Minggu, 26 Mei 2013

Look Within Myself (Arief NC)

Topik sama, sensasi berbeda. Selama ini hanya berbicara mengenai keterampilan wawancara, sekarang sudah mengarah kepada praktiknya. Seperti yang sering kita dengar, dunia teori dan dunia praktik berbeda. Seseorang yang hebat dalam hal teori belum tentu hebat dalam hal praktik, berlaku pula sebaliknya, bahkan ada yang unggul dalam kedua dunia tersebut. Kuncinya adalah belajar, belajar, dan belajar. Penerapan praktik wawancara dalam psikologi itu luas, tetapi kali ini hanya sempat mencicipi sebagian kecilnya saja, yaitu satu kasus konteks psikologi industri organisasi (PIO), satu kasus psikologi pendidikan, dan satu kasus psikologi klinis, serta satu pengalaman praktik wawancara di panti sosial tuna daksa. Kesempatan-kesempatan ini adalah kesempatan yang langka, kapan lagi memasuki laboratorium wawancara, lalu berperan sebagai pewawancara, klien, dan pengamat? Bahkan sempat menjadi pewawancara sekaligus pengamat dalam wawancara sesungguhnya bersama seorang tuna daksa.
Sumber: zamadi.blogspot.com
     Pertama kali memasuki laboratorium, jujur saja saya merasa sangat gugup karena merasa bingung dimana pengamatnya (padahal bersembunyi di balik dinding tipis dan sedang asyik mengamati), kurang menguasai PIO, dan langsung dihadapkan pada seorang senior yang berperan sebagai klien. Saya seringkali menghela napas, mengintip panduan pertanyaan ketika bingung apa yang ingin ditanyakan, ditambah lagi gugup karena yang saya hadapi adalah senior yang saya tidak kenal dan sorot matanya mengerikan menurut saya (padahal orangnya ramah). Selama wawancara, teringat perkataan dosen di kelas, "Kamu ga perlu takut sama siapa yang kamu wawancara, sekalipun dia profesor. Dalam wawancara kalian itu sederajat, tidak perlu merasa lebih rendah darinya atau semacamnya." Perlahan-lahan perasaan gugup itu hilang ketika mulai berfokus pada cerita klien dan mengabaikan persepsi menyeramkan itu. Ternyata fokus itu berlebihan, menyebabkan saya terlalu asyik mencatat sampai melupakan kontak mata dengan klien. Bahkan intonasi suara pun menjadi terkesan kurang ramah dan lupa merangkum cerita klien dari awal sampai akhir.
Pertahanan pada klien diibaratkan sebagai lapisan yang harus ditembus
untuk mengerti seperti apa sisi dalamnya.
Sumber: specialtyfabricsreview.com
     Setelah episode itu berlalu, langsung dihadapkan pada seorang tuna daksa dari panti sosial. Sebelumnya saya belum pernah wawancara dengan klien yang cukup sensitif. Awalnya, saya berpikir, "Okay, harus hati-hati waktu bicara, sekali salah habislah sudah." JREENGGG!!! Seorang subyek pun muncul di hadapan kami, pertanyaan dari kakak pembimbing hanya satu, "Siapa yang bersedia wawancara Bapak ini?" Rasa "malu-malu kucing" bercampur perasaan takut salah menjadi "galau." Tiba-tiba saya didorong sedikit dari belakang dan dikatakan "Udah, jangan malu-malu." Menelan air liur sendiri untuk menahan rasa galau, saya pun berjalan perlahan ke arah Bapak tersebut sambil mengingat kesalahan-kesalahan saat wawancara dalam konteks PIO. Pertama kali tentunya saya sapa terlebih dahulu, berbincang-bincang sebentar agar kami merasa nyaman, wawancara pun dimulai. Di satu sisi saya bingung karena klien cenderung menutup diri (defensif) karena trauma, di satu sisi saya merasa ini kesempatan bagus untuk latihan menggali informasi dari seseorang yang defensif. Sebelumnya saya memang tidak tahu harus berbuat apa, tetapi saya mencobanya dengan mengingatkan bahwa Beliau boleh mengungkapkan perasaannya dan tidak perlu malu-malu, Beliau boleh bercerita supaya merasa lebih ringan. BINGO! Kesuksesan pertama, Beliau mulai membuka dirinya perlahan-lahan. 
     Namun ada kesulitan lainnya, ketika dilontarkan pertanyaan lain Beliau dapat menjawab dengan lanjutan jawaban sebelumnya, padahal sudah selesai menjawab. "Ada apa sebenarnya dengan Bapak ini?" Saya mencoba menelusuri ceritanya, dan memperbolehkan Beliau melanjutkan cerita sampai dirasa cukup (saat emosinya sudah tampak dari ekspresi wajahnya). Kemudian saya lanjutkan pertanyaan berikutnya, untungnya Bapak tersebut dapat menjawab keluar dari cerita itu dan sesuai pertanyaannya. Peristiwa ini terjadi berkali-kali, kesannya hanya berputar-putar dalam topik yang sama. Di tengah wawancara saya terkejut karena Beliau menangis, hampir saja terlarut dalam perasaannya. Mungkin karena terlalu lelah belum terbiasa dengan hal ini, lagi-lagi saya lupa merangkum wawancaranya (satu kesalahan terulang). Pengalaman yang cukup sulit bagi pemula, tetapi saya merasa puas karena dapat membantu Bapak ini dengan membuatnya bercerita mengeluarkan emosinya yang terpendam, kemudian menutupnya kembali agar Beliau tetap tersenyum seperti semula.
    Lagi-lagi kami kembali ke dalam laboratorium untuk latihan wawancara dalam konteks psikologi pendidikan dan psikologi klinis. Entah mengapa saat latihan konteks pendidikan, bibir ini bergerak seperti otomatis. Pertanyaan terus keluar setelah mendengar cerita klien, hampir tidak mengintip catatan. Usaha melakukan kontak mata pun lebih banyak daripada sebelumnya (meskipun klien tidak menanggapinya). Mungkin karena kasus pendidikan itu cukup menarik, saya terlalu fokus pada kontennya saja, sehingga saya tidak ingat untuk merangkumnya dari aspek perasaan klien, setidaknya saya sudah merangkum wawancara kali ini. Setelah wawancara, saya merasa lebih puas karena dapat menggali informasi lebih banyak dari sebelumnya. Selain karena klien terbuka, saya juga lebih berminat di pendidikan daripada PIO, akhirnya dapat mengajukan lebih banyak pertanyaan.
Sumber: www.awe-inspiringquotes.com
    Praktik terakhir dalam konteks psikologi klinis yang terjadi hari ini. Merasa semangat, tentu "iya" jawabannya. Saya memang menyukai dunia psikologi klinis, ketika berbicara mengenai psikologi abnormal saya sangat tertarik untuk mendengarkan. Kali ini mendapatkan kesempatan praktik dalam hal itu, tentu saya semangat. Saya mengingat pengalaman dosen bahwa dalam konteks klinis pun harus berhati-hati dalam hal kecil, misalnya berjabat tangan. Akhirnya saya berperan sedikit pasif untuk berjabat tangan, lebih baik menunggu klien yang melakukannya saja. Dalam praktik sesungguhnya, saya tidak dapat mengetahui apa gangguan seseorang. Mungkin saja gangguan itu membuatnya sensitif sekali terhadap sentuhan, dapat menjadi  berlebihan reaksinya atau menjadi tidak nyaman, itulah alasannya saya tidak berjabat tangan terlebih dahulu. Di satu sisi saya merasa kurang nyaman dengan tidak berjabat tangan, sebagai gantinya saya bermain dengan intonasi suara untuk terkesan ramah (semoga saja berhasil). Ketika klien masuk, klien langsung menampilkan salah satu gejala gangguan yang diangkat menjadi topik wawancara saya. Klien pun berperan menjadi pencemas yang berlebihan. Ternyata itu membuat saya hampir mengalihkan perhatian hanya pada simtom yang diperankannya dan langsung memikirkan kriteria gangguan psikologis.
     "Please.. please... jangan sekarang kalau distract...." yang saya pikirkan saat itu. Supaya dapat mengembalikan perhatian, saya mulai bertanya mengenai diri klien, keluarganya, dan teman-temannya untuk menelusuri simtomnya secara perlahan dari aspek lain. Selama menjawab pertanyaan, klien pun tetap menampilkan simtom-simtom itu. Akhirnya saya mencoba fokus pada poin-poin jawabannya, lalu baru mulai mencoba menempatkan diri sebagai pencemas berlebihan. Ternyata hal ini membuat saya lebih mampu fokus pada alur ceritanya dan menangkap perasaan klien, merangkumnya sebagian dan melanjutkan wawancara sampai pada rangkuman akhir. Ternyata dalam kasus klinis, salah satu tantangannya adalah perhatian yang mudah terpecah ketika melihat simtom. Dengan langsung mengklasifikasikannya ke dalam gangguan, tentu bukan cara yang benar. Seorang klien harus diterima apa adanya, termasuk pengalaman masa lalunya yang mengakibatkan simtom itu muncul. Itulah pelajaran yang saya dapatkan dalam latihan ini.

     Melalui serangkaian proses latihan ini, ternyata ada perubahan yang saya alami. Awalnya dapat dikatakan saya ini penakut kalau diminta wawancara. Pikiran-pikiran bahwa saya ini lebih lemah dari klien selalu muncul. Selama wawancara pun cenderung merasa gugup karena terlalu fokus pada pikiran itu, akibatnya menjadi bingung ingin menanyakan apa pada klien. Bahkan sudah berkali-kali wawancara, ada saja aspek keterampilan wawancara yang dilupakan, itulah gunanya latihan agar semakin mahir wawancara. Melalui proses ini saya mulai belajar bahwa pewawancara dan klien sama derajatnya dalam hal wawancara. Asalkan fokus pada cerita klien, pengalamannya, dan apa yang dipikirkan/dirasa olehnya memampukan kita mengajukan pertanyaan. Kecenderungan menutup diri selalu ada pada setiap klien, tergantung pada apa yang kita lakukan untuk membuka pertahanannya, masuk ke dalam dunianya, dan memahaminya lebih dalam. Keterampilan wawancara memang bukan hal yang sederhana, tetapi kompleks. Sesuatu yang kompleks memang terlihat sulit, tetapi melalui latihan berkali-kali, hal itu akan menjadi menarik. Menarik untuk dikuasai, menarik untuk dipraktikkan, dan menarik untuk dikembangkan.
 
20 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar