Jumat, 03 Mei 2013

Care for One Self and the People with STI dan HIV/AIDS (Melly Preston)

Tanggal 25 April 2013, kelas Perilaku Seksual membahas tentang Sexually Transmitted Infections (STI). Di dalam STI termasuk pubic lice, gonorrhea, sifilis, herpes, Human Papiloma Virus, chlamydia, viral hepatitis, dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penyebaran STI disebutkan paling banyak melalui hubungan seksual yang tidak aman, salah satunya Seks Bebas.

Di sepanjang kelas, saya terus bertanya-tanya berkaitan dengan hal ini. Mengapa ada penyakit-penyakit di dunia ini, khususnya yang termasuk STI dan AIDS? Mengapa Tuhan menciptakan penyakit infeksi yang menakutkan seperti itu yang beberapa di antaranya belum ada penyembuhnya dan bahkan mematikan? Pertanyaan ini semakin meruncing ketika saya mengetahui bahwa STI lebih rentan bagi para wanita dan para remaja, remaja wanita khususnya. Why should be female?

Teori menjelaskan bahwa lapisan vagina wanita memang lebih rentan atau fragile daripada kulit yang melindungi penis pada pria sehingga wanita lebih rentan terkena STI dan konsekuensi jangka-panjangnya. Tetapi, menurut saya teori ini hanya menjelaskan apa yang menyebabkan wanita lebih rentan terhadap STI, bukan mengapa harus wanita yang lebih rentan?

Saya pernah diberi analogi mengenai pria dan wanita oleh salah seorang dosen psikologi di Untar. Beliau mengatakan bahwa wanita itu laksana gembok dan pria laksana kunci. Gembok akan terus terkunci sampai menemukan kunci yang tepat untuknya. Gembok tidak pernah mencari kunci, justru kunci yang terus mencari gembok dan berusaha untuk membukanya. Selama proses itu, satu kunci dapat mencoba ke banyak gembok namun hanya akan ada satu yang tepat untuk dibukanya.

Terjemahan: Analogi ini menyiratkan bagi para wanita untuk terus menjaga sikap dan perilakunya sampai menemukan satu pria yang tepat untuknya. Pria-pria yang tidak tepat dapat terus datang dan pergi dalam hidup wanita sambil terus mencoba mendapatkan mereka. Analogi ini sedikit banyak membantu saya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa harus wanita yang lebih rentan terkena STI. Mungkin juga Tuhan ingin agar para wanita untuk lebih dapat menjaga dirinya selama hidup dari godaan atau hal-hal buruk yang dapat mengakibatkan STI ini, seperti diajak melakukan hubungan seksual sebelum menikah (dan juga akibat-akibat buruk lain). Dengan ini, Tuhan ingin memberikan kelebihan lain bagi para wanita sebagai kaum yang mampu menentukan siapa yang dapat membuka dan mendapatkan hati dan dirinya. Wanita pun sebaiknya lebih mampu untuk mempertahankan dirinya dari budaya seks bebas yang kini semakin merebak. Apabila wanita tidak menjaga sikap dan perilaku mereka, maka apa pun dapat terjadi pada mereka, termasuk STI ini.

Sumber: http://cdn.buzznet.com/assets/users8
/hiyori13/default/say-sex-1--large-msg-1122737021-2.jpg

Di sisi lain, wanita yang terkena STI pun bukan berarti ia tidak menjaga dirinya sebaik mungkin. Seperti yang kita ketahui, kadang suatu peristiwa buruk menimpa begitu saja tanpa pernah kita duga. Tidak ada yang menginginkan hal buruk terjadi pada diri sendiri atau orang di sekitarnya. Namun sering kali, orang yang terkena STI mengalami stigmatisasi dari masyarakat yang percaya bahwa penderita STI memang pantas mengalami hal itu; bahwa mereka sedang dihukum karena melakukan hal yang buruk (punishment concept). Yang lebih buruk lagi adalah stigmatisasi dari masyarakat terinternalisasi ke penderitanya sendiri, padahal mereka sudah cukup kesulitan untuk berjuang hari demi hari dengan infeksi yang dideritanya.

Mengubah pandangan masyarakat luas memang akan sangat sulit, namun kita dapat mulai dengan diri kita sendiri. Apabila (sejujurnya) ada sebagian dari diri kita yang masih percaya dengan pandangan tersebut, salah satu hal yang dapat kita lakukan sebagai manusia adalah berEMPATI dan jangan menghakimi! Coba pikir: Bagaimana jika kita menjadi orang yang terkena STI tersebut? Bagaimana perasaan kita? Apa yang akan kita perlukan dari orang lain?

One thing for sure, they need love too. Love from us.
“If you judge people, you have no time to love them (Mother Theresa)”.

30 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar