Mengenai keterampilan wawancara, sbenarnya ada beberapa keterampilan pokok itu mencakup rapport, empati, attending behavior, dan active listening skills. Keempat itu makanan apa sih? kok namanya seperti di Cooking Masterchef Indonesia. Misalnya ada menu grilled salmon with popcorn sauce. Menunyaaa.... sakti benerrrrr.... kesannya sesuatu banget, begitu disajikan... loh? kok piringnya lebar tetapi isinya sedikit? mahal pula.... Teknik wawancara berbeda dengan acara tersebut. Kalau memasak, yang dilihat itu seberapa lezatnya dan nikmatnya hidangan. Hidangan dengan porsi yang kecil membuat seseorang makan sedikit demi sedikit alias menikmati. Wawancara juga dapat dinikmati, tetapi bagaimana cara menikmatinya?
Rapport dapat dimulai dengan hal sederhana, misalnya dengan berjabat tangan.
Saya memang sebanarnya tidak menyukai wawancara pada awalnya. Setiap saat selalu saja merasa grogi setiap akan bertemu dengan subyek baru. Ucapan pun jadi terbata-bata, akhirnya informasi yang didapat menjadi kurang kaya. Ketika mendapat tugas wawancara seorang pakar pendidikan, saya mengamati bagaimana cara teman-teman saya membina hubungan yang baik (rapport) dengan narasumber. Mulai dari cara menyapa, intonasi suara, sampai cara menatap, dan sebagainya sehingga hubungan dengan narasumber menjadi lebih hangat dan nyaman. Memang benar, saya belum benar-benar bisa membina rapport, jadi saya mengikuti bagaimana cara teman-teman melakukannya. Ternyata, rasa grogi itu berkurang perlahan-lahan dan saya mampu berbicara dengan lebih santai seperti perasaan dalam percakapan biasa. Ternyata rapport adalah poin penting untuk membuat pewawancara dan narasumber sama-sama merasa nyaman dan dapat melakukan wawancara dengan lancar. Ketika mampu melakukannya, itulah saatnya saya mampu melihat keindahan dari teknik wawancara dan mulai menyukainya, mata kuliah legendaris yang satu itu.
Poin kedua adalah empati. Empati merupakan bagaimana kita merefleksikan perasaan dan perilaku seseorang, termasuk pengalamannya. Empati bukan sesuatu yang mudah dilakukan, kita harus mampu memahami perasaan seseorang dan menempatkan diri di posisinya. Sementara mencobanya, kita tidak boleh terbawa emosi, misalnya dengan menagggapi secara berlebihan atau menampilkan ekspresi tertarik pada bagian dari cerita seseorang. Kalau misalnya kita tampak tertarik, orang tersebut akan lebih "berapi-api" untuk menceritakan poin menarik itu. Akibatnya, informasi lain kurang tergali, karena baik pewawancara maupun narasumber lebih terfokus pada topik yang menarik dan cenderung mengabaikan informasi lain. Kemampuan berempati terhadap seseorang juga diawali dengan rapport yang berkualitas. Rapport dapat dianggap sebagai "masa pengenalan." Ketika sudah lebih mengenal antara mereka, hasilnya mereka mampu untuk mencoba berpikir seperti lawan bicaranya. Berpikir seperti lawan bicara juga sama halnya dengan mencoba menempatkan diri di posisi orang lain. Lantas, apa pengaruh empati terhadap wawancara? Dengan empati, pewawancara akan mampu merasakan apa yang dirasakan narasumber berkaitan dengan konten ceritanya dan emosinya. Kemudian pewawancara dapat menyesuaikan perilaku dan intonasi bicara, termasuk pilihan kata dalam bertanya. Akhirnya, pertanyaan pun terdengar lebih sopan dan tidak terlalu menyinggung narasumber, terutama untuk kasus yang sensitif.
mendengarkan itu harus memerhatikan wajah lawan bicara dan jangan terfokus pada perilaku sendiri (asyik sendiri)
Saat narasumber berbicara, apa yang sebaiknya kita lakukan (attending behavior)? Apa yang kita lakukan sementara kita mendengarkan apa yang disampaikan Beliau? Kita harus dapat membedakan antara "mendengar" dan "mendengarkan." "Mendengar" hanya berarti kita mengetahui dia berbicara dari suara yang keluar dari mulutnya. Ketika ditanya, "apa yang sebelumnya dia jelaskan?" Jawabannya dia belum tentu mengetahuinya, karena dia tidak dengan sengaja mendengarkan kontennya dan menangkap perasaan dari narasumber. "Mendengarkan (active listening skills)" adalah kebalikannya, dengan mendengarkan kita akan mampu menjelaskan kembali dan menangkap seperti apa perasaannya. Mendengarkan itu tidak hanya sebatas melihat ke arah narasumber selama mencari tahu konten dan perasaannya. Kita juga harus memperhatikan perilaku kita sendiri selama mendengarkan. Andaikan kita terus mencatat semua yang diungkapkan narasumber sampai terlalu fokus pada catatan, ini menarik perhatian narasumber. Hati-hati kalau sampai terjadi, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengobservasi kesinambungan perilaku nonverbal (misalnya ekspresi wajah), perilaku verbal (kata-kata dan penekanan), dan kesinambungan antara keduanya untuk melengkapi data. Kunci utama dalam wawancara adalah rapport, rapport membuat kita lebih mudah berempati. Ketika kita mampu berempati, kita lebih mampu memposisikan diri menjadi narasumber. Sebagai narasumber yang diwawancara, apa yang kita inginkan dari pewawancara saat kita menjawab pertanyaan? Ingin didengarkan? Perilaku seperti apa yang dapat kita katakan "mendengarkan"? Tentu kita ingin diperhatikan selama berbicara, juga ingin perasaan kita dimengerti oleh pewawancara, maka lakukanlah demikian saat melakukan wawancara. Idealnya kalau mau mengerti orang lain kita juga harus mampu menempatkan diri terlebih dahulu di posisi orang lain, otomatis dari rapport sampai active listening akan menjadi satu paket yang harmonis.
"I like to listen. I have learned a great deal from listening carefully. Most people never listen."
~Ernest Hemingway~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar