Kehidupan seksual tidak hanya sebatas kenikmatan menjalin hubungan
seksual. Ada beberapa di antara kita yang tidak dapat merasakan
kenikmatan itu, salah satu faktornya mereka mungkin mengalami disfungsi
seksual. Kata "disfungsi" harus dibedakan dengan masalah-masalah umum
yang terjadi dalam kehidupan seksual, karena sudah berbeda konteksnya.
Permasalahan umum itu meliputi kurangnya rangsangan, kurangnya hasrat,
dan tidak mampu rileks. Umumnya permasalahan ini tidak selalu terjadi
dalam kehidupan seksual seseorang. Berbeda halnya dengan disfungsi
seksual, sebab yang satu ini sudah mengarah pada gangguan-gangguan pada
kehidupan seksual, baik karena faktor fisiologis, maupun psikologis
(Carroll, 2010). Apakah setiap individu dapat mengalaminya? Bagaimana
dengan individu yang mengalami disabilitas? Apakah mereka juga mengalami
disfungsi seksual?
Faktor-faktor psikologis yang dapat berpengaruh pada fungsi
seksual, antara lain takut, stres, kecemasan, depresi, rasa bersalah,
marah, ketidaksetiaan, dan lain-lain. Kita pilih satu contoh, "takut"
misalnya. Ketika merasa takut, apa yang kita lakukan? Ada yang
menghindar dari objek/situasinya, ada juga yang membuat objek/situasi
itu tidak ada dari hadapannya. Sama halnya dalam berhubungan seksual,
ketika rasa takut ini ada, mau melakukannya atau tidak? Anggap saja
orang ini tetap melakukan hubungan seksual meskipun takut. Jangan lupa,
faktor psikologis dan fisiologis itu berkesinambungan. Ada kemungkinan
rasa takut itu cukup besar, sehingga kualitas hubungan seksualnya
menurun. Konsepnya, kedua pihak harus sama-sama nyaman dan senang baru
akan efektif hubungannya. Kalau salah satu saja pasangan hanya fokus
melawan rasa takut bukan menikmati hubungan dengan pasangannya,
bagaimana fisiknya akan merespon? Saat kita berpikir sesuatu yang
nyaman, tubuh akan menyesuaikannya dengan pikiran, hasilnya kita merasa
nyaman. Sebaliknya, jika kita berpikir sesuatu itu menakutkan, tubuh pun
akan menyesuaikannya, hasilnya kita merasa takut dan tidak dapat
menikmati hubungan seksual dengan pasangan, juga dapat disertai tidak
muncul reaksi fisiologis dan psikologis terhadap rangsang dalam hubungan
seksual. Faktor-faktor fisik tentunya faktor yang berkaitan dengan
tubuh kita sendiri, misalnya rasa sakit, disabilitas, dan obat-obatan.
Penekanannya tetap sama, nyaman atau tidak? cukup ini saja
pertanyaannya. Misalkan salah satu faktornya adalah "rasa sakit," kalau
sakit merasa nyaman atau tidak? Ketika merasa sakit kita cenderung
berfokus pada rasa sakit tersebut, sehingga kenikmatan yang seharusnya
dirasakan dalam hubungan seksual menjadi terabaikan. Akibatnya hubungan
seksual menjadi tidak efektif, reaksi fisiologis dan psikologis terhadap
rangsang dalam hubungan seksual pun tidak muncul.
Setelah memahami faktornya, kita sudah mulai mampu memahami
gangguan atau disfungsi seksual. Secara umum, gangguan ini dapat
diklasifikasikan menjadi sexual desire disorder, sexual arousal disorder, orgasm disorder, sexual pain disorder, dan sexual dysfunction due to a general medical condition. Sexual desire disorder dicirikan
dengan rendahnya dorongan seksual, bersifat sangat subyektif dan dapat
merupakan pengaruh dari norma sosial. Berbeda halnya dengan sexual arousal disorder, seseorang
mungkin saja memiliki keinginan seksual, tetapi mengalami kesulitan
dalam mencapai atau mempertahankan gairah seksualnya. Sexual orgasm disoder berkaitan
dengan gangguan yang diasosiasikan dengan "orgasme" (kepuasan dalam
hubungan seksual), misalnya wanita yang sulit mencapai rasa puas
dikarenakan masalah dengan seseorang tanpa adanya masalah medis, atau
pria yang terlalu cepat ejakulasi saat berhubungan (Kring, 2010).
Sedangkan sexual pain disorder ditandai dengan rasa
sakit/kekejangan saat berhubungan seksual tanpa masalah medis.
Kesimpulannya, empat gangguan pertama itu tidak dikarenakan masalah
medis (fisik), sedangkan sexual dysfunction due to a general medical condition adalah yang diakibatkan faktor fisik.
Sejak awal kita berbicara mengenai salah satu aspek kehidupan
seksual pada individu yang tidak mengalami disabilitas. Namun,
bagaimanakah kehidupan seksual penyandang disabilitas? Kita pilih sebuah
contoh, misalnya seseorang yang mengalami Down's syndrome. Di
masyarakat mereka dipandang sebagai golongan individu yang lemah secara
fisik dan berinteligensi rendah, Memang benar, mereka seperti itu,
tetapi apakah mereka terbatas dalam semua hal? Yakin?? Sebagai manusia,
mereka pun memiliki kebutuhan yang sama seperti manusia yang tidak
mengalami disabilitas pada umumnya, termasuk kebutuhan seksual. Mereka
butuh rasa sayang dan perhatian sama seperti kita semua. Sebelumnya saya
hanya pernah bertemu dengan seorang anak yang mengalami disabilitas ini
sebelum belajar psikologi, bahkan saya tidak mengenalnya. Saya hanya
mengetahui orangtuanya memberikan perhatian dan rasa sayang yang besar
bagi anak ini, saya penasaran apa yang menjadi kelebihan dari anak ini.
http://www.99fm.com.na/wp-content/uploads/2013/03/down-syndrome.jpg |
Ketika mengikuti seminar berjudul "Half Day with Down's Syndrome"
akhirnya muncul gambaran baru. Di dalam seminar ini, kami berkesempatan
bertemu langsung dengan sekelompok anak dengan disabilitas ini.
Ternyata mereka mampu bermain musik, bernyanyi, bahkan ada yang mampu
meraih juara satu untuk olahraga renang. Ada pula ungkapan bahwa mereka
lebih stabil secara emosional daripada orang yang tidak mengalami
disabilitas. Mengesankan bukan? Di dalam seminar ini pun disinggung
bagaimana kehidupan seksual si anak dari persepsi orangtuanya.
Orangtuanya mengungkapkan bahwa saat dia SMP, dia pernah berkata, "Ma,
dia (teman perempuannya yang tidak mengalami disabilitas) cakep ma,
kayaknya aku suka deh sama dia." Seperti yang kita tahu, saat mencapai
usia SMP, ketertarikan seksual itu sudah mulai muncul, seringkali
dikatakan sebagai "cinta monyet." Ini merupakan salah satu bukti ia
ingin kebutuhan seksualnya terpenuhi, apa bedanya dengan anak-anak
lainnya? Pada usia ini memang itulah yang terjadi pada anak yang
mengalami disabilitas, maupun tidak. Tidak tertutup kemungkinan pula
seseorang dengan Down's syndrome juga dapat mengalami disfungsi
seksual, karena perkembangan seksual mereka itu tidak terhambat dan
berlangsung seperti anak-anak pada umumnya. Mungkin saja seorang anak
dengan Down's syndrome terbatas secara motorik dan inteligensi, tetapi mereka masih sama seperti kita pada dasarnya.
~Secara penampilan memang berbeda, tetapi selalu ada kesamaan di antara kita semua~
Referensi:
Carroll, J. L. (2010). Sexuality now: embracing diversities (3rd ed.). Belmont, CA: Wadsworth.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. (2010). Abnormal psychology (11th ed.).
Wiley & Sons. New Jersey, NJ: Wiley & Sons.
31 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar