Selama tiga minggu ini kami melakukan
praktikum. Tentu pengalaman kami semakin bertambah. Walaupun klien kami adalah
teman kelas kami sendiri, tapi teman tersebut juga hanya mengetahui ‘tema’,
tidak benar-benar mengetahui isi pemikiran kami saat membuat kasus atau pertanyaan
secara keseluruhan. Sehingga terkesan kami benar-benar baru menemui kasus ini.
Kami belajar untuk mengembangkan semua keterampilan wawancara yang sudah
dipelajari, dan hal tersulit untuk saya adalah berempati dan mengembangkan
pertanyaan. Seringkali justru memikirkan ‘tanya
apa..apalagi yang belum..’. Topik yang paling sulit adalah PIO, karena terkesan
lebih formal dan mungkin karena pengalaman teman-temannya juga yang baru pertama
kali menjadi ‘klien’, sehingga jawaban yang muncul juga masih terbata-bata atau
sedikit.
Namun, setelah berperan menjadi
observer, saya jadi mengetahui seperti apa saya terlihat saat menjadi
pewawancara. Saya berusaha juga melihat atau menilai perilaku saya tadi saat berperan
sebagai psikolog. Dari situ saya mulai belajar, membandingkan, dan
mengembangkan. Hasilnya mungkin belum maksimal, masih ada kekurangan di sana
sini, namun semakin lama saya merasa semakin baik. Saya tidak lagi terpaku
dengan daftar pertanyaan, saya semakin luwes dalam bertanya maupun membina
rapport.
Sebenarnya praktikum kelas teknik
wawancara menjadi hal yang menyenangkan. Sebagai psikolog saya menyadari
sulitnya menjadi pewawancara dan baik, dan sedikitnya jam terbang yang saya
miliki menjadi salah satu faktor yang mempengaruhinya. Saat menjadi observer
saya menyadari kemampuan teman-teman saya, 3 teman yang saya observasi
menunjukan keterampilan wawancara yang jauh lebih baik dari saya, sehingga saya
banyak belajar dari mereka. Sedangkan saat menjadi klien adalah peran yang
cukup menarik, mengarang-ngarang cerita dan
berusaha untuk memberikan data yang dibutuhkan, namun tetap saja saya
sering berpikir apakah jawaban saya sesuai dengan kasus mereka atau tidak.
Kunjungan ke panti sosial lebih
menambah pengalaman kami. Karena kami benar-benar bertemu dengan klien. Saat
kunjungan ke panti, saya semakin menyadari kekurangan saya dalam membina
rapport. Saya merasa belum cukup dapat memberikan kenyamanan bagi subjek saya. Terkadang
juga ada beberapa pertanyaan yang membuat beliau mengerutkan dahi atau bertanya
“maksudnya?” dan saya harus berusaha
menjelaskan dengan contoh yang dapat beliau pahami. Beliau juga mengajarkan
saya bagaimana menerima keadaan dengan apa adanya, dan dengan keterbatasannya
ini tidak membuat dirinya menjadi putus asa atau malas. Beliau tetap berusaha
untuk mandiri mengembangkan diri dibidang yang disukainya . Bertemu dengan
orang-orang seperti beliau merupakan suatu pengalaman yang berarti.
21 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar