Minggu, 26 Mei 2013

First Experience (Melisa Lie)

     Melakukan wawancara di sebuah ruangan yang tidak ada orang lain, dan duduk berhadapan dengan interviewee adalah pengalaman baru bagi saya. Saya pernah melakukan wawancara, tetapi saya tidak pernah mencoba praktek langsung selayaknya psikolog yang sedang mewawancarai kliennya. Dengan berpakaian selayaknya psikolog sungguhan, saya melakukan wawancara dengan interviewee yang berbeda-beda dan unik.

     Dalam wawancara pertama kali, saya sungguh amat "deg-deg"an karena ini adalah kali pertama saya melakukan wawancara secara formal. Saat itu, kami semua diberi tema mengenai PIO dan kelompok kami memilih topik mengenai rekrutmen. Pada awalnya, saya masuk ke ruangan praktikum dan kemudian interviewee masuk ke ruangan tersebut. Dari awal sampai pertengahan lumayan lancar, menurut saya. Tetapi ada lucunya juga. Saya merasa interviewee tidak menyiapkan apa yang akan dijawab ketika wawancara, alhasil interviewee menjawab pertanyaan agak berlebihan tetapi lucu. Hal itu karena interviewee saat ditanyakan pertanyaan-pertanyaan tertentu, dia langsung menjawab dengan suara kecil, "Aduh, gaji ya. Berapa ya gajinya?" atau "Aduh, kerjanya dulu dimana ya?". Jujur saya ingin sekali rasanya untuk tertawa tapi saya berusaha menahan dengan menggigit bibir saya agar tidak tertawa dan untungnya berhasil. Untungnya, wawancara berjalan lancar sampai akhir, saya juga tidak lupa memberikan sumarizing, memberikan salam, dan mengucapkan terima kasih.

     Pada wawancara yang kedua, saya merasa agak lebih menurun dibandingkan wawancara pertama. Saya sudah menghafal setiap pertanyaan dan sudah latihan bersama teman saya. Interviewee yang saya wawancarai sangat pasif sekali. Saat ditanya sesuatu, ia hanya menjawab sepotong-sepotong dan seolah-olah ia tidak memiliki masalah padahal topik kelompok kami adalah mengenai penurunan prestasi belajar. Awal-awal saya bingung ingin bertanya apa, tetapi akhirnya di tengah-tengah, interviewee mulai bercerita mengenai masalahnya. Di akhir-akhir wawancara, saya merasa kebingungan lagi ingin bertanya apa karena semua pertanyaan telah dijawab sehingga ada satu pertanyaan yang saya ulang lagi. Pada wawancara kali ini, saya berusaha lebih rileks dibandingkan dengan wawancara sebelumnya. Jika memang ada yang lucu, saya tertawa tetapi tetap pada konteks dan tidak berlebihan. Saya rasanya ingin tertawa saat interviewee berkata bahwa ia suka mengantuk di kelas dan memang benar bahwa di kelas sesungguhnya, interviewee sering terlihat tidur di kelas.

     Pada wawancara yang ketiga, saya benar-benar merasa mengalami penurunan karena di pertengahan wawancara, saya benar-benar tidak dapat menahan tawa. Hal itu karena yang menjadi interviewee adalah teman yang cukup dekat dan topik yang diambil adalah tentang kecanduan belanja. Alhasil, interviewee bercerita kalau ia adalah seorang istri pejabat dan cara berbicaranya benar-benar seperti ibu-ibu. Jadi dari ketiga pengalaman wawancara tersebut, saya memiliki kelemahan yaitu mudah sekali tertawa sehingga saya harus berlatih bagaimana menahan tawa. Namun secara teknis, saya merasa sudah melakukan hal-hal yang saya lakukan seperti memberikan salam saat interviewee datang, mempersilakan duduk,membina rapport, meminta izin merekam, menggunakkan kontak mata, posisi tangan yang tidak terlalu dominan, melakukan sumarizing, memberikan salam penutup, dan membukakan pintu.

     Pengalaman wawancara juga tidak hanya didapatkan di ruang praktikum tetapi di panti tuna daksa. Itu adalah kali pertama saya mengunjungi tempat tersebut dan disana saya melihat banyak orang-orang yang kehilangan anggota tubuhnya atau ada anggota tubuhnya yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Awalnya, saya merasa bingung karena hampir semua orang telah diwawancarai dan ada beberapa yang tidur sehingga waktu itu saya terancam tidak mendapatkan subjek. Namun beberapa lama kemudian, saya dianjurkan untuk mewawancarai subjek yang telah diwawancarai sebelumnya. Beliau adalah seorang bapak-bapak yang mengalami tremor dimana kakinya bergetar tidak terkendali. Alhasil, beliau tidak dapat berjalan dan duduk di kursi roda padahal dulunya beliau bekerja mencari nafkah sendiri. Saya melihat ada kekuatan dan optimisme di dalam hidupnya. Saya tau banyak alasan yang membuat dirinya menyerah pada kehidupan, kecewa, pesimis, dsb tetapi beliau memilih untuk tetap tegar dan memandang ke depan. Di panti tersebut saya belajar untuk menjadi pribadi yang lebih empati pada orang lain, belajar merasakan apa yang orang lain rasakan.
 
22 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar