Minggu, 05 Mei 2013

Realita Wawancara dalam 2 Bidang Psikologi (Cherine Sugiarto)

Minggu lalu kelas Tekwan membahas tentang aplikasi wawancara dalam psikologi pendidikan dan industri dan organisasi (IO). Khusus PIO, hal itu dipertegas melalui pertemuan minggu ini, yaitu aplikasi real wawancara langsung dari narasumber yang berpengalaman di bidang HR. Sekarang saya ingin membahas wawancara satu persatu di antara 2 dunia ini. Saya mulai dari pendidikan dulu :’)

Secara garis besar, wawancara dalam pendidikan digunakan untuk menangani masalah-masalah dalam dunia pendidikan, seperti masalah sistem sekolah, masalah dalam proses belajar mengajar di kelas, masalah akademik siswa (learning disabilities), masalah perkembangan siswa, masalah perilaku siswa (misalnya bullying), bakat dan minat siswa (akselarasi), masalah psikososial dan lingkungan, serta seleksi dan penempatan. Wawancara tidak hanya dilakukan dengan siswa, tapi bisa juga dengan orang terdekat seperti guru dan orang tua siswa. Wawancara dengan siswa digunakan agar kita tahu latar belakang siswa, latar belakang timbulnya masalah siswa, bagaimana kepribadiannya, lalu untuk verifikasi dengan orang tua dan guru siswa (cross-check pernyataan siswa), diagnosa, pemberian treatment, lalu untuk tetap memantau siswa meskipun sudah diberikan treatment.
 

Dari hasil wawancara dengan siswa kita dapat tahu info-info penting seperti kepribadian siswa, kemampuan verbalnya (salah satu indikator penentu inteligensi), level perkembangannya, kelebihan-kekurangannya, permasalahannya, kebutuhan siswa, dan sebagainya. Jika kita mewawancarai orang tua siswa, maka kita dapat mengetahui pola komunikasi antara ortu dan anak, pola asuh orang tua, harapan ortu terhadap anak, dan budaya yang diterapkan ortu terhadap anak. Sedangkan, jika kita mewawancarai guru, maka kita dapat mengetahui gaya mengajarnya, keberhasilan penerapan kurikulum terhadap siswa, interaksi guru dan siswa, dan sebagainya. Jangan lupa sebaiknya hasil wawancara kita cross-check juga dengan hasil observasi di lapangan agar hasilnya lebih valid.

Dalam mewawancarai siswa-siswa dari berbagai jenjang pendidikan hendaknya kita mengetahui dan memahami level perkembangan mereka, sehingga teknik wawancara juga disesuaikan dengan level perkembangan mereka. Etika juga selalu penting dijunjung tinggi di dalam wawancara dengan siapapun, kapanpun, dan di manapun. Ada satu info penting yang saya dapatkan yaitu perbedaan antara guru BP dan psikolog sekolah. Guru BP tugasnya lebih bersifat administratif, seperti masuk ke kelas-kelas, membuat sosiogram (daftar teman-teman siswa dan musuh setiap siswa), dan konseling biasa (masalah ringan), misalnya kasus anak kesulitan mengatur jadwal belajar. Sedangkan, psikolog sekolah harus lulusan S2 Psikologi yang punya surat izin praktik dan tugasnya menangani kasus anak yang lebih berat dan membutuhkan treatment khusus, seperti anak dengan gangguan retardasi mental, ADHD, dan sebagainya.

Minggu ini, pertemuan membahas wawancara dalam PIO langsung dari narasumber yang bekerja dalam bidang HR. Saya menganggapnya sebagai “bonus” karena dapat menjadi pelengkap teori yang saya dapatkan pada minggu kemarin, di samping saya memang berminat dalam bidang ini. 
Menurut narasumber, dalam industri dan organisasi (IO), terutama dalam rekrutmen karyawan, wawancara tidak boleh terlalu banyak chit-chat alias basa-basi. Dua atau tiga pertanyaan basa-basi di awal wawancara sudah cukup agar waktu lebih efisien dan agar dapat langsung inti jawaban pelamar kerja. Lalu, setelah itu tentukan teknik interview yang tepat, apakah direct interview atau non-direct interview. Pada direct interview, pewawancara langsung bertanya pada inti pertanyaan (“Berapa tahun Anda bekerja?”), sedangkan pada non-direct interview, kita dapat mengetahui jawaban interviewee lebih luas karena tidak terlalu diarahkan dan lebih terbuka sifatnya (“Tolong ceritakan pengalaman Anda selama ini”).
Pada saat seleksi dan penempatan, ada 2 tipe wawancara yang digunakan, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur (wawancara tradisional). Wawancara terstruktur merupakan wawancara yang daftar pertanyaannya terstruktur dan telah diatur sedemikian rupa, meliputi Competence Based Interview (CBI) dan Behavioral Event Interview (BEI). Kedua tipe wawancara terstruktur ini berguna untuk mengetahui atau memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya berdasarkan apa yang telah dikerjakan oleh subyek wawancara. Jadi, CBI dan BEI berorientasi pada past (masa lalu) untuk memprediksi hal ke depannya, bukan menanyakan apa yang akan dilakukan subyek, karena subyek dapat mengarang ceritanya sendiri.

Behavioral Event Interview (BEI), merupakan salah satu tipe wawancara terstruktur yang berorientasi pada kompetensi calon karyawan. Kompetensi dapat meliputi skill (hard skill dan soft skill) dan knowledge. Pada BEI, digunakan STAR method (Situation, Task, Action, Result). Sebagai contoh, calon karyawan akan ditanya tentang “Pengalaman apa yang pernah dijalani/ yang melekat?” (Situation), “Apa saja tugas yang waktu itu dijalankan?” (Task), “Apa tindakan untuk menangani masalah?” (Action), dan “Bagaimana hasil akhirnya?” (Result). Dari BEI, kita dapat melihat bagaimana leadership dan strategi calon karyawan itu. 

Selain BEI, adapula FACT (Feeling, Action, Context, Thinking). FACT mirip dengan STAR, yakni “membongkar” apa yang terjadi di masa lalu. Feeling berarti menggali perasaan interviewee saat itu, action menggali apa tindakan interviewee untuk menangani masalah, context berusaha menjawab apa saja yang dilakukan pada saat itu (perbuatannya apa), dan thinking mencari tahu tentang apa yang interviewee pikirkan pada saat itu. Namun, kedua metode ini tetap memiliki perbedaan. Perbedaan antara STAR dan FACT adalah pada STAR teknik ini dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, jabatan apa saja, dan siapa saja dapat melakukannya. Sedangkan FACT tidak bisa dilakukan pada level supervisor karena teknik ini sangat memakan waktu. Selain itu, interviewernya tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, bahkan lebih baik jika bukan dilakukan pihak internal, namun pihak ke tiga. 

Beliau memberikan tips-tips penting saat wawancara dalam IO. Dalam wawancara yang ber-setting tempat kerja, bercanda sebenarnya sah-sah saja dilakukan, namun harus pada porsi yang tepat. Terlalu tegang tidak baik, namun terlalu cair juga tidak baik karena kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari suasana yang terlalu cair. Wawancara di bidang IO sebaiknya berfokus langsung ke intinya, harus tahu kapan harus basa-basi, kapan harus men-direct interviewee, dan kapan tidak.

Pada PIO, salah satu hal yang pernah saya dengar dan pernah saya post di beberapa blog saya sebelumnya adalah soal “bajak-membajak” (hunter & hunting). Ternyata, Beliau juga membenarkan adanya hal itu dalam PIO dan dalam bidang ini hal tersebut dianggap etis saja, selama tidak ada perjanjian antara perusahaan dan orang yang “dibajak” setuju. Ada beberapa proses dalam hunter-hunting ini. Pertama, kita sebagai pihak pembajak mencari channel kepada teman/bawahan/atasan tentang karyawan yang kita butuhkan (yang kita ambil dari perusahaan lain). Kedua, kita liat CV mereka, apakah memenuhi persyaratan atau tidak, dan terakhir, kita contact orang tersebut (dapat dilakukan by phone). Jika orang tersebut mau bekerja di perusahaan kita, maka ia dapat mengikuti prosedur wawancara selanjutnya.
Ada informasi penting lainnya yang Beliau sampaikan, yaitu dunia HR bukan hanya milik orang psikologi saja, namun orang bidang lainnya seperti hukum dan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) juga dapat memasukinya. Sebenarnya, siapapun dapat bergelut dalam bidang ini asalkan mau belajar. Oleh sebab itu, kita harus selalu memperkaya wawasan dan pengalaman kita, serta tidak terlalu terpaku dengan nama besar perusahaan. Seperti kutipan Beliau, “Jangan melihat besar/kecilnya perusahaan itu namun lihat bagaimana mereka memperlakukan karyawannya”

29 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar