Rabu, 01 Mei 2013

Infeksi Fisik, Sakit Secara Mental (Arief NC)

Setiap penyakit  tidak ada yang enak pada dasarnya. Ada saja keluhan sakit ini dan itu, baik secara fisik maupun mental. Penyakit Menular Seksual (PMS) atau Sexually Transmitted Infections (STI) pun sama seperti itu. Siapapun yang mengalami STI sama seperti kita yang tidak mengalaminya, mereka tidak memilih untuk sakit, tetapi sakit itu yang datang pada mereka. Secara sederhana, STI merupakan penyakit yang dapat menular pada saat berhubungan seksual dengan pasangan. Dampak yang dirasakan penderita tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental.
     Penggolongan STI secara garis besar meliputi ectoparasitic infections (disebabkan parasit di luar tubuh, misal: pubic lice & scabbies), bacterial infections (disebabkan oleh bakteri, misal: gonorrhea, syphilis, chlamydia, dan lain-lain), viral infections (disebabkan oleh virus, misal: herpes, human papillomavirus, & hepatitis), ada pula yang namanya AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyebab STI beragam bukan? Bagaimana infeksi-infeksi ini dapat terdeteksi oleh kita? Ada beberapa infeksi yang dapat dilihat secara kasat mata atau dapat langsung dirasakan, sehingga dapat lebih cepat diberikan penanganan. Misalnya ada rasa gatal-gatal yang intens pada kulit sekitar 4-6 minggu setelah infeksi (scabbies). Atau munculnya "borok" pada area genital (chancroid). Agar tidak salah sangka itu adalah STI atau bukan, lebih baik langsung menemui dokter agar dapat memeriksanya secara lebih akurat. Penanganan medis tidak hanya sekadar penanganan setelah terjadinya infeksi, tetapi juga membuat kita mengetahui apa yang terjadi pada tubuh kita. Contohnya untuk mendeteksi genital warts yang muncul akibat human papillomavirus (HPV) dapat dilakukan biopsy, yaitu pengambilan sampel jaringan untuk diuji di laboratorium oleh ahli patologi (umumnya).
     Para penderita STI tidak hanya menderita secara fisik, tetapi mereka juga menderita secara mental. Beberapa STI dapat memunculkan gejala atau berdampak ke permukaan kulit. Entah kulitnya akan menjadi banyak bercak, banyak "bentol" yang gatal, ada, adanya "borok," dan sebagainya. Kalau munculnya "borok" di daerah genital seseorang mungkin tidak mengalami penderitaan mental separah yang memiliki "borok" di wajah misalnya, apalagi kalau dia adalah seseorang yang mementingkan penampilan. Ada pula seseorang yang tidak terlalu mementingkan penampilan, mereka mungkin berkata "ngapain sih lu kayak parno begitu, santai aja lagi.... Gue aja bisa kluar jalan-jalan, payah" Situasi yang sama dapat menghasilkan perbedaan persepsi di antara mereka, ada yang memersepsikan itu tidak ada masalah, ada yang menganggapnya masalah. Bahkan ada yang berkurangnya rasa percaya diri, menjadi pemalu, dan tidak berani bertemu orang lain karena masalah ini. Keinginan untuk membantu itu sangat bagus, tetapi alangkah baiknya kalau kita bayangkan dulu apa yang akan terjadi apabila kita melakukan sesuatu kepadanya. Contohnya dengan kata-kata sebelumnya, jika kita sebagai penderita STI dilontarkan kata-kata "ngapain sih lu kayak parno begitu, santai aja lagi.... Gue aja bisa kluar jalan-jalan, payah." Apa yang kita rasakan?
     Apa yang membuatnya kurang percaya diri setelah terinfeksi STI? Seperti apa pandangan masyarakat sekitar mengenai STI yang ia alami? Seperti apa reaksi dia terhadap komentar masyarakat mengenai STI yang dideritanya? Itu semua mungkin dapat menjadi sebagian kecil dari faktor-faktor penyebab berkurangnya rasa percaya diri. Masalah-masalah itu ada di dalam pikiran orang bersangkutan, sehingga masalahnya bukan hanya karena fisik tetapi lebih dari itu. Tidak tertutup kemungkinan dia memiliki pikiran irasional tertentu, misalnya "kalau mukaku jelek gara-gara STI, ga ada yang mau temenan sama aku..." Ini juga dapat menjadi masalah, cara mudah untuk melawannya adalah melawan dengan pikiran rasional, yaitu dengan logika,."Apa betul namanya berteman itu selalu melihat fisik?" Sebagai orang lain, kita berpikir masalahnya hanya STI yang membuatnya tidak percaya diri. Akan tetapi jangan pernah dilupakan, pemaknaan situasi oleh individu dan faktor lingkungan juga dapat berpengaruh. Seseorang yang mengetahui apa yang terjadi secara rinci adalah individu itu sendiri. Apabila dia berhasil menyadari masalah-masalahnya dan mengatasinya satu per satu, itu akan membuatnya lebih baik dan lebih percaya diri.
~Masalah sebenarnya bukanlah yang dapat dilihat, tetapi apa yang dirasakan~
 
26 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar