tugas saya adalah melakukan observasi terhadap pewawancaranya, apakah sudah bisa menjadi pewawancara yang baik atau masih harus ditingkatkan lagi. Dari observasi yang saya lakukan selama dua minggu, kedua teman saya sudah dapat melakukan wawancara dengan baik, namun ada beberapa hal yang harus dikembangankan lagi agar mereka menjadi pewawancara yang lebih baik lagi.

     Well, itu sedikit pengalaman saya yang dapat saya sampaikan saat malakukan role play teknik wawancara, masih banyak lucu, aneh, dsb yang tidak mungkin untuk saya sampaikan semuanya. Satu hal yang perlu diketahui adalah teknik wawancara merupakan satu-satunya mata kuliah yang memberikan kami teori, praktek dalam bentuk roleplay, dan juga praktek di luar lapangan. Sungguh suatu pengalaman yang menyenangkan dan mungkin tidak akan ada di mata kuliah lain.

Dalam kesempatan ini, saya juga akan membahas tentang pengalaman saya saat mengunjungi panti Bina Daksa di daerah Cengkareng pada tanggal 11 Mei lalu. Well, kunjungan tersebut merupakan pertama kali yang saya lakukan karena sebelumnya tidak ada mata kuliah yang menfasilitasi kunjungan langsung seperti ini.

Hal yang saya dapatkan cukup banyak selain pengalaman dalam melakukan wawancara pastinya. Diluar sana ternyata masih banyak orang yang memiliki keterbatasan fisik yang sangat terbatas namun mereka masih berusaha untuk dapat menjalani hidup ini dengan baik. Mereka mungkin merasakan tekanan yang tinggi dari masyarakat atas keterbatasan yang dimilikinya, namun hal tersebut tidak mengurungkan niat mereka untuk belajar. Seperti salahsatu penghuni panti yang kebetulan menjadi subyek wawancara saya, Beliau mengalami keterbatasan dalam berjalan karena terkena virus polio sejak usia 2 tahun. Beliau sangat ingin untuk dapat beraktifitas seperti manusia normal dan membantu kedua orangtuanya namun karena adanya keterbatasan tersebut membuat dirinya sering menjadi korban bullying temannya di sekolah sehingga ia tidak menyelesaikan sekolahnya. Sangat disayangkan, ketika seorang memiliki keterbatasan fisik, bukan berarti ia pantas untuk menjadi korban bullying dari orang-orang sekitarnya, ia juga memiliki hak dalam mendapatkan pelajaran dan beraktifitas seperti manusia normal. Setelah saya melakukan wawancara dengan beliau, ada beberapa hal yang saya tanggap, keputus-asaan dalam menjalani hidup ini di masa kecil, namun hal tersebut berangsur-angsur menurun karena Beliau masih mensyukuri apa yang ia miliki sekarang dibandingkan dengan teman-temannya yang berada di panti yang sama. Hal kedua yang saya dapatkan adalah Beliau ingin untuk bisa mandiri dan tidak menyusahkan orang lain, hal yang sangat simple untuk kebanyakan orang tetapi sangat berarti untuk Beliau.
Mungkin saya dapat menutup blog ini dengan satu kalimat sederhana, syukurilah apa yang ada pada diri kita saat ini karena apa yang kita miliki sekarang dan kita anggap biasa saja, bisa sangat berarti untuk orang lain diluar sana.
25 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar