Rabu, 02 Oktober 2013

“SS” Pada Kehidupan Wanita (Prisco Wirawardhana)

Seks dan stres dua hal yang mungkin jarang kita lihat dapat memiliki hubungan dalam kehidupan perempuan. Banyak orang awam jarang menghubungkan antara stres yang dialami dengan kehidupan seks mereka. Namun, apakah kedua hal tersebut dapat saling berhubungan dan berpengaruh bagi kehidupan wanita? Jawabannya adalah “YA”. Menurut beberapa pakar dan penelitian kehidupan seks dan stres yang dialami memiliki hubungan dan saling mempengaruhi.

Stres yang muncul pada wanita mungkin dikarenakan kesibukan terus-menerus yang wanita harus lakukan setiap harinya. Contoh kesibukan tersebut seperti: bangun pagi menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak, mencuci pakaian, mengantar anak,menyapu dan membersihkan rumah, menjemput anak, atau melakukan deadline pekerjaan bila wanita itu bekerja. Wanita yang sering terjebak dalam rutinitas hidup yang melelahkan itu dapat membuat mereka mengalami stres. Para wanita tersebut tidak memiliki waktu yang cukup untuk dirinya, dan berpikir bahwa segala hal harus ia lakukan. Bila wanita tersebut terus terjebak dalam rutinitas kehidupan dalam waktu yang lama dan tanpa adanya waktu untuk melakukan kesenangan atau hobinya, maka hal itu dapat mengganggu kehidupan seks dan menimbulkan stres.

Penelitian mencatat, bahwa kebanyakan wanita yang mengalami stres memiliki tingkat gairah seks yang rendah dan berhubungan juga dengan pola makan mereka. Wanita mungkin tidak bergairah untuk melakukan hubungan seks dikarenakan pada saat stres kadar hormon serotonin pada tubuh meningkat sedangkan hormon esterogon terus menurun. Hormon serotonin adalah hormon yang mengatur perasaan tenang dan gembira, bila terjadi peningkatan pada hormon ini maka tubuh akan bereaksi seperti cemas, gelisah, denyut jantung bertambah cepat, dan merasa tertekan. Sedangkan hormon esterogen adalah hormon yang menjaga keseimbangan tubuh dan berperan dalam peningkatangairah seksual pada wanita.

Ketidakseimbangan hormon pada wanita sehingga menimbulkan stres tidak hanya merugikan kehidupan wanita itu sendiri, namun juga dapat mempengaruhi hubungannya dengan sekitar. Penelitian mencatat wanita yang mengalami stres lebih bersikap tertutup, mudah marah, sensitif, dan menghindari pembicaraan yang menurut mereka tidak menyenangkan. Penghindaran untuk melakukan komunikasi dalam menyelesaikan masalah itu membuat setiap konflik yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan baik. Ibu yang mengalami stres dapat mempengaruhi pola hubungannya dengan anak, seperti mudah marah, tidak tertarik berkomunikasi dengan anak dan mengerjakan kesibukan, meskipun ibu tersebut sadar bahwa hal tersebut salah. Para istri yang mengalami stres juga jarang mempedulikan kehidupan seks untuk dirinya atau kehidupan seks suaminya, yang merupakan suatu kebutuhan penting bagi setiap manusia.

Stres dan pola makan? Tubuh wanita yang mengalami ketidakseimbangan hormon serotonin mencari cara untuk menyeimbangkan keadaan tersebut. Tubuh mencari cara untukmembuat kadar serotonin dapat kembali menjadi normal. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk adaptasi terhadap ketidaknyamanan yang terjadi pada tubuh. Kebanyakan parawanita menyiasati hal tersebut lewat makanan. Karbohidrat yang kita makan justru dapat meningkatkan kadar serotonin. Peningkatan kadar serotonin sesaat mungkin dapat menciptakan perasaan tenang dan nyaman, namun hal tersebut tidak bertahan lama. Pengulangan pola adaptasi tersebut membuat para wanita terjebak ke dalam pola makan yang buruk seperti lebih banyak mengkonsumsi lemak dan karbohidrat sehingga dapat menyebabkan obesitas. Memilih makanan yang memiliki kadar karbohidrat dan lemak yang lebih rendah dapat membantu mengurangi masalah obesitas yang muncul akibat stres.

Stres merupakan sumber pintu gerbang bagi banyak penyakit dan kerusakan hubungan yang dapat dialami semua orang. Banyak dokter mengatakan bahwa stres dapat menimbulkan stroke, obesitas, tekanan darah tinggi, diabetes, dan lain-lain. Ingat bahwa menyembuhkan penyakit itu belum tentu dapat memulihkan keadaan seseorang dari stres. Untuk itu, bila seseorang ingin kembali menjadi normal, orang tersebut harus dapat mengetahui sumber stresnya dan mengatasi stres itu dengan baik. Bila orang tersebut kurang dapat mengetahui sumber stresnya, mereka dapat meminta bantuan dari para profesional seperti psikolog, konselor, atau psikiater untuk dapat membantu menghadapi stres tersebut.

3 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar