Rabu, 22 Mei 2013

Korban Perkosaan Bisa Terjadi Pada Siapa Saja (Anthonia Christy)

      Selama ini kita sering mendengar pemberitaan mengenai perkosaan yang dialami oleh perempuan-perempuan di sekitar kita. Tak jarang dalam perkosaan tersebut korban juga menderita luka yang sangat parah hingga menyebabkan kematian. Perkosaan yang sadis ini terkadang membuat kita seram dan menutup mata,  menanggap mereka bukan bagian dari dunia kita dan berasumsi bahwa kita atau orang di sekitar kita tidak akan ada yang bernasib ‘sama’ seperti mereka. Guys, pemikiran itu salah banget. Perkosaan bisa dialami oleh siapa saja kapan saja dan dimana saja. Perkosaan dapat terjadi pada semua perempuan dari berbagai kedudukan, profesi, dan status dalam masyarakat.
    Berpakaian sopan atau berjilbab bukanlah ‘jaminan’ bahwa kamu tidak akan pernah mengalami perkosaan. Banyak kasus yang timbul akhir-akhir ini yang membuktikan bahwa tidak sedikit perempuan berjilbab di luar sana yang mengalami perkosaan. Perkosaan juga tidak terjadi hanya pada mereka yang berpenampilan menarik. Contohnya saja kasus perkosaan pada nenek-nenek berusia 64 tahun di rumahnya di Jawa Timur. Tidak berinteraksi dengan orang asing atau membatasi keluar rumah juga bukan jaminan. Berapa banyak anak yang diperkosa di dalam rumahnya sendiri? Oleh orang-orang terdekatnya bahkan keluarga? Oleh pacar tampan yang tampaknya santun dan berbudi pekerti?
    Masyarakat umum memang masih beranggapan bahwa perkosaan terjadi karena si perempuan. Kenapa? Karena dalam budaya kita yang masih mengagungkan superioritas kaum laki-laki, penindasan perempuan itu dianggap sudah membudaya. Bahkan ketika menjadi korban, karena budaya ini sudah tertanam di otak kita, kita menganggapnya wajar karena merasa perempuan memang lemah dan pantas ditindas.
     “Pakaiannya seksi banget sih!” kenapa bukannya “Laki-lakinya ngeliat leher mulus sedikit udah langsung turn on sih! Kebanyakan nonton film yang nggak bener!” “Pulangnya malam terus sih!” kenapa bukannya “Ini gimana sih, suaminya. Udah tau istrinya terpaksa shift malam untuk mencukupi ekonomi keluarga, bukannya menjemput malah ngorok di rumah.” Saya percaya kalian bisa menghapus paradigma bahwa perkosaan terjadi akibat kesalahan perempuan atau karena perempuanlah yang memicu kejadian tersebut. Memangnya ada anak perempuan yang sengaja menggoda ayahnya untuk diperkosa? Memangnya ada perempuan yang memakai jilbab dengan tujuan merangsang laki-laki? Memangnya ada perempuan yang bekerja membanting tulang demi susu anak bayinya di rumah sengaja pulang pada malam hari untuk dinodai dan disakiti? Well, tidak ada.
    Korban perkosaan kebanyakan adalah mereka yang memiliki kedudukan yang lebih rendah atau lemah dibanding pelakunya. Well, perempuan saja sudah dilahirkan dengan cap ‘penduduk dunia no. 2’. Biasanya terdapat tiga sikap yang dapat dilihat pada korban perkosaan:
a. Korban yang berusaha menahan perasaan dan bersikap tenang
b. Korban yang menunjukan luapan emosinya dengan memaki atau menangis
c. Korban yang menarik diri dengan berhenti berkomunikasi dengan dunianya (sangat berpotensi pada depresi akut dan kegilaan)
        Lebih lanjut lagi, yang terberat sesungguhnya adalah label yang diberikan oleh masyarakat yaitu ‘perempuan yang sudah tidak suci’ atau ‘perempuan penggoda’. Perempuan yang mengalami perkosaan kerap diperlakukan lebih kejam dari narapidana. Bukan hanya masyarakat, pihak keluarga korbanpun kerap menyalahkan bahkan menutupi kejadian ini karena malu dan menganggap kemalangan yang terjadi sebagai ‘aib keluarga’. Akibatnya, bukannya mendapatkan penanganan yang seharusnya, korban malah terjerumus semakin dalam. So, kalian masih mau mengikuti pandangan masyarakat umum itu atau setuju untuk mulai berfikir dengan akal sehat? Jika kalian pernah diperkosa, mungkin hal-hal tersebutlah yang ingin anda jeritkan selama ini. Betapa tak adilnya dunia pada anda. Namun jika anda termasuk mereka yang beruntung dan belum pernah mengalami hal mengerikan ini, maka waspadalah, bahwa anda bisa saja mengalaminya.
 
     22 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar