Rabu, 01 Mei 2013

Penderita HIV Bukanlah Musuh (Melisa Mel)

Kesehatan memang mahal harganya. Itulah ungkapan yang apling cocok ketika melihat orang-orang yang menderita penyakit salah satunya penyakit infeksi menular seksual. Di Indonesia sendiri, orang-orang yang mengalami infeksi menular seksual masih sangat awam untuk melapor atau coming out kepublik, karena biasanya mereka akan mendapatkan pengucilan dan perilaku yang buruk dari lingkungan sekitar. Stereotype masyarakat kita masih sangat tinggi terhadap penderita infeksi menular seksual. Sedangkan di Amerika Serikat, para penderita infeksi seksual yang menular diwajibkan untuk melapor ke CDC, tempat yang menampung laporan penderita sehingga mereka ditangani, dilindungi dan ditreatment untuk proses penyembuhan. Penyakit yang paling fenomenal dan belum ditemukan obatnya adalah AIDS yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) sendiri merupakan penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang pertama kali ditemukan saat 1981 di Amerika Serikat pada kalangan homoseksual. Penularan AIDS bisa melalui 3 jalur yakni hubungan seksual dimana adanya pertukaran cairan baik secara anal maupun oral (pemakaian kondom yang tidak benar, berhubungan seksual dengan adanya luka pada alat kelamin, berhubungan seksual hingga menyebabkan cedera dan pendarahan, berganti pasangan). Jalur kedua adalah melalui darah yang mengandung HIV (tranfusi darah oleh penderita HIV, pemakaian jarum suntik secara bergantian dan tidak steril, alat-alat yang menoreh kulit). Dan jalur terakhir adalah dari ibu pengidap HIV. Ibu yang mengidap HIV sangat memungkinkan anaknya untuk terkena AIDS tetapi tidak seratus persen pasti. Ibu yang mengidap HIV bisa mencegah hal itu dengan berhubungan seksual dengan pasangan dijam 2 pagi hari. Mengapa jam subuh itu? Hal ini dikarenakan pada jam tersebut sistem kekebalan tubuh ibu sedang pada puncaknya sehingga memungkinkan pencegahan HIV masuk pada ovum. Lalu pada proses kelahiran harus dengan sesar dimana anak tidak lahir pada lubang anal. Dan setelah itu anak diberikan obat-obatan untuk memperkuat sistem imunnya. Hal-hal seperti ini bisa mencegah anak mengidap HIV dari ibu penderita HIV.
Tes HIV bisa melalui 3 cara yakni tes Diptick, ELISA dan Western Blot. Sebelum menjalani tes ini individu sebaiknya diberikan konseling untuk menghadapi hasil tes nantinya baik positif maupun negatif. Kesehatan mental individu penting untuk dibenahi terlebih dahulu.
Sebagai mahasiswa psikologi kita patut berbicara dimuka umum dan menekankan bahwa penderita HIV tidak perlu dihindari dan dikucilkan. Justru kita harus membantu mereka untuk menemukan kembali semangat hidupnya. Mereka sudah cukup mendapatkan kecaman atas penyakit yang diderita dan kita tidak perlu lagi memberikan perilaku buruk terhadap mereka. Kita tidak akan tertukar dengan hanya bersentuhan, makan sepiring, bicara, memakai pakaiannya, batuk dan bersin dengan penderita HIV. Peranan psikolog berada pada 3 area yakni tindakan preventif, kuratif dan rehabilitasi tetapi kita paling penting berada diarea preventif untuk mencegah seperti kata pepatah mencegah lebih baik daripada mengobati. Kita dapat mencegah HIV dengan menggunakan kondom saat berhubungan seksual, mengecek darah saat akan ditranfusi, menghindari kehamilan bagi penderita HIV, tidak menggunakan jarum suntik secara bergantian dan menunda kehamilan apabila dirasa adanya luka pada alat kelamin, vagina terlalu kering dan kaku sehingga mudah terluka, oral sex dengan adanya luka dimulut dan mengurangi jumlah pasangan seks. So, kita tahu sekarang bahwa penderita HIV bukanlah musuh yang harus dihindari. Mereka adalah individu seperti kita yang memerlukan pertolongan lebih, jadi ayomi mereka dan perlakukan mereka selayaknya individu normal.

26 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar