Setelah
3 minggu menjalani praktek
wawancara mulai sejak di dalam Kampus dan di Panti, saya sangat
bersyukur karena
dari sana, saya mendapat banyak pengalaman dan juga bertambahnya jam
terbang
saya dalam wawancara. Mengingat mewawancarai seseorang merupakan sebuah
ketrampilan, maka latihan adalah dasar awalnya, meskipun seseorang
mengerti dengan benar tentang teori dasar dari teknik wawancara tetapi
tanpa pernah melatih dan
mempraktekkan pada orang lain, maka seseorang tidak akan pernah menjadi
ahli
sebagai pewawancara. Saya melihat dari praktek yang sudah, ada isitlah
yang
tepat yaitu “Bisa karena Biasa” maka
dalam praktek wawancara dengan sering melatihnya berulang-ulang maka kita akan bisa
menjadi pewawancara yang baik.
Dalam praktikum di kampus ada
pengalaman menarik, pengalaman menariknya adalah dapat bermain peran
seolah-olah menjadi seorang Psikolog (Psikolog IO, Psikolog Pendidikan,
Psikolog Klinis) yang benaran, karena settingnya seolah-olah nyata, saya merasa
ada keyakinan dalam diri saya, apalagi ditambah teman-teman di kampus sangat
baik sekali dalam memerankan sebagi seorang klien. Setiap sesi persesi saya
berusaha menunjukkan kompentesi saya mulai membuka pintu, menyapa, mempersilahkan
duduk, membina rapport sampai mendapatkan informasi. Ketika klien menjawab
pertanyaan saya, membuat diri saya
berlatih terbuka dalam merespon jawaban yang dilontarkan sambil latihan mengobservasi
perilaku yang ditampilkan.
Selain
itu pengalaman yang tidak terlupakan adalah saat pertanyaan yang saya berikan
dan ternyata jawabannya berbeda, maka saya perlu memutar pikiran saya, agar
proses wawancara berjalan dengan baik. Memang klien memiliki hak untuk menjawab
yang dia mau serta jawaban itu tidak harus sama dengan yang saya mau, dan ini
justru memacu saya untuk membuat pertanyaan baru yang memang belum ada dalam
daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Untungnya meskipun waktu yang diberikan
hanya 10 menit sebagai pewawancara saya berusaha untuk selalu sadar pada
informasi apa yang ingin saya dapatkan dari wawancara saat itu.
Pengalaman
saat menjadi observer, ada pengalaman yang mungkin hanya sekedar pengalaman
bukan niat merendahkan orang lain. waktu itu ada teman saya yang berperan
menjadi pewawancara saat itu dia sudah mulai kehabisan daftar pertanyaan
bukannya membuat inisiatif bertanya malahan sibuk bolak-balik lembar daftar
pertanyaan. Semacam orang sedang bingung mau melakukan apalagi. Saya belajar
dari sini bahwa seyogyanya sebagai pewawancara, meski selalu siap membuat
pertanyaan baru ketika kehabisan pertanyaan apalagi ketika informasi yang dimau belum didapatkan.
Pada
waktu di panti lanjut usia di Grogol, ada pengalaman yang membuat sadar inilah
kehidupan dan akhirnya seperti merekalah kita nantinya. Dimana tidak ada lagi
kecantikan dan ketampanan, tidak ada lagi wangi-wangian, yang tercium hanya
aroma minyak kayu putih bercambur aroma bekas air kencing. Saat Kak Tasya memperbolehkan mulai wawancara
saya bingung awalnya, karena berpikir mau wawancara yang mana ini, saya
berjalan menyusuri kamar-kamar mereka, sampailah dibagian ujung kamar yang
dihuni oleh tiga orang lansia. Mereka umumnya sudah susah untuk berjalan dan
berjalannya pun merangkak, ketika melihat itu sedih rasanya. Tapi mau
bagiamana? Dengan niat yang sudah ada saya memperkenalkan diri, menjelaskan
niat dan tujuan saya pada mereka dan akhirnya salah satu dari mereka bersedia
saya wawancarai.
Selama
wawancara di panti dengan subyek pengalaman yang harus dipegang adalah
pentingnya sikap sabar. Sebab dengan
sabar kita akan mendapat informasi yang lengkap dan subyek juga merasa senang
dengan kehadiran kita. Selain sabar kita perlu berempati agar minimal kita tahu
bagaimana kondisi dia sehingga kita tidak menjadi muncul rasa tidak suka, atau
bahkan membuat penilaian yang salah tentang mereka.
26 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar