Topik sama, sensasi berbeda. Selama ini
hanya berbicara mengenai keterampilan wawancara, sekarang sudah mengarah
kepada praktiknya. Seperti yang sering kita dengar, dunia teori dan
dunia praktik berbeda. Seseorang yang hebat dalam hal teori belum tentu
hebat dalam hal praktik, berlaku pula sebaliknya, bahkan ada yang unggul
dalam kedua dunia tersebut. Kuncinya adalah belajar, belajar, dan
belajar. Penerapan praktik wawancara dalam psikologi itu luas, tetapi
kali ini hanya sempat mencicipi sebagian kecilnya saja, yaitu satu kasus
konteks psikologi industri organisasi (PIO), satu kasus psikologi
pendidikan, dan satu kasus psikologi klinis, serta satu pengalaman
praktik wawancara di panti sosial tuna daksa. Kesempatan-kesempatan ini
adalah kesempatan yang langka, kapan lagi memasuki laboratorium
wawancara, lalu berperan sebagai pewawancara, klien, dan pengamat?
Bahkan sempat menjadi pewawancara sekaligus pengamat dalam wawancara
sesungguhnya bersama seorang tuna daksa.
Sumber: zamadi.blogspot.com |
Pertama kali memasuki laboratorium, jujur saja saya merasa sangat
gugup karena merasa bingung dimana pengamatnya (padahal bersembunyi di
balik dinding tipis dan sedang asyik mengamati), kurang menguasai PIO,
dan langsung dihadapkan pada seorang senior yang berperan sebagai klien.
Saya seringkali menghela napas, mengintip panduan pertanyaan ketika
bingung apa yang ingin ditanyakan, ditambah lagi gugup karena yang saya
hadapi adalah senior yang saya tidak kenal dan sorot matanya mengerikan
menurut saya (padahal orangnya ramah). Selama wawancara, teringat
perkataan dosen di kelas, "Kamu ga perlu takut sama siapa yang kamu
wawancara, sekalipun dia profesor. Dalam wawancara kalian itu sederajat,
tidak perlu merasa lebih rendah darinya atau semacamnya."
Perlahan-lahan perasaan gugup itu hilang ketika mulai berfokus pada
cerita klien dan mengabaikan persepsi menyeramkan itu. Ternyata fokus
itu berlebihan, menyebabkan saya terlalu asyik mencatat sampai melupakan
kontak mata dengan klien. Bahkan intonasi suara pun menjadi terkesan
kurang ramah dan lupa merangkum cerita klien dari awal sampai akhir.
Pertahanan pada klien diibaratkan sebagai lapisan yang harus ditembus untuk mengerti seperti apa sisi dalamnya. Sumber: specialtyfabricsreview.com |
Setelah episode itu berlalu, langsung dihadapkan pada seorang tuna
daksa dari panti sosial. Sebelumnya saya belum pernah wawancara dengan
klien yang cukup sensitif. Awalnya, saya berpikir, "Okay, harus
hati-hati waktu bicara, sekali salah habislah sudah." JREENGGG!!!
Seorang subyek pun muncul di hadapan kami, pertanyaan dari kakak
pembimbing hanya satu, "Siapa yang bersedia wawancara Bapak ini?" Rasa
"malu-malu kucing" bercampur perasaan takut salah menjadi "galau."
Tiba-tiba saya didorong sedikit dari belakang dan dikatakan "Udah,
jangan malu-malu." Menelan air liur sendiri untuk menahan rasa galau,
saya pun berjalan perlahan ke arah Bapak tersebut sambil mengingat
kesalahan-kesalahan saat wawancara dalam konteks PIO. Pertama kali
tentunya saya sapa terlebih dahulu, berbincang-bincang sebentar agar
kami merasa nyaman, wawancara pun dimulai. Di satu sisi saya bingung
karena klien cenderung menutup diri (defensif) karena trauma, di satu
sisi saya merasa ini kesempatan bagus untuk latihan menggali informasi
dari seseorang yang defensif. Sebelumnya saya memang tidak tahu harus
berbuat apa, tetapi saya mencobanya dengan mengingatkan bahwa Beliau
boleh mengungkapkan perasaannya dan tidak perlu malu-malu, Beliau boleh
bercerita supaya merasa lebih ringan. BINGO! Kesuksesan pertama, Beliau
mulai membuka dirinya perlahan-lahan.
Namun ada kesulitan lainnya, ketika dilontarkan pertanyaan lain
Beliau dapat menjawab dengan lanjutan jawaban sebelumnya, padahal sudah
selesai menjawab. "Ada apa sebenarnya dengan Bapak ini?" Saya mencoba
menelusuri ceritanya, dan memperbolehkan Beliau melanjutkan cerita
sampai dirasa cukup (saat emosinya sudah tampak dari ekspresi wajahnya).
Kemudian saya lanjutkan pertanyaan berikutnya, untungnya Bapak tersebut
dapat menjawab keluar dari cerita itu dan sesuai pertanyaannya.
Peristiwa ini terjadi berkali-kali, kesannya hanya berputar-putar dalam
topik yang sama. Di tengah wawancara saya terkejut karena Beliau
menangis, hampir saja terlarut dalam perasaannya. Mungkin karena terlalu
lelah belum terbiasa dengan hal ini, lagi-lagi saya lupa merangkum
wawancaranya (satu kesalahan terulang). Pengalaman yang cukup sulit bagi
pemula, tetapi saya merasa puas karena dapat membantu Bapak ini dengan
membuatnya bercerita mengeluarkan emosinya yang terpendam, kemudian
menutupnya kembali agar Beliau tetap tersenyum seperti semula.
Lagi-lagi kami kembali ke dalam
laboratorium untuk latihan wawancara dalam konteks psikologi pendidikan
dan psikologi klinis. Entah mengapa saat latihan konteks pendidikan,
bibir ini bergerak seperti otomatis. Pertanyaan terus keluar setelah
mendengar cerita klien, hampir tidak mengintip catatan. Usaha melakukan
kontak mata pun lebih banyak daripada sebelumnya (meskipun klien tidak
menanggapinya). Mungkin karena kasus pendidikan itu cukup menarik, saya
terlalu fokus pada kontennya saja, sehingga saya tidak ingat untuk
merangkumnya dari aspek perasaan klien, setidaknya saya sudah merangkum
wawancara kali ini. Setelah wawancara, saya merasa lebih puas karena
dapat menggali informasi lebih banyak dari sebelumnya. Selain karena
klien terbuka, saya juga lebih berminat di pendidikan daripada PIO,
akhirnya dapat mengajukan lebih banyak pertanyaan.
Sumber: www.awe-inspiringquotes.com |
Praktik terakhir dalam konteks psikologi klinis yang terjadi hari
ini. Merasa semangat, tentu "iya" jawabannya. Saya memang menyukai dunia
psikologi klinis, ketika berbicara mengenai psikologi abnormal saya
sangat tertarik untuk mendengarkan. Kali ini mendapatkan kesempatan
praktik dalam hal itu, tentu saya semangat. Saya mengingat pengalaman
dosen bahwa dalam konteks klinis pun harus berhati-hati dalam hal kecil,
misalnya berjabat tangan. Akhirnya saya berperan sedikit pasif untuk
berjabat tangan, lebih baik menunggu klien yang melakukannya saja. Dalam
praktik sesungguhnya, saya tidak dapat mengetahui apa gangguan
seseorang. Mungkin saja gangguan itu membuatnya sensitif sekali terhadap
sentuhan, dapat menjadi berlebihan reaksinya atau menjadi tidak
nyaman, itulah alasannya saya tidak berjabat tangan terlebih dahulu. Di
satu sisi saya merasa kurang nyaman dengan tidak berjabat tangan,
sebagai gantinya saya bermain dengan intonasi suara untuk terkesan ramah
(semoga saja berhasil). Ketika klien masuk, klien langsung menampilkan
salah satu gejala gangguan yang diangkat menjadi topik wawancara saya.
Klien pun berperan menjadi pencemas yang berlebihan. Ternyata itu
membuat saya hampir mengalihkan perhatian hanya pada simtom yang
diperankannya dan langsung memikirkan kriteria gangguan psikologis.
"Please.. please... jangan sekarang kalau distract...."
yang saya pikirkan saat itu. Supaya dapat mengembalikan perhatian, saya
mulai bertanya mengenai diri klien, keluarganya, dan teman-temannya
untuk menelusuri simtomnya secara perlahan dari aspek lain. Selama
menjawab pertanyaan, klien pun tetap menampilkan simtom-simtom itu.
Akhirnya saya mencoba fokus pada poin-poin jawabannya, lalu baru mulai
mencoba menempatkan diri sebagai pencemas berlebihan. Ternyata hal ini
membuat saya lebih mampu fokus pada alur ceritanya dan menangkap
perasaan klien, merangkumnya sebagian dan melanjutkan wawancara sampai
pada rangkuman akhir. Ternyata dalam kasus klinis, salah satu
tantangannya adalah perhatian yang mudah terpecah ketika melihat simtom.
Dengan langsung mengklasifikasikannya ke dalam gangguan, tentu bukan
cara yang benar. Seorang klien harus diterima apa adanya, termasuk
pengalaman masa lalunya yang mengakibatkan simtom itu muncul. Itulah
pelajaran yang saya dapatkan dalam latihan ini.
Melalui serangkaian proses latihan
ini, ternyata ada perubahan yang saya alami. Awalnya dapat dikatakan
saya ini penakut kalau diminta wawancara. Pikiran-pikiran bahwa saya ini
lebih lemah dari klien selalu muncul. Selama wawancara pun cenderung
merasa gugup karena terlalu fokus pada pikiran itu, akibatnya menjadi
bingung ingin menanyakan apa pada klien. Bahkan sudah berkali-kali
wawancara, ada saja aspek keterampilan wawancara yang dilupakan, itulah
gunanya latihan agar semakin mahir wawancara. Melalui proses ini saya
mulai belajar bahwa pewawancara dan klien sama derajatnya dalam hal
wawancara. Asalkan fokus pada cerita klien, pengalamannya, dan apa yang
dipikirkan/dirasa olehnya memampukan kita mengajukan pertanyaan.
Kecenderungan menutup diri selalu ada pada setiap klien, tergantung pada
apa yang kita lakukan untuk membuka pertahanannya, masuk ke dalam
dunianya, dan memahaminya lebih dalam. Keterampilan wawancara memang
bukan hal yang sederhana, tetapi kompleks. Sesuatu yang kompleks memang
terlihat sulit, tetapi melalui latihan berkali-kali, hal itu akan
menjadi menarik. Menarik untuk dikuasai, menarik untuk dipraktikkan, dan
menarik untuk dikembangkan.
20 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar