Minggu, 26 Mei 2013

What We Face Now is Nothing Compared to What Real Life Will Give to Us (Melly Preston)

Selama tiga minggu terakhir ada banyak hal yang saya pelajari, begitu juga dengan teman-teman. Kami belajar bagaimana mewawancarai klien dalam situasi yang setengah real. Kami belajar bagaimana mengaplikasikan secuil teori mengenai wawancara yang ada dengan baik dan benar dalam berbagai setting. Kami belajar bagaimana cara menghadapi klien yang bermacam-macam karakteristiknya (baru 3 macam, sih). Sebagian dari kami bersorak senang, semangat, dan menganggap praktikum ini menyenangkan. Namun dari satu praktikum ke praktikum selanjutnya, selalu terdengar keluhan, hembusan pasrah, atau kekesalan dari sebagian lainnya, baik sebelum maupun sesudah praktikum.
Selama masa praktikum ini, saya banyak menyadari beberapa hal mengenai diri saya, tidak hanya dari sisi kelemahan saya dalam melakukan wawancara, tetapi juga dari sikap saya terhadap hidup. Harus saya akui bahwa beberapa kali saya juga mengeluarkan desah gelisah dan keluh kesah kepada teman-teman saya. Namun setiap kali sedang melakukan wawancara, ada rasa exited yang muncul karena ini adalah pengalaman baru yang akan sangat berguna bagi saya. Di sisi lain, ada satu masa dimana saya merasa begitu bodoh dan tidak kompeten dalam melakukan wawancara. Ada juga satu masa dimana saya berpikir kenapa hidup ini begitu memusingkaaannn..
Ketika diminta untuk membuat refleksi di blog ini, saya mulai menyadari betapa tidak perlu atau tidak sepantasnya saya untuk berkeluh kesah, khususnya setelah saya mengingat kembali cerita dari opa yang saya wawancarai secara real pada tanggal 11 Mei 2013 di panti lanjut usia. Opa menceritakan kepada saya bagaimana ia harus berjuang hidup dengan merantau dari satu tempat ke tempat lain dan kenyataan pahit yang ia alami dalam hidup. Kenyataan pahit bahwa rumahnya terbakar dan tidak lama kemudian orang tuanya meninggal saat ia masih muda.
Dari ceritanya saya belajar bahwa inilah hidup yang sebenarnya, bahwa hidup memang akan disertai penderitaan, and we have to face it and accept it. Selalu akan ada kesulitan yang harus dihadapi manusia untuk dapat menghargai dan mensyukuri hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya saya atau teman-teman untuk berkeluh kesah atau menyerah hanya karena tersandung oleh batu kecil. Di masa depan masih ada banyak batu-batu besar yang akan menghadang langkah hidup saya, seperti layaknya yang telah opa lalui. Keluhan seperti “aduh, panas; capek; susah, pusing” dan lain-lain harus segera dihilangkan dari kamus kita karena keluhan tidak akan menolong kita berdiri kembali.
Secara keseluruhan, dari pengalaman praktikum dan wawancara di panti, saya juga mendapatkan satu bukti lagi bahwa psikologi itu layak untuk dipelajari. Psikologi tidak semudah atau serendah yang orang pikirkan. Pada akhirnya, psikologi bukanlah teori sosial, teori belajar atau teori kepribadian, melainkan adalah teori atau pelajaran tentang hidup yang sebenarnya dan tentang menolong sesama manusia.

25 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar