Rabu, 01 Mei 2013

Satu Aspek Kehidupan Seksual (Arief NC)

Kehidupan seksual tidak hanya sebatas kenikmatan menjalin hubungan seksual. Ada beberapa di antara kita yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu, salah satu faktornya mereka mungkin mengalami disfungsi seksual. Kata "disfungsi" harus dibedakan dengan masalah-masalah umum yang terjadi dalam kehidupan seksual, karena sudah berbeda konteksnya. Permasalahan umum itu meliputi kurangnya rangsangan, kurangnya hasrat, dan tidak mampu rileks. Umumnya permasalahan ini tidak selalu terjadi dalam kehidupan seksual seseorang. Berbeda halnya dengan disfungsi seksual, sebab yang satu ini sudah mengarah pada gangguan-gangguan pada kehidupan seksual, baik karena faktor fisiologis, maupun psikologis (Carroll, 2010). Apakah setiap individu dapat mengalaminya? Bagaimana dengan individu yang mengalami disabilitas? Apakah mereka juga mengalami disfungsi seksual?
     Faktor-faktor psikologis yang dapat berpengaruh pada fungsi seksual, antara lain takut, stres, kecemasan, depresi, rasa bersalah, marah, ketidaksetiaan, dan lain-lain. Kita pilih satu contoh, "takut" misalnya. Ketika merasa takut, apa yang kita lakukan? Ada yang menghindar dari objek/situasinya, ada juga yang membuat objek/situasi itu tidak ada dari hadapannya. Sama halnya dalam berhubungan seksual, ketika rasa takut ini ada, mau melakukannya atau tidak? Anggap saja orang ini tetap melakukan hubungan seksual meskipun takut. Jangan lupa, faktor psikologis dan fisiologis itu berkesinambungan. Ada kemungkinan rasa takut itu cukup besar, sehingga kualitas hubungan seksualnya menurun. Konsepnya, kedua pihak harus sama-sama nyaman dan senang baru akan efektif hubungannya. Kalau salah satu saja pasangan hanya fokus melawan rasa takut bukan menikmati hubungan dengan pasangannya, bagaimana fisiknya akan merespon? Saat kita berpikir sesuatu yang nyaman, tubuh akan menyesuaikannya dengan pikiran, hasilnya kita merasa nyaman. Sebaliknya, jika kita berpikir sesuatu itu menakutkan, tubuh pun akan menyesuaikannya, hasilnya kita merasa takut dan tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan pasangan, juga dapat disertai tidak muncul reaksi fisiologis dan psikologis terhadap rangsang dalam hubungan seksual. Faktor-faktor fisik tentunya faktor yang berkaitan dengan tubuh kita sendiri, misalnya rasa sakit, disabilitas, dan obat-obatan. Penekanannya tetap sama, nyaman atau tidak? cukup ini saja pertanyaannya. Misalkan salah satu faktornya adalah "rasa sakit," kalau sakit merasa nyaman atau tidak? Ketika merasa sakit kita cenderung berfokus pada rasa sakit tersebut, sehingga kenikmatan yang seharusnya dirasakan dalam hubungan seksual menjadi terabaikan. Akibatnya hubungan seksual menjadi tidak efektif, reaksi fisiologis dan psikologis terhadap rangsang dalam hubungan seksual pun tidak muncul. 
     Setelah memahami faktornya, kita sudah mulai mampu memahami gangguan atau disfungsi seksual. Secara umum, gangguan ini dapat diklasifikasikan menjadi sexual desire disorder, sexual arousal disorder,  orgasm disorder, sexual pain disorder, dan sexual dysfunction due to a general medical condition. Sexual desire disorder dicirikan dengan rendahnya dorongan seksual, bersifat sangat subyektif dan dapat merupakan pengaruh dari norma sosial. Berbeda halnya dengan sexual arousal disorder, seseorang mungkin saja memiliki keinginan seksual, tetapi mengalami kesulitan dalam mencapai atau mempertahankan gairah seksualnya. Sexual orgasm disoder berkaitan dengan gangguan yang diasosiasikan dengan "orgasme" (kepuasan dalam hubungan seksual), misalnya wanita yang sulit mencapai rasa puas dikarenakan masalah dengan seseorang tanpa adanya masalah medis, atau pria yang terlalu cepat ejakulasi saat berhubungan (Kring, 2010). Sedangkan sexual pain disorder ditandai dengan rasa sakit/kekejangan saat berhubungan seksual tanpa masalah medis. Kesimpulannya, empat gangguan pertama itu tidak dikarenakan masalah medis (fisik), sedangkan sexual dysfunction due to a general medical condition adalah yang diakibatkan faktor fisik.
     Sejak awal kita berbicara mengenai salah satu aspek kehidupan seksual pada individu yang tidak mengalami disabilitas. Namun, bagaimanakah kehidupan seksual penyandang disabilitas? Kita pilih sebuah contoh, misalnya seseorang yang mengalami Down's syndrome. Di masyarakat mereka dipandang sebagai golongan individu yang lemah secara fisik dan berinteligensi rendah, Memang benar, mereka seperti itu, tetapi apakah mereka terbatas dalam semua hal? Yakin?? Sebagai manusia, mereka pun memiliki kebutuhan yang sama seperti manusia yang tidak mengalami disabilitas pada umumnya, termasuk kebutuhan seksual. Mereka butuh rasa sayang dan perhatian sama seperti kita semua. Sebelumnya saya hanya pernah bertemu dengan seorang anak yang mengalami disabilitas ini sebelum belajar psikologi, bahkan saya tidak mengenalnya. Saya hanya mengetahui orangtuanya memberikan perhatian dan rasa sayang yang besar bagi anak ini, saya penasaran apa yang menjadi kelebihan dari anak ini. 
http://www.99fm.com.na/wp-content/uploads/2013/03/down-syndrome.jpg
     Ketika mengikuti seminar berjudul "Half Day with Down's Syndrome" akhirnya muncul gambaran baru. Di dalam seminar ini, kami berkesempatan bertemu langsung dengan sekelompok anak dengan disabilitas ini. Ternyata mereka mampu bermain musik, bernyanyi, bahkan ada yang mampu meraih juara satu untuk olahraga renang. Ada pula ungkapan bahwa mereka lebih stabil secara emosional daripada orang yang tidak mengalami disabilitas. Mengesankan bukan? Di dalam seminar ini pun disinggung bagaimana kehidupan seksual si anak dari persepsi orangtuanya. Orangtuanya mengungkapkan bahwa saat dia SMP, dia pernah berkata, "Ma, dia (teman perempuannya yang tidak mengalami disabilitas) cakep ma, kayaknya aku suka deh sama dia." Seperti yang kita tahu, saat mencapai usia SMP, ketertarikan seksual itu sudah mulai muncul, seringkali dikatakan sebagai "cinta monyet." Ini merupakan salah satu bukti ia ingin kebutuhan seksualnya terpenuhi, apa bedanya dengan anak-anak lainnya? Pada usia ini memang itulah yang terjadi pada anak yang mengalami disabilitas, maupun tidak. Tidak tertutup kemungkinan pula seseorang dengan Down's syndrome juga dapat mengalami disfungsi seksual, karena perkembangan seksual mereka itu tidak terhambat dan berlangsung seperti anak-anak pada umumnya. Mungkin saja seorang anak dengan Down's syndrome terbatas secara motorik dan inteligensi, tetapi mereka masih sama seperti kita pada dasarnya.
~Secara penampilan memang berbeda, tetapi selalu ada kesamaan di antara kita semua~

Referensi:
Carroll, J. L. (2010). Sexuality now: embracing diversities (3rd ed.). Belmont, CA: Wadsworth.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. (2010). Abnormal psychology (11th ed.).  
     Wiley & Sons. New Jersey, NJ: Wiley & Sons.
 
31 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar