Minggu, 24 Maret 2013
Tiga Dunia (Arief NC)
Kembali lagi kita ke topik wawancara. Bedanya, kali ini bukan dalam konteks klinis, tetapi konteks psikologi industri/organisasi (PIO) dan pendidikan. Teman-teman di kelas berjuang mati-matian sampai bercucuran air mata menjelaskan kedua materi ini. Bayangkans aja lebih dari 3 kelompok harus presentasi dengan waktu yang terbatas dengan kondisi fisik dan emosi yang terkikis sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu. Salah satunya kelompok saya yang presentasi, kami mempresentasikan hasil wawancara dengan praktisi pendidikan. Nah, berikut ini rasa suka dan duka yang senantiasa menemani kami semua di kelas.... selamat membaca dan menikmati...
Praktisi PIO umumnya dikatakan sebagai Human Resource Development (HRD), singkatnya HR. Pekerjaan yang saya bayangkan itu antara lain mengoreksi surat lamaran (CV), memberikan psikotes, mewawancarai calon karyawan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut memang disinggung ketika teman-teman menjelaskannya. Namun, ada kenyataan pahit yang ditemukan dalam menjadi seorang praktisi PIO... Ada calon karyawan yang mengekspresikan ketidaksenangannya karena tidak diterima bekerja dengan mengancam pewawancara. Selain itu, saya juga membayangkan bagaimana rasanya kalau diancam, galau maksimum namanya, diterima salah, ditolak juga salah. Si pengancam kemungkinan kurang kompeten dalam mengendalikan emosi, sehingga emosinya mudah sekali meluap-luap bak gunung berapi. Apabila diterima, otomatis dia akan cukup sulit dibentuk dan dibina dari segi emosinya dan dapat memengaruhi kinerjanya. Apabila ditolak, kita sebagai praktisi yang berisiko. Pergi kemanapun, kita hanya dapat mengatakan "saya berisiko" seperti di iklan televisi untuk iklan berbau kolestrol itu lhoo...
Kenyataan pahit lainnya, dalam bidang PIO ada istilah "bajak-membajak." Seorang HR dapat diminta untuk merekrut seseorang dari perusahaan lain (umumnya level manajer ke atas yang memang kompeten). Seperti bajak laut saja, mengambil alih sesuatu yang sebenarnya bukan milik pribadi, tetapi itulah yang terjadi dan masih dianggap sah. Nah, di tengah kemelut dunia PIO kita dapat menggunakan teknik wawancara. Misalnya saat ingin merekrut seseorang dari perusahaan lain, kita harus mampu memberikan kesan yang positif mengenai perusahaan kita. Slahs atu keterampilannya adalah membina pendekatan (rapport) yang merupakan salah satu keterampilan wawancara. Tujuannya agar orang tersebut merasa sepertinya perusahaan ini sangat ramah, "mengapa tidak saya coba bekerja di sana?" Jika kasusnya adalah kasus pertama, seperti apapun upaya kita hasilnya akan tetap sama. Upaya untuk meminimalisasinya mungkin dnegan berhati-hati dalam bertutur kata, sebab karakternya memang cukup sensitif. Tujuannya adalah agar emosinya tidak "tersulut" dan tetap stabil selama wawancara. Sekarang kita beralih ke dunia pendidikan, apakah sekeras dunia PIO? Seperti apa sajakah pekerjaannya?
Praktisi psikologi dalam pendidikan umumnya berkecimpung dalam bidang ini, namun ada pula yang bermain dalam dunia klinis anak. Seringkali guru "melabel" seorang siswa bermasalah, siapa yang kena imbasnya? Guru Bimbingan dan Konseling (BK) atau psikolog pendidikanlah yang menikmati imbasnya. Ini adalah salah satu tugas dalam bidang ini, selain membuat kurikulum, seorang praktisi pendidikan juga dapat diminta untuk membantu siswa mengatasi masalahnya, terutama masalah akademis. Setiap kali dipanggil ke ruang BK, selalu saja yang muncul itu bayangan mengerikan seperti nilai-nilai menyerupai taman bunga mawar alias merah merona angkanya. Anggapan bahwa ruang BK itu mengerikan pun muncul di benak para siswa. Seorang praktisi pendidikan dapat menggunakan wawancara untuk mendapatkan titik terang dari masalah si anak. Syaratnya hanya satu, anak mau terbuka, itu saja. Hal yang membuat saya terkagum-kagum itu ada seorang narasumber yang kesannya sangat "gaul," sampai-sampai para murid berani mendekatinya dan terbuka kepadanya. Ketika dibahas lebih lanjut, ternyata Beliaulah yang mendekati para murid agar mereka tidak menganggap guru BK itu mengerikan. Luar biasa cetar membahana! Tidak semua guru dapat menyadari hal kecil seperti ini, wawancara pun akan lebih lancar tentunya.
Sebagian dari masalah anak adalah masalah yang berkaitan dengan pendidikan, di sinilah area praktisi pendidikan dalam klinis anak. Di sini saya mengetahui bahwa cara menghadapi anak-anak dengan kepribadian berbeda itu membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Contoh, anak yang pendiam dengan anak yang aktif. Intinya, kita harus membuat seorang anak senyaman mungkin bersama kita agar dia mau terbuka dan membicarakan masalahnya. Kita harus lebih berusaha dalam mendekati anak pendiam, supaya dia tidak takut pada kita dan mau terbuka. Anak yang aktif cenderung masih lebih mudah didekati, mungkin saja rasa malu-malu lebih kecil daripada anak pendiam, sehingga lebih mudah mendekatinya. Kendala yang dihadapi dalam konteks ini, terkadang orangtua/anak saling mengintervensi saat wawancara dilakukan. Solusinya, kita pisahkan mereka berdua dengan sesi khusus orangtua dan sesi khusus untuk anak. Agar si anak tidak gelisah, kita alihkan perhatiannya dengan mainan. Selama dia bermain, kita juga mampu mengobservasinya untuk mendapatkan informasi pelengkap data wawancara, efektif bukan?
Memang dunia PIO lebih keras, karena kita berisiko untuk berhadapan dengan pencari kerja yang emosional. Namun, keduanya sama-sama memiliki kenikmatan dan kendala masing-masing. Dunia PIO memungkinkan kita lebih dekat dengan dunia pekerjaan, sehingga kita mampu berempati terhadap seseorang yang mengeluh karena pekerjaannya. Dunia pendidikan memungkinkan kita lebih dekat dengan anak-anak. Kita yang sudah lulus sekolah menjadi seorang senior yang membantu mereka memecahkan masalahnya, terutama masalah akademis. Satu hal lagi yang saya pelajari, dunia pendidikan dan dunia klinis anak tidak dapat dipisahkan. Anak adalah individu yang sedang menempuh pendidikan. Dimana ada pendidikan, psikolog pendidikan berperan. Dimana ada masalah perilaku anak, psikolog klinis anak berperan. Sama halnya dengan dunia PIO meskipun terlihat sangat berbeda dengan dunia klinis anak dan pendidikan. Orangtua seorang murid tentu memiliki pekerjaan. Setiap pekerjaan juga dapat memprediksi bagaimana perilaku seseorang dalam pekerjaan tersebut. Pekerjaan orangtua mungkin berdampak pada pendidikan anaknya. Hanya karena pekerjaan, ada anak yang terus berpindah-pindah sekolah mengikuti tempat orangtua bekerja. Pertanyaannya, apakah gaya hidup demikian akan berpengaruh pada pendidikan anak? Kita memang belum mengetahui jawabannya sekarang, tetapi intinya ketiga dunia tersebut saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Bagaikan sebuah sistem, apabila salah satu tidak ada akan memengaruhi bagian lainnya.
4 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar