Selama
tiga minggu terakhir ada banyak hal yang saya pelajari, begitu juga dengan
teman-teman. Kami belajar bagaimana mewawancarai klien dalam situasi yang
setengah real. Kami belajar bagaimana
mengaplikasikan secuil teori mengenai wawancara yang ada dengan baik dan benar
dalam berbagai setting. Kami belajar
bagaimana cara menghadapi klien yang bermacam-macam karakteristiknya (baru 3
macam, sih). Sebagian dari kami
bersorak senang, semangat, dan menganggap praktikum ini menyenangkan. Namun
dari satu praktikum ke praktikum selanjutnya, selalu terdengar keluhan,
hembusan pasrah, atau kekesalan dari sebagian lainnya, baik sebelum maupun
sesudah praktikum.
Selama
masa praktikum ini, saya banyak menyadari beberapa hal mengenai diri saya,
tidak hanya dari sisi kelemahan saya dalam melakukan wawancara, tetapi juga
dari sikap saya terhadap hidup. Harus saya akui bahwa beberapa kali saya juga
mengeluarkan desah gelisah dan keluh kesah kepada teman-teman saya. Namun
setiap kali sedang melakukan wawancara, ada rasa exited yang muncul karena ini adalah pengalaman baru yang akan
sangat berguna bagi saya. Di sisi
lain, ada satu masa dimana saya merasa begitu bodoh dan tidak kompeten dalam melakukan
wawancara. Ada juga satu masa dimana saya berpikir kenapa hidup ini begitu memusingkaaannn..
Ketika
diminta untuk membuat refleksi di blog ini, saya mulai menyadari betapa tidak
perlu atau tidak sepantasnya saya untuk berkeluh kesah, khususnya setelah saya
mengingat kembali cerita dari opa yang saya wawancarai secara real pada tanggal 11 Mei 2013 di panti
lanjut usia. Opa menceritakan kepada saya bagaimana ia harus berjuang hidup
dengan merantau dari satu tempat ke tempat lain dan kenyataan pahit yang ia
alami dalam hidup. Kenyataan pahit bahwa rumahnya terbakar dan tidak lama
kemudian orang tuanya meninggal saat ia masih muda.
Dari
ceritanya saya belajar bahwa inilah hidup yang sebenarnya, bahwa hidup memang
akan disertai penderitaan, and we have to
face it and accept it. Selalu akan ada kesulitan yang harus dihadapi
manusia untuk dapat menghargai dan mensyukuri hidup. Oleh karena itu, tidak
sepantasnya saya atau teman-teman untuk berkeluh kesah atau menyerah hanya
karena tersandung oleh batu kecil. Di masa depan masih ada banyak batu-batu
besar yang akan menghadang langkah hidup saya, seperti layaknya yang telah opa
lalui. Keluhan seperti “aduh, panas; capek; susah, pusing” dan lain-lain harus
segera dihilangkan dari kamus kita karena keluhan tidak akan menolong kita
berdiri kembali.
Secara
keseluruhan, dari pengalaman praktikum dan wawancara di panti, saya juga
mendapatkan satu bukti lagi bahwa psikologi itu layak untuk dipelajari.
Psikologi tidak semudah atau serendah yang orang pikirkan. Pada
akhirnya, psikologi bukanlah teori sosial, teori belajar atau teori
kepribadian, melainkan adalah teori atau pelajaran tentang hidup yang
sebenarnya dan tentang menolong sesama manusia.
25 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar